Rabu, 23 September 2020

Kisah 18: Senam Pagi, Kegiatan Rutin di Sekolahku

 

Pagi ini aku kembali bangun seperti biasanya. Untuk pagi ini ibu tak perlu susah-susah membangunkanku, aku bangun sendiri. Segera kuambil wudhu untuk menunaikan sholat subuh. Kemudian aku menuju belakang rumah, kulihat Puput sedang membantu bapak memberi makan ayam-ayam kami. Aku pun turut membantu mereka. Ayam yang mencapai seratus lebih itu tentu tak mudah merawatnya, tapi orang tuaku sebisa mungkin untuk mengurusnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku, Puput, Om Mus dan Om Kholiq-lah yang membantunya. Om Kholiq adalah adik ibu dari Jawa yang ikut kami di sini sejak setahun lalu untuk melanjutkan sekolah di STM ini.

Setelah sarapan aku berangkat sekolah bersama Puput. Berjalan melewati pohon minyak kayu putih seperti biasanya. Ups... saat kami hampir sampai di pagar batas komplek, tiba-tiba seekor babi besar lewat di hadapan kami. Aku dan Puput tentu saja terkejut. Tampak Pak Ismail dan istrinya sedang berusaha mengusir babi itu dari kebun mereka. Hampir saja kami diseruduk babi itu, rasanya jantungan sekali. Untunglah tidak terjadi. Segera kami melewati pagar pembatas komplek yang ada di depan rumah Pak Ismail.

Seorang guru tampaknya sedang memukul potongan besi besar yang tergantung di depan ruang guru. Itulah lonceng kami. Suaranya menggelegar dan terdengar ke semua sudut sekolah ini. Semua siswa lantas berlarian menuju lapangan sekolah. Kami berbaris, bersiap-siap untuk senam pagi. Pak Saleh tampak menunjuk beberapa orang siswa untuk berdiri di depan kelas. Mereka adalah siswa-siswa kelas 6 yang memang sudah lihai dalam gerakan senam, mereka pun bertindak sebagai instruktur senam. Seorang yang berada di tengah akan berdiri dan menjadi penghitungnya mulai dari gerakan pemanasan sampai dengan pendinginan. Dia pasti butuh tenaga yang ekstra untuk menghitung, karena dia pasti akan merasa malu kalau suaranya habis di tengah senam.

Sekolah kami memang belum memiliki tape seperti sekolah-sekolah lain. Meski begitu, senam dengan seragam merah putih ini tetap berlangsung setiap hari setiap pagi. Selain menyehatkan, hal ini juga untuk melatih kedisplinan kami. Aku sebagai anak kelas 1 yang berbadan kecil, tentu sangat senang sekali berdiri di barisan paling depan. Namun mulai aku kelas 4 aku justru lebih suka baris di belakang bersama kakak-kakak kelas lainnya. Selesai senam kami sudah pasti akan mengambil sampah sebelum masuk ke kelas.

Kegiatan belajar mengajar pun berlangsung seperti biasa. Namun saat jam ke-2 Bu Asmiati meninggalkan kelas, ada keperluan sebentar katanya. Ia lalu menitipkan kelas kepadaku. Entahlah, atas dasar apa ia memilihku, kenapa dia tidak memilih Hafidz sang ketua kelas saja, dia kan juga anaknya, pasti lebih terpercaya. Atau karena dia tahu sifat anaknya itu dia jadi tidak percaya. Ah... aku memang suka berandai-andai. Memang pernah suatu kali Bu Asmiati menceritakan keburukan anaknya itu pada kami siswa-siswanya di saat pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, katanya hafidz itu malas dan seringkali tidak merapikan tempat tidurnya ketika bangun. Pantaslah kalau badan Hafidz itu gemuk, karena ia malas bekerja.

Kelas pun hening untuk beberapa saat, ketika Bu Asmiati meninggalkan kami. Namun, kelas kemudian ramai. Teman-teman mulai menunjukkan tingkahnya. Aku juga mulai beraksi. Kuketuk meja anak yang ribut itu, ia lalu terdiam. Teman-teman yang lain pun tak berani ribut lagi karena sudah pasti akan kulaporkan pada Bu Asmiati nanti. Alhasil, semua siswa di kelasku, baik perempuan ataupun laki-laki menjadi takut padaku karena setiap yang ribut pasti akan kucatat. Aku memang suka melapor. Haha... Oh tidak, aku hanya mencoba bertanggung jawab atas apa yang diamanahkan padaku.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar