Seperti biasa,
setiap pagi bapak selalu mengantarku ke TK Renggali dengan sepeda gunungnya. Sepeda
bermerk Olympus berwarna abu-abu itu adalah
satu-satunya kendaraan yang kami punya. Kami tak punya motor ataupun mobil
seperti warga komplek lainnya. Kehidupan kami memang sangat sederhana dibanding
mereka. Kesederhanaan bapak memang sudah dikenal oleh banyak orang, baik di
komplek Desa Wih Nareh maupun di daerah asalnya, Pemalang Jawa Tengah.
Bapaklah orang komplek
pertama yang mempunyai sepeda. Beliau adalah satu-satunya guru yang mengendarai
sepeda di sekolah tempat beliau mengajar. Meski begitu, Beliau tak pernah
terlambat ke sekolah. Sepeda adalah kendaraan favoritnya sejak kecil. Sepeda
telah menemani masa hidupnya. Sepedalah yang mengantarkan beliau ke mana saja.
Seperti biasa
beliau mengantarkanku pagi-pagi sekali sebelum pukul 07.00 WIB. Di Aceh, itu
adalah waktu yang masih pagi. Suasananya sama dengan pukul 06.00 WIB di Jawa.
Matahari saja baru terbit di sana sekitar jam 06.00 WIB dan subuh saja jam
05.30 WIB. Meskipun sama-sama daerah
waktu Indonesia bagian Barat, tapi Aceh adalah daerah paling barat jadi beda
waktunya pun hampir satu jam dengan Pulau Jawa. Setiap hari beliau harus
mengayuh sepeda melewati jalanan yang naik turun demi mengantarkanku sekolah ke
TK Renggali yang jaraknya sekitar 3 km.
Aku telah siap
pagi ini dengan mengenakan seragam TK-ku yang berwarna putih-hijau, bersepatu
coklat, dan rambut yang dikucir setengah. Sebuah tas kotak berwarna merah jambu
juga telah tergantung di bahuku. Isinya adalah sekotak jajan dan sebotol air
minum. Tas itu pula yang dulu dipakai Puput saat sekolah TK. Sekolah memang
menyuruh kami membawa makanan dan minuman setiap hari agar kami tak perlu membeli
jajan di sekolah. Acara makan jajan adalah acara yang paling kusukai karena
pada saat ini aku akan berkesempatan untuk mencicipi jajan yang dibawa oleh
teman-temanku. “Barter jajan” itulah yang kami lakukan. Aku paling sering
melakukannya dengan si kembar Nyakna dan Nyakni. Mereka selalu membawa jajan
yang enak-enak karena orang tua mereka memang berjualan makanan. Abi dan Ummi mereka mendirikan warung tepat di depan gerbang komplek STM,
kami menyebutnya warung “Kedai Aceh” karena
mereka adalah orang Aceh, berbeda dengan orang Takengon yang umumnya adalah
orang Gayo.
Setelah sarapan
dan minum segelas kopi untuk menghangatkan tubuh kami, bapak mengantarkanku.
Bapak juga telah rapi dengan pakaian safarinya yang biasa beliau gunakan untuk
mengajar. Aku duduk di depan, di besi yang menghubungkan antara tempat duduk
dan stang. Perlahan bapak kayuh sepeda itu. Rasanya agak sedikit berbeda pagi
ini, jalannya tak secepat biasanya. Gerakan kaki bapak agak sedikit berat. Oh...
kempes rupanya, namun beliau tetap berusaha mengayuhnya. Termasuk saat kami
harus melalui sebuah tanjakan di Desa Kung. Beliau terus berusaha mengayuh
sepeda yang kempes itu, namun sepertinya beliau tak kuat. Beliau pun memilih
turun dan menuntun sepeda itu dengan aku tetap duduk di atasnya. Beruntunglah,
tiba-tiba Pak Khaidir, Ayah Nova lewat di saat yang tepat. Beliau baru saja
mengantarkan Nova ke TK. Beliau pun berhenti karena melihat kami.
“Kenapa
sepedanya itu Pak Kodam?” tanya Pak Khaidir dengan logat Batak-nya, beliau
memang orang Medan. Dengan brewok di
wajahnya, ia terlihat sedikit menyeramkan, namun sebenarnya ia orang yang baik.
“Anu Pak,
kempes,” jawab bapak dengan sedikit malu.
“Bukan kempes
lagi tampaknya Pak, bocor itu!” kata Pak Khaidir lagi sambil mengamati ban
sepeda bapak dengan seksama, dengan mengernyitkan sedikit dahinya. “Begini saja
Pak, biar saya saja yang antar Ranthi ke sekolahnya, kasihan nanti dia
terlambat, tadi waktu saya antar Nova sudah banyak siswa yang datang. Bapak
balik saja ke komplek!” ia mencoba menawarkan bantuan.
“Ya boleh,” kata
bapak setelah ia berpikir sejenak, saran Pak Khaidir sepertinya memang masuk
akal.
Pak Khaidir lalu
memutar sepeda motornya menuju ke arah TK Renggali. Aku pun turun dari sepeda
bapak dan duduk di belakang Pak Khaidir. Agak sedikit gugup rasanya karena baru
kali ini aku diantar oleh orang lain. Naik sepeda motor pula, yang
jarang-jarang aku naiki. Sementara bapak, beliau kembali lagi ke komplek.
Bukan sekali ini
saja peristiwa ban kempes itu terjadi, beberapa kali aku dan bapak
mengalaminya, bahkan seringnya beliau tetap berusaha mengayuh sampai sekolahku.
Hal-hal itulah yang membuatku mencintai sepeda, bahkan aku juga tak malu saat
berangkat kerja dengan sepeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar