Sore ini ibu
mengajakku ke rumah Bu Reduk, seorang bidan ternama di Kecamatan Pegasing.
Rumahnya terletak di Desa Simpang Kelaping. Untuk ke rumah itu kami harus berjalan
dulu ke depan komplek sejauh kurang lebih 400 meter. Kami tak bisa naik becak
karena di sini memang tak ada. Bahkan juga tak ada pedagang makanan ataupun
minuman yang masuk ke komplek kami karena pasti mereka pikir tak ada rumah di
dalam komplek ini. Dari gerbang hanya terlihat bangunan sekolahan dan lapangan
saja, sedangkan perumahannya terletak jauh ke dalam. Jadi, jangan berharap ada
gerobak bakso ataupun es cendol yang lewat.
Kami melalui jalan
komplek yang masih kerikil, melewati rumah Pak Is dan Pak Sutar, kemudian
berbelok ke arah kiri, melewati pohon yang rindang dan perpustakaan sekolah
yang besar. Perpustakaan ini sangat besar sekali dibandingkan dengan
perpustakaan sekolah pada umumnya, besarnya kurang lebih dua kali ruang kantor
guru. Konon kabarnya ini adalah perpustakaan sekolah terbesar di Provinsi Aceh.
Kata ibu, dulu ia pernah bekerja di sini menjadi seorang penjaga perpustakaan
saat Puput masih kecil, namun ketika ku lahir dia berhenti dari pekerjaannya
itu. Bapak juga pernah mengajakku ke sini saat menemaninya mengetik. Kulihat
banyak sekali buku di dalamnya yang disusun dengan rapi di atas rak-rak buku
yang besar. Selain ada ruang baca, juga ada ruang pertemuan di dalamnya.
Terkadang ruangan ini dipakai untuk arisan ibu-ibu komplek.
Setelah melewati
perpustakaan, kemudian kami melintasi lapangan sepak bola STM. Lapangan bola
ini sangat luas sekali, dua kali lipat lapangan bola pada umumnya. Kulihat banyak
orang bermain bola di sini. Mungkin abang-abang STM ataupun orang Desa Wih
Nareh. Di lapangan ini juga aku pernah menonton layar tancap. Kami menonton
film Wiro Sableng secara
beramai-ramai di malam hari, tokoh legendaris yang gila. Di sebelah barat
lapangan ini juga ada lapangan basket, lapangan bulu tangkis, dan lapangan
sepak takraw. Lapangan ini seringkali digunakan oleh para siswa STM untuk
latihan. Aku juga pernah melihatnya. Adapun di sebelah timur dan selatan
lapangan ini adalah taman-taman komplek yang indah, terdapat pinus, kembang
sepatu, akasia, cemara, dan tanaman-tanaman lainnya. Orang yang menonton
pertandingan pun tak akan kepanasan.
Dari lapangan
ini kami melewati jalan kerikil kembali dan sampailah di gerbang komplek. Di
depan gerbang inilah kami menunggu mobil toa. Lumayan lama kami berdiri di
dekat pintu gerbang dan mobil toa pun datang. Ibu lalu menyetopnya. Ibu
membantuku untuk naik. Lambat sekali jalan mobil ini kataku dalam hati,
sepertinya ibu juga merasakannya. Lalu ia bertanya pada sang kernet, ”Sore
begini penumpangnya sepi Bu jadi jalannya lambat,” begitulah jawaban sang
kernet yang terus berdiri di pintu. Pintar juga ini kernet. Benar saja, sampai
rumah Bu Reduk tak ada penumpang lain lagi selain aku dan ibu.
Tak perlu
mengantri, ibu langsung memencet bel rumah Bu Reduk. Tak lama kemudian beliau
pun datang membuka pintu. Ia langsung menyilahkan ibu dan aku masuk ke
ruangannya dan meminta kami untuk duduk di depan meja kerjanya. Ibuku mau
memeriksakan kandugannya. Ibuku tengah hamil rupanya. Asyik! aku mau punya
adik. Tapi kok perut ibu tidak tampak besar seperti perut tetangga rumahku yang
juga sedang hamil, pikirku.
Setelah
mengungkapkan maksudnya, ibu pun diminta berbaring di tempat tidur yang tak
jauh dari meja kerjanya. Bu Reduk mau memeriksanya. Dengan kalung besi andalannya,
Bu Reduk memeriksa ibu. Entah selanjutnya apalagi yang ia lakukan. Aku tak
tahu, bagaimana mungkin dia tahu keadaan ibu hanya dengan benda itu. Aku pun
hanya diam saja dengan menyimpan rasa keheranan sambil duduk di kursi.
Sebenarnya aku merasa ngeri kalau berada di ruangan dokter ataupun bidan,
karena aku takut untuk minum obat sehingga sampai besar ibuku tak pernah memberikanku
obat jika aku sakit. Setelah menginjak bangku SMA barulah aku mau minum obat.
***
Siang ini
tiba-tiba banyak orang di rumahku. Aku dan Puput tampak bingung ketika memasuki
rumah, dari pagi tadi kami hanya bermain saja di belakang rumah. Bapak juga
tampak sibuk. Sementara Om Mus dari kemarin dia tidak pulang, katanya dia
menginap di proyek.
Kudengar ibu-ibu
itu berkata dengan sesama temannya yang baru datang, katanya ibuku pendarahan. Aku
tak tahu apa yang terjadi, kulihat ibu terbaring lemah di kasur. Seorang dokter
tengah memeriksanya. Aku dan Puput pun sedih melihatnya. Salah seorang dari
ibu-ibu itu lantas membawaku dan Puput ke belakang. Beliau mencoba menenangkan
kami agar tak menangis.
Tak hanya
ibu-ibu saja yang datang, beberapa bapak-bapak juga ada yang datang ke rumahku.
Salah seorang diantara mereka kulihat membuat lubang besar di samping rumah.
Entahlah untuk apa lubang itu. Setelah lubang selesai digali, bapak keluar
dengan sebuah bungkusan sapu tangan putih di tangannya.
Bapak meletakkan
bungkusan sapu tangan itu ke dalam lubang yang telah digali. Sambil berdo’a
bapak menguburnya dengan tanah secara perlahan-lahan. Belakangan aku tahu bahwa
itu adalah janin yang keluar dari rahim ibu. Ibu keguguran dan aku tak jadi
punya adik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar