Minggu, 20 September 2020

Sebuah Prolog: Kecilku di Kota Dingin

 

Kumpul dengan teman-teman adalah hal yang menyenangkan, membicarakan apa saja, termasuk masa lalu ketika bersama. Terkadang juga saling bertukar pikiran menceritakan masa kecil kita masing-masing. Pengalaman masa kecil yang berbeda terkadang membuat kita tidak percaya diri untuk menceritakannya kepada orang lain. Inilah yang terkadang membuatku sedikit minder untuk menceritakan masa kecilku. Masa kecilku rasanya tak umum saja dengan mereka, aku bukan hanya bermain masak-masakan, kelereng, ataupun lompat tali. Tidak! Tapi lebih dari itu. Dengan kehidupanku yang sekarang ini siapa yang sangka kalau aku pernah berjualan jajan di sekolah dan bekerja di pembibitan kopi saat aku masih duduk di sekolah dasar. Siapa sangka juga kalau aku yang sekarang anak rumahan ini dulunya sering bermain di gunung dan sungai. Mungkin hanya keluarga dan teman-teman masa kecilku saja yang tahu.

Terkadang ada rasa takut yang terselubung dalam kalbu tatkala aku akan menceritakan masa kecilku bahwa aku pernah tinggal di tengah-tengah provinsi paling barat Indonesia: Nangroe Aceh Darussalam. Tepatnya aku tinggal di Desa Wih Nareh, Kecamatan Pegasing, sekitar 8 kilometer jauhnya dari pusat Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah yang merupakan bagian dari daerah Dataran Tinggi Pegunungan Gayo. Aku takut diri ini dikatakan pembual oleh teman-temanku. Tapi beginilah kenyataan yang aku alami, menghabiskan masa kecilku di “Kota Dingin” Takengon. Aku yakin, beberapa dari kalian juga ada yang mengalaminya, nasib anak perantauan yang pernah pindah rumah.

Masa kecilku begitu indah untuk dilupakan, begitu istimewa menghiasi hari-hariku di Kota Dingin Takengon, masa-masa dimana aku mengenal hidup dan persahabatan untuk pertama kali. Masa kecil itulah yang telah membentuk sifat dan karakterku sekarang, termasuk kemampuanku dalam berbagai hal. Aku tak mau menyia-nyiakan masa kecil yang turut membesarkan namaku. “Selama ini aku tak pernah mendengar dari orang lain tentang masa kecil yang seindah masa kecil kita,” begitulah salah seorang teman masa kecilku pernah berkata dalam suratnya padaku. Seorang teman lagi berkata, “Ingin kubuat novel kisah-kisah kita ini”. Hal itu semakin mendorongku untuk bisa membuat tulisan ini.

Tulisan ini terutama kupersembahkan untuk Almarhum Ayahanda Mukodam tercinta. Menulis cerita ini tentu saja tak lepas dari kehidupannya. Karya ini juga kupersembahkan buat keluargaku: ibunda, Mba Puput, dan adikku Ragil.

Karya ini juga tentunya kupersembahkan buat kalian semua, teman kecilku yang kini masih melekat dalam kalbu yang telah menghiasi hari-hariku di Kota Dingin Takengon: Febry, Laras, Bang Galih, Bang Miga, Nova, Agri, Hafidz, Kak Dayah, Kak Ani, Fitri, Kak Ami, Bang Ivan, Yoga, Kak Iin, Kak Titi, Kak Dwi, Ranti Mauliya, Ana, Iyen, Rieke, si kembar Nyakna-Nyakni, Nanda, Adit, Ridho, Winoto, dan semua teman-teman yang telah memberi warna dalam hidupku. Aku masih ingat saat kenapa kita harus berpisah. Andai saja saat itu aku tahu akan arti persahabatan, mungkin ku kan memilih untuk terus bersama kalian.

Aku tak tahu apa yang sekarang kalian rasakan, apakah namaku masih terukir dalam hati kalian ataukah tidak. Namun, setiap saat, setiap waktu diri ini terus bersabar, demi menanti perjumpaan yang entah kapan datangnya. Aku yakin bahwa Allah akan mempertemukan kita kembali teman…. Hanya Dia-lah yang tahu kapan saat yang tepat bagi kita untuk bertemu, entah esok, lusa, atau menjelang akhir hayat kita nanti.

Alhamdulillah Allah mengaruniakanku daya ingat yang tinggi dan kemampuanku dalam hal tulis-menulis. Masa kecil yang benar-benar berkesan dan masih kuingat hingga kini bermula saat umurku 4 tahun. Sehingga cerita ini pun kumulai pada umur itu. Maaf, sudah sekian lama aku ingin menuliskannya, namun baru sekarang mimpi itu terwujud. Mohon luangkan waktu untuk membacanya teman-teman kecilku. Sudahlah, kumulai saja kisah hidup yang penuh liku-liku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar