Minggu, 20 September 2020

Kisah 2: Keguguran

 

Sore ini ibu mengajakku ke rumah Bu Reduk, seorang bidan ternama di Kecamatan Pegasing. Rumahnya terletak di Desa Simpang Kelaping. Untuk ke rumah itu kami harus berjalan dulu ke depan komplek sejauh kurang lebih 400 meter. Kami tak bisa naik becak karena di sini memang tak ada. Bahkan juga tak ada pedagang makanan ataupun minuman yang masuk ke komplek kami karena pasti mereka pikir tak ada rumah di dalam komplek ini. Dari gerbang hanya terlihat bangunan sekolahan dan lapangan saja, sedangkan perumahannya terletak jauh ke dalam. Jadi, jangan berharap ada gerobak bakso ataupun es cendol yang lewat.

Kami melalui jalan komplek yang masih kerikil, melewati rumah Pak Is dan Pak Sutar, kemudian berbelok ke arah kiri, melewati pohon yang rindang dan perpustakaan sekolah yang besar. Perpustakaan ini sangat besar sekali dibandingkan dengan perpustakaan sekolah pada umumnya, besarnya kurang lebih dua kali ruang kantor guru. Konon kabarnya ini adalah perpustakaan sekolah terbesar di Provinsi Aceh. Kata ibu, dulu ia pernah bekerja di sini menjadi seorang penjaga perpustakaan saat Puput masih kecil, namun ketika ku lahir dia berhenti dari pekerjaannya itu. Bapak juga pernah mengajakku ke sini saat menemaninya mengetik. Kulihat banyak sekali buku di dalamnya yang disusun dengan rapi di atas rak-rak buku yang besar. Selain ada ruang baca, juga ada ruang pertemuan di dalamnya. Terkadang ruangan ini dipakai untuk arisan ibu-ibu komplek.

Setelah melewati perpustakaan, kemudian kami melintasi lapangan sepak bola STM. Lapangan bola ini sangat luas sekali, dua kali lipat lapangan bola pada umumnya. Kulihat banyak orang bermain bola di sini. Mungkin abang-abang STM ataupun orang Desa Wih Nareh. Di lapangan ini juga aku pernah menonton layar tancap. Kami menonton film Wiro Sableng secara beramai-ramai di malam hari, tokoh legendaris yang gila. Di sebelah barat lapangan ini juga ada lapangan basket, lapangan bulu tangkis, dan lapangan sepak takraw. Lapangan ini seringkali digunakan oleh para siswa STM untuk latihan. Aku juga pernah melihatnya. Adapun di sebelah timur dan selatan lapangan ini adalah taman-taman komplek yang indah, terdapat pinus, kembang sepatu, akasia, cemara, dan tanaman-tanaman lainnya. Orang yang menonton pertandingan pun tak akan kepanasan.

Dari lapangan ini kami melewati jalan kerikil kembali dan sampailah di gerbang komplek. Di depan gerbang inilah kami menunggu mobil toa. Lumayan lama kami berdiri di dekat pintu gerbang dan mobil toa pun datang. Ibu lalu menyetopnya. Ibu membantuku untuk naik. Lambat sekali jalan mobil ini kataku dalam hati, sepertinya ibu juga merasakannya. Lalu ia bertanya pada sang kernet, ”Sore begini penumpangnya sepi Bu jadi jalannya lambat,” begitulah jawaban sang kernet yang terus berdiri di pintu. Pintar juga ini kernet. Benar saja, sampai rumah Bu Reduk tak ada penumpang lain lagi selain aku dan ibu.

Tak perlu mengantri, ibu langsung memencet bel rumah Bu Reduk. Tak lama kemudian beliau pun datang membuka pintu. Ia langsung menyilahkan ibu dan aku masuk ke ruangannya dan meminta kami untuk duduk di depan meja kerjanya. Ibuku mau memeriksakan kandugannya. Ibuku tengah hamil rupanya. Asyik! aku mau punya adik. Tapi kok perut ibu tidak tampak besar seperti perut tetangga rumahku yang juga sedang hamil, pikirku.

Setelah mengungkapkan maksudnya, ibu pun diminta berbaring di tempat tidur yang tak jauh dari meja kerjanya. Bu Reduk mau memeriksanya. Dengan kalung besi andalannya, Bu Reduk memeriksa ibu. Entah selanjutnya apalagi yang ia lakukan. Aku tak tahu, bagaimana mungkin dia tahu keadaan ibu hanya dengan benda itu. Aku pun hanya diam saja dengan menyimpan rasa keheranan sambil duduk di kursi. Sebenarnya aku merasa ngeri kalau berada di ruangan dokter ataupun bidan, karena aku takut untuk minum obat sehingga sampai besar ibuku tak pernah memberikanku obat jika aku sakit. Setelah menginjak bangku SMA barulah aku mau minum obat.

***

Siang ini tiba-tiba banyak orang di rumahku. Aku dan Puput tampak bingung ketika memasuki rumah, dari pagi tadi kami hanya bermain saja di belakang rumah. Bapak juga tampak sibuk. Sementara Om Mus dari kemarin dia tidak pulang, katanya dia menginap di proyek.

Kudengar ibu-ibu itu berkata dengan sesama temannya yang baru datang, katanya ibuku pendarahan. Aku tak tahu apa yang terjadi, kulihat ibu terbaring lemah di kasur. Seorang dokter tengah memeriksanya. Aku dan Puput pun sedih melihatnya. Salah seorang dari ibu-ibu itu lantas membawaku dan Puput ke belakang. Beliau mencoba menenangkan kami agar tak menangis.

Tak hanya ibu-ibu saja yang datang, beberapa bapak-bapak juga ada yang datang ke rumahku. Salah seorang diantara mereka kulihat membuat lubang besar di samping rumah. Entahlah untuk apa lubang itu. Setelah lubang selesai digali, bapak keluar dengan sebuah bungkusan sapu tangan putih di tangannya.

Bapak meletakkan bungkusan sapu tangan itu ke dalam lubang yang telah digali. Sambil berdo’a bapak menguburnya dengan tanah secara perlahan-lahan. Belakangan aku tahu bahwa itu adalah janin yang keluar dari rahim ibu. Ibu keguguran dan aku tak jadi punya adik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar