Minggu, 20 September 2020

Kisah 10: Kempesnya Ban Sepeda Pagi Itu

 

Seperti biasa, setiap pagi bapak selalu mengantarku ke TK Renggali dengan sepeda gunungnya. Sepeda bermerk Olympus berwarna abu-abu itu adalah satu-satunya kendaraan yang kami punya. Kami tak punya motor ataupun mobil seperti warga komplek lainnya. Kehidupan kami memang sangat sederhana dibanding mereka. Kesederhanaan bapak memang sudah dikenal oleh banyak orang, baik di komplek Desa Wih Nareh maupun di daerah asalnya, Pemalang Jawa Tengah.

Bapaklah orang komplek pertama yang mempunyai sepeda. Beliau adalah satu-satunya guru yang mengendarai sepeda di sekolah tempat beliau mengajar. Meski begitu, Beliau tak pernah terlambat ke sekolah. Sepeda adalah kendaraan favoritnya sejak kecil. Sepeda telah menemani masa hidupnya. Sepedalah yang mengantarkan beliau ke mana saja.

Seperti biasa beliau mengantarkanku pagi-pagi sekali sebelum pukul 07.00 WIB. Di Aceh, itu adalah waktu yang masih pagi. Suasananya sama dengan pukul 06.00 WIB di Jawa. Matahari saja baru terbit di sana sekitar jam 06.00 WIB dan subuh saja jam 05.30 WIB.  Meskipun sama-sama daerah waktu Indonesia bagian Barat, tapi Aceh adalah daerah paling barat jadi beda waktunya pun hampir satu jam dengan Pulau Jawa. Setiap hari beliau harus mengayuh sepeda melewati jalanan yang naik turun demi mengantarkanku sekolah ke TK Renggali yang jaraknya sekitar 3 km.

Aku telah siap pagi ini dengan mengenakan seragam TK-ku yang berwarna putih-hijau, bersepatu coklat, dan rambut yang dikucir setengah. Sebuah tas kotak berwarna merah jambu juga telah tergantung di bahuku. Isinya adalah sekotak jajan dan sebotol air minum. Tas itu pula yang dulu dipakai Puput saat sekolah TK. Sekolah memang menyuruh kami membawa makanan dan minuman setiap hari agar kami tak perlu membeli jajan di sekolah. Acara makan jajan adalah acara yang paling kusukai karena pada saat ini aku akan berkesempatan untuk mencicipi jajan yang dibawa oleh teman-temanku. “Barter jajan” itulah yang kami lakukan. Aku paling sering melakukannya dengan si kembar Nyakna dan Nyakni. Mereka selalu membawa jajan yang enak-enak karena orang tua mereka memang berjualan makanan. Abi dan Ummi mereka mendirikan warung tepat di depan gerbang komplek STM, kami menyebutnya warung “Kedai Aceh” karena mereka adalah orang Aceh, berbeda dengan orang Takengon yang umumnya adalah orang Gayo.

Setelah sarapan dan minum segelas kopi untuk menghangatkan tubuh kami, bapak mengantarkanku. Bapak juga telah rapi dengan pakaian safarinya yang biasa beliau gunakan untuk mengajar. Aku duduk di depan, di besi yang menghubungkan antara tempat duduk dan stang. Perlahan bapak kayuh sepeda itu. Rasanya agak sedikit berbeda pagi ini, jalannya tak secepat biasanya. Gerakan kaki bapak agak sedikit berat. Oh... kempes rupanya, namun beliau tetap berusaha mengayuhnya. Termasuk saat kami harus melalui sebuah tanjakan di Desa Kung. Beliau terus berusaha mengayuh sepeda yang kempes itu, namun sepertinya beliau tak kuat. Beliau pun memilih turun dan menuntun sepeda itu dengan aku tetap duduk di atasnya. Beruntunglah, tiba-tiba Pak Khaidir, Ayah Nova lewat di saat yang tepat. Beliau baru saja mengantarkan Nova ke TK. Beliau pun berhenti karena melihat kami.

“Kenapa sepedanya itu Pak Kodam?” tanya Pak Khaidir dengan logat Batak-nya, beliau memang orang Medan. Dengan brewok di wajahnya, ia terlihat sedikit menyeramkan, namun sebenarnya ia orang yang baik.

“Anu Pak, kempes,” jawab bapak dengan sedikit malu.

“Bukan kempes lagi tampaknya Pak, bocor itu!” kata Pak Khaidir lagi sambil mengamati ban sepeda bapak dengan seksama, dengan mengernyitkan sedikit dahinya. “Begini saja Pak, biar saya saja yang antar Ranthi ke sekolahnya, kasihan nanti dia terlambat, tadi waktu saya antar Nova sudah banyak siswa yang datang. Bapak balik saja ke komplek!” ia mencoba menawarkan bantuan.

“Ya boleh,” kata bapak setelah ia berpikir sejenak, saran Pak Khaidir sepertinya memang masuk akal.

Pak Khaidir lalu memutar sepeda motornya menuju ke arah TK Renggali. Aku pun turun dari sepeda bapak dan duduk di belakang Pak Khaidir. Agak sedikit gugup rasanya karena baru kali ini aku diantar oleh orang lain. Naik sepeda motor pula, yang jarang-jarang aku naiki. Sementara bapak, beliau kembali lagi ke komplek.

Bukan sekali ini saja peristiwa ban kempes itu terjadi, beberapa kali aku dan bapak mengalaminya, bahkan seringnya beliau tetap berusaha mengayuh sampai sekolahku. Hal-hal itulah yang membuatku mencintai sepeda, bahkan aku juga tak malu saat berangkat kerja dengan sepeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar