Kumpul dengan
teman-teman adalah hal yang menyenangkan, membicarakan apa saja, termasuk masa
lalu ketika bersama. Terkadang juga saling bertukar pikiran menceritakan masa
kecil kita masing-masing. Pengalaman masa kecil yang berbeda terkadang membuat
kita tidak percaya diri untuk menceritakannya kepada orang lain. Inilah yang
terkadang membuatku sedikit minder untuk menceritakan masa kecilku. Masa
kecilku rasanya tak umum saja dengan mereka, aku bukan hanya bermain
masak-masakan, kelereng, ataupun lompat tali. Tidak! Tapi lebih dari itu. Dengan
kehidupanku yang sekarang ini siapa yang sangka kalau aku pernah berjualan
jajan di sekolah dan bekerja di pembibitan kopi saat aku masih duduk di sekolah
dasar. Siapa sangka juga kalau aku yang sekarang anak rumahan ini dulunya
sering bermain di gunung dan sungai. Mungkin hanya keluarga dan teman-teman
masa kecilku saja yang tahu.
Terkadang ada
rasa takut yang terselubung dalam kalbu tatkala aku akan menceritakan masa
kecilku bahwa aku pernah tinggal di tengah-tengah provinsi paling barat
Indonesia: Nangroe Aceh Darussalam. Tepatnya aku tinggal di Desa Wih Nareh,
Kecamatan Pegasing, sekitar 8 kilometer jauhnya dari pusat Kota Takengon,
Kabupaten Aceh Tengah yang merupakan bagian dari daerah Dataran Tinggi
Pegunungan Gayo. Aku takut diri ini dikatakan pembual oleh teman-temanku. Tapi
beginilah kenyataan yang aku alami, menghabiskan masa kecilku di “Kota Dingin”
Takengon. Aku yakin, beberapa dari kalian juga ada yang mengalaminya, nasib
anak perantauan yang pernah pindah rumah.
Masa kecilku
begitu indah untuk dilupakan, begitu istimewa menghiasi hari-hariku di Kota
Dingin Takengon, masa-masa dimana aku mengenal hidup dan persahabatan untuk
pertama kali. Masa kecil itulah yang
telah membentuk sifat dan karakterku sekarang, termasuk kemampuanku dalam berbagai
hal. Aku tak mau menyia-nyiakan masa kecil yang turut membesarkan namaku. “Selama
ini aku tak pernah mendengar dari orang lain tentang masa kecil yang seindah
masa kecil kita,” begitulah salah seorang teman masa kecilku pernah berkata
dalam suratnya padaku. Seorang teman lagi berkata, “Ingin kubuat novel
kisah-kisah kita ini”. Hal itu semakin mendorongku untuk bisa membuat tulisan
ini.
Tulisan ini terutama
kupersembahkan untuk Almarhum Ayahanda Mukodam tercinta. Menulis cerita ini
tentu saja tak lepas dari kehidupannya. Karya ini juga kupersembahkan buat
keluargaku: ibunda, Mba Puput, dan adikku Ragil.
Karya ini juga tentunya
kupersembahkan buat kalian semua, teman kecilku yang kini masih melekat dalam
kalbu yang telah menghiasi hari-hariku di Kota Dingin Takengon: Febry, Laras,
Bang Galih, Bang Miga, Nova, Agri, Hafidz, Kak Dayah, Kak Ani, Fitri, Kak Ami,
Bang Ivan, Yoga, Kak Iin, Kak Titi, Kak Dwi, Ranti Mauliya, Ana, Iyen, Rieke,
si kembar Nyakna-Nyakni, Nanda, Adit, Ridho, Winoto, dan semua teman-teman yang
telah memberi warna dalam hidupku. Aku masih ingat saat kenapa kita harus
berpisah. Andai saja saat itu aku tahu akan arti persahabatan, mungkin ku kan
memilih untuk terus bersama kalian.
Aku tak tahu apa
yang sekarang kalian rasakan, apakah namaku masih terukir dalam hati kalian
ataukah tidak. Namun, setiap saat, setiap waktu diri ini terus bersabar, demi
menanti perjumpaan yang entah kapan datangnya. Aku yakin bahwa Allah akan
mempertemukan kita kembali teman…. Hanya Dia-lah yang tahu kapan saat yang
tepat bagi kita untuk bertemu, entah esok, lusa, atau menjelang akhir hayat
kita nanti.
Alhamdulillah
Allah mengaruniakanku daya ingat yang tinggi dan kemampuanku dalam hal
tulis-menulis. Masa kecil yang benar-benar berkesan dan masih kuingat hingga
kini bermula saat umurku 4 tahun. Sehingga cerita ini pun kumulai pada umur
itu. Maaf, sudah sekian lama aku ingin menuliskannya, namun baru sekarang mimpi
itu terwujud. Mohon luangkan waktu untuk membacanya teman-teman kecilku. Sudahlah,
kumulai saja kisah hidup yang penuh liku-liku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar