Selasa, 16 Oktober 2012

International Seminar on Mangrove


At the first day, the seminar is started with dinner and java dance performance, that is Lengger Dance, original dance from Banyumas Regency. After that is opening speech by Prof. Dr. Edy Yuwono, Ph.D., as a Head of UNSOED. The second agenda is explanation about REDD+ by Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto as a Directur of REDD+ Satgas. REDD+ is abbreviation from Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation. The country who produce many emission, example CO2 must pay to the country who have large forest because reducing emission. Indonesia is one of the country who have large forest. Large of Indonesia forest is number 3 in the world and number 1 for mangrove.
The agenda at that night is closing by Calung art performance from students of Economy Faculty of UNSOED. Calung art also called Kentongan art, also original from Banyumas Regency. The participants are very antusiasm to enjoy this entertainment, included me and I want to watch it again in other time.
At the second day is top of seminar. Many speakers invites, they are Prof. Michael Muchlenberg from Germany, Dr. Chan Hung Tuck from Japan, Ir. Budi Rustomo, Ph.D from UNSOED, Sanjay Swarup from  Singapore, I Nyoman Suryadiputa from Wetland International Organization, Lucky Adrianto from IPB, etc. The seminar is discuss about Conservation related to REDD+, mangrove in Indonesia (regulation, status, and potency), balancing mangrove conservation and utilisation, community empowerment in mangrove buffer zone, environment, mangrove mapping, mangrove carbon pools and climate change, social economy, and community empowerment.

Selasa, 04 September 2012

Semalam di Rumah Sakit


Alhamdulillah aku sudah bisa nginap di rumah lagi. Yach, kemaren aku baru saja aku mengalami operasi gigi (odontektomi). Meski Cuma operasi kecil saja, tapi dokter tidak mengijinkanku untuk langsung pulang. Sehingga aku pun menginap di rumah sakit selama  sehari semalam.
Hal ini terjadi karena dua gigiku mengalami impaksi, yaitu tumbuhnya gigi ke samping (ke luar rahang). Akibatnya selama ini aku sering mengalami pusing. Dampak lebih lanjut dapat merusak jaringan-jaringan di sekitarnya dan makanan yang tersumbat sulit dikeluarkan. Sebelum semua hal itu terjadi, aku pun memutuskan untuk operasi saja, mumpung masih ada ASKES. Gigi impaksi ini awalnya ku ketahui sejak enam bulan lalu saat ku periksa gigi seriku yang pernah pecah saat kelas satu MTs karena kena tralis besi. Berhubung waktu itu sudah mulai masuk kuliah, aku pun menundanya sampai liburan kuliah tiba. Dan akhirnya tanggal 3 september kemaren operasi pun di lakukan.
Awalnya aku kukira aku bakalan tidak sadar karena ada dua gigi yang akan di ambil, gigi bungsu kanan dan kiri. Namun ternyata aku masih tetap sadar karena hanya gigi  bungsu kiriku saja yang diambil, gigi bungsu kananku akan diambil dalam waktu yang berlainan, jika ada kesempatan. Sebenarnya aku menginginkan dua-duanya sekaligus, namun dokter tidak mengizinkan. Ya mungkin kalau dua-duanya diambil sekalian aku akan kesulitan makan untuk beberapa hari karena kanan dan kiri mulutku mengalami luka.
Meski nginap di rumah sakit, aku tidak terlihat seperti pasien pada umumnya. Aku masih bisa jalan-jalan keliling rumah sakit dan keluar masuk rumah sakit. Ya aku terlihat sehat. Jadi, aku anggap saja sedang piknik dan menginap di hotel, Hotel Dr. M. Ashari. Hahaha… dan yang menemani aku tidur semalaman di rumah sakit juga adeku yang masih smp. Anaknya yang imut-imut dan tingkah lakunya yang lucu menjadi hiburan buatku. Kerap kali aku pun harus menahan tawa.
Uniknya lagi, di ruang Merak itu  kamarku bersebelahan dengan kamar tetangga yang juga masih saudaraku. Bertemulah kami di sana tanpa disengaja. Dan otomatis, orang-orang yang datang menjenguknya juga menjengukku. Waduh... sebenarnya aku tak ingin para tetangga tau, eh malah pada datang. Malunya lagi, kondisiku terlihat sehat, tapi malah di rumah sakit. Hehe…
Kalau boleh memilih, setiap orang pasti akan memilih untuk tidak sakit, apalagi harus menginap di rumah sakit, meski itu gratisan. Demikian halnya denganku yang ingin terus sehat.

Jumat, 17 Agustus 2012

Kharismanya.......


Kedatangan tukang paket siang ini mengagetkanku. Tak biasanya ku menerima paket. Yach, siang itu aku menerima paket dari Pak Wandi, Aceh Tengah. Paket itu ditujukan kepada Bapak. Pak Wandi adalah teman Bapak di Aceh. Kedua putrinya dulu juga santri-santri Bapak di TPA Al-Furqan.
Bapak sangat senang sekali mendapat kiriman paket dari Pak Wandi. Peci dengan motif karawang Gayo pun langsung di cobanya. Aku terharu melihatnya, ternyata Bapak masih meninggalkan kharisma di sana. Sering kali teman, murid, dan santri-santrinya di sana menelepon Bapak. Padahal sudah 12 tahun Bapak meninggalkan Aceh.
Dua bulan lalu, saat pernikahan kakakku, kami juga kedatangan tamu dari Boyolali, keluarga Om Sahid. Mereka bahkan juga bermalam di rumah kami. Pertemuan yang mengharukan setelah 15 tahun, karena beliau dulu pindah 3 tahun sebelum keluarga kami pindah ke Jawa.
Kharisma Bapak sebagai seorang guru dan ustadz masih terus ada sampai sekarang. Dua hari yang lalu muridnya juga ada yang berkunjung kemari jauh-jauh dari Brebes, bahkan mereka pun sempat bermalam di rumah kami. Tak hanya kali ini saja, rumah kami sering kali kedatangan tamu guru dan murid-murid Bapak dari jauh, bahkan setelah mereka lulus pun terkadang juga ke rumah kami. Bapak menjadi guru favorit bagi murid-muridnya dan teladan bagi teman-temannya, baik di Aceh maupun di Jawa. 
Aku ingin menjadi pendidik seperti beliau, yang selalu dikenang oleh murid-muridnya dan menjadi teladan bagi teman sejawatnya. Meski menjadi pendidik itu tidak mudah, karena mendidik adalah seni bagaimana caranya untuk menularkan ilmu yang kita punya kepada orang lain. Ilmu yang ditularkan pun akan terus mengalir karena akan ditularkan lagi dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Ya… berakhir tanpa ujung..........................

Jumat, 20 Juli 2012

Fasting Month


“Ramadhan tiba... Ramadhan tiba...
Marhaban ya Ramadhan...
Marhaban ya Ramadhan...
Marhaban ya Ramadhan...”
by Opick

Kala Ramadhan tiba aku selalu ingat tradisi Ramadhan masa kecilku. Sehari sebelum puasa biasanya ada tradisi ‘megang’, sampai sekarang aku juga belum begitu paham apa itu megang.  Setahuku megang adalah makan besar sebelum puasa datang. Biasanya warga komplek akan menyembelih sapi ataupun kerbau bersama-sama. Kota juga ramai karena banyak ibu-ibu yang berbelanja untuk persiapan puasa. Biasanya sehari sebelum puasa kami akan kumpul bersama keluarga, menyantap semua masakan yang dibuat ibu. Hmmm... tradisi yang tak pernah kutemui lagi di Jawa, jangankan makan besar, bisa kumpul keluarga saja sudah untung. Maklumlah, semenjak di Jawa, anggota keluarga kami tinggal di kota yang berbeda-beda.
Kembali lagi ke cerita masa kecilku. Sementara para orang tua sibuk mempersiapkan megang, kami selaku anak-anak juga punya kesibukan tersendiri. Biasanya kami akan pergi ke gunung di belakang komplek untuk mencari batang bambu. Bambu ini akan kami jadikan obor. Setelah dari gunung kami akan mampir ke sungai untuk mandi sambil mainan kapal-kapalan menggunakan gedebong pisang. Pulang dari sungai kami akan mempersiapkan obor kami masing-masing. Obor ini akan kami gunakan sebagai penerangan selama perjalanan menuju musholah. Musholah Al-Furqan tempat kami tarawih terletak di tengah komplek. Berjarak kurang lebih 300 meter dari rumah. Jalan menuju ke sana sangat gelap, tak ada rumah di kanan-kirinya. Lampu penerangan juga tidak ada. Yang ada hanyalah semak-semak dan perkebunan kopi milik guru-guru STM. Obor atau lampu senterlah penerangnya.
Musholah Al-Furqan, tempat warga komplek sholat. Terlihat tak ada rumah di sekitarnya. (Foto: by Tea, 2010)


Papan nama Musholah Al-Furqan yang telah berusia lebih dari 20 tahun. (Foto: by Tea, 2010)
Saat Tarawih, Bapaklah imamnya. Selain memimpin sholat, bapak juga selalu memberikan ceramah setelah selesai sholat tarawih setiap malam, kecuali malam 17 Ramadhan karena malam itu diisi oleh Pak ‘Teuku’ (sebutan untuk kyai di Aceh) dari luar. Bacaan bapak sangat bagus sehingga sholat pun terasa khusyuk meski hanya sebelas rakaat.
Malam 17 Ramadhan adalah malam yang kutunggu-tunggu. Malam itu, selain ada Pak Teuku juga ada acara makan-makan nasi bungkus. Untuk mendapatkan nasi dengan lauk yang istimewa aku dan teman-teman suka usil. Musholah Al-Furqan ini berbentuk rumah panggung sehingga membuat kami mudah dalam beraksi. Biasanya salah seorang dari kami akan menusuk nasi bungkus dengan lidi dari bawah musholah. Teman yang lain akan menandai (orang Jawa bilang ‘niteni’) dari atas musholah. Setelah ditusuk kemudian lidinya kami cium, sehingga kami akan tau itu lauknya apa. Kami melakukan hal yang sama untuk beberapa bungkus nasi yang berbeda. Nah, pada saat pembagian nasi kami pasti akan memilih nasi bungkus yang kami inginkan. Hahahaha..... nakal banget ya.... yee.. itu waktu aku masih kecil, masih jadi anak bawang, jadi cuma ikut-ikutan aja. Wkwkwkwkwk.....
Lain malam, lain juga siangnya. Kala Ramadhan tiba, pasti deh rame dengan petasan atau mercon. Eits.... itu di Jawa. Kalau di Aceh, ramenya meriam bambu. Tetanggaku, Bang Miga adalah orang paling pinter se-komplek dalam hal main meriam bambu, sampai-sampai beberapa orang jadi korbannya. Ya beberapa dari mereka ada yang harus digunduli karena sebagian rambutnya terbakar, ada juga yang kehilangan alisnya kaya tuyul. Hehehe.......
Untuk mengisi waktu luang kami selama Ramadhan biasanya kami habiskan dengan bersepeda mengitari komplek, bermain di taman komplek, atau pun ke gunung. Ya, saat-saat yang menyenangkan....
Menjelang lebaran, pasti deh tercium aroma kue dari setiap rumah di komplek. Tetanggaku adalah jagonya bikin kue. Setiap tahun biasanya mereka akan membuat kue dalam partai besar untuk keluarga besar mereka. Ya, mereka asli Gayo. Tidak seperti keluargaku yang jauh dari keluarga besar kami. Hmmm... aku sangat senang melihat orang membuat kue. Tak jarang aku main ke tetangga dan ikut membantu mereka membuat kue.
Lain tetangga, lain pula kesibukan di rumahku. Menjelang lebaran, ibu dan bapak akan disibukkan oleh banyaknya tamu yang datang untuk membeli ayam. Ya, Bapak dan ibu mempunyai usaha ternak ayam sebagai usaha sampingan. Aku juga sering membantu mereka di peternakan, seperti memberi minum dan mengambil telur-telur ayam  setiap hari. Kesibukan itu bukan lantas membuat ibu tidak bikin kue. Ibu tetap buat kue lebaran, namun biasanya sudah mepet lebaran karena buatnya juga cuma sedikit.
Malam takbiran tiba. Biasanya aku cuma takbiran saja di Musholah bersama teman-teman. Tak ada acara pukul bedug karena musholah kami tak punya bedug. Kami hanya memainkan alat seadanya, seperti gelas, piring, sendok, dan rebana sebagai musik pengiring takbiran, ya semacam ensemble. Tak jarang malam takbiran diikuti dengan mati lampu. Takbiran pun makin asyik, kami akan menyalakan lilin atau pun obor yang kami punya sambil main kembang api.
Hari nan fitri pun tiba. Beramai-ramai orang menuju lapangan komplek untuk menunaikan sholat ied. Bukan hanya warga komplek, namun juga semua masyarakat Desa Wihnareh. Tak terkecuali wanita yang sedang haid. Tak ada orang yang membawa kendaraan, semuanya berjalan kaki, jauh atau pun dekat rumah mereka. Selesai sholat ied, kami tidak langsung pulang. Kami langsung keliling komplek ke rumah guru-guru untuk bersalaman. Aku paling senang ke rumah Pak Sutar karena biasanya aku akan dikasih balon. Hehehe...... 
Lapangan Komplek, tempat biasa kami menunaikan sholat Ied. Terlihat bukit di belakang komplek. (Foto: by Tea, 2010)

Senin, 28 Mei 2012

My Parent, You are My Inspiration


Kalau orang bilang idolanya adalah presiden atau artis ternama, namun tidak denganku. Bapak dan Ibukulah idolaku. Mereka adalah inspirasi yang nyata dalam kehidupanku.
Bapak dan Ibuku asli Pemalang. Bapak dan Ibuku berasal dari keluarga sederhana yang pas-pasan. Waktu kecil bapak adalah seorang penggembala itik. Bapak sering pergi ke berbagai tempat untuk menggembalakan itiknya, terutama saat musim panen tiba dengan tumpukan jerami sebagai alas tidurnya. Adapun ibu, sebagai anak pertama dari delapan bersaudara juga tak kalah susah dengan bapak. Ibu harus mencari kayu bakar terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah.
Ketika lulus sekolah dasar, bapak pun melanjutkan ke sekolah salafiyah. Bapak termasuk siswa yang pintar. Namun orang tuanya tidak dapat membiayai sekolah bapak lagi. Sehingga setelah menamatkan diri dari salafiyah, bapak pun tidak langsung melanjutkan ke sekolah menengah atas. Keinginan bapak untuk sekolah sangat kuat sehingga akhirnya bapak pun nekat kabur dari rumah menuju ke Bandung hanya dengan membawa uang untuk ongkos saja.
Sesampai di Bandung Bapak pun bekerja serabutan, jadi kuli bangunan dan bekerja di percetakan. Setelah dua tahun barulah bapak bisa melanjutkan sekolah ke SMA Islam Bandung. Kesibukan bapak bekerja tidak membuatnya malas dalam belajar, bapak pun termasuk peringkat 5 besar di kelas. Sambil sekolah bapak pun berjualan minyak tanah keliling di sore harinya.
Dari hasil penjualan minyak tanah keliling inilah bapak akhirnya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, yaitu di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada jurusan pertanian. Sambil kuliah bapak pun tetap bekerja, namun kali ini bapak menjadi penjual asongan. Hal itu menarik perhatian salah seorang dosen yang kemudian mengangkat bapak sebagai anaknya.
Sudah lebih dari sepuluh tahun bapak kabur dari rumah tanpa kabar berita dan membuat orang tuanya di Pemalang menganggap bapak hilang. Namun kabar itu berubah saat orang tua bapak menerima surat undangan untuk menghadiri acara wisuda bapak. Betapa bahagianya mereka menyaksikan anaknya di wisuda, apalagi bapak adalah orang pertama di desanya yang meraih gelar sarjana. Setelah wisuda bapak pun langsung diangkat menjadi PNS dan ditempatkan di STM Pertanian 1 Pegasing, Aceh Tengah.
Di STM Pertanian 1 Pegasing, Bapak adalah salah satu guru pioner di sana. Bapak pulalah yang memprakarsai pembangunan musholah di komplek sekolah yang luasya + 36 hektar itu. Bapak pulalah yang memprakarsai pembangunan masjid di Desa Wihnareh, desa dimana komplek berada. Kemampuan bapak menjadi khatib dan imam sejak kuliah membuatnya menjadi salah seorang tokoh agama di komplek dan desa Wihnareh ini. Bapak juga membuka Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di komplek, Bapak pun berhasil membawa TPA ini sampai ke tingkat Provinsi Aceh dan menjadi koordinator TPA se-Kecamatan Pegasing. Bapak begitu punya nama di sana, sehingga banyak orang yang keberatan dengan kepindahan Bapak ke Jawa di tahun 2000, bahkan mereka berani menjamin kehidupan bapak di sana.
Bapak juga merupakan orang ndeso yang bisa ke luar negeri. Bapak pernah pergi ke Taiwan selama 1 tahun pada saat ibu mengandungku di tahun 1988. Bapak berhasil lolos seleki ditingkat provinsi dan nasional sehingga bisa mengikuti penataran di sana.
Kisah ibu juga tidak kalah menarik. Setelah lulus SMP orang tuanya juga tidak sanggup membiayai sekolah ibu lagi. Ibu ingin terus sekolah agar bisa menjadi contoh buat ketujuh adiknya. Ibu pun merantau ke Jakarta ikut sanak famili di sana. Meski ikut sanak famili, ibu pun tidak enggan untuk membantu mengurusi pekerjaan sehari-hari layaknya pembantu. Namun, ibu tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Selama 4 tahun ibu di Jakarta dan setelah itu pulang ke Pemalang dan menikah dengan bapak.
Bapak dan ibuku orang yang ulet. Bapak dan ibu memiliki banyak adik, mereka pun ingin agar adik-adiknya sukses sehingga uang gaji bapak setiap bulan di kirim ke Jawa untuk membiayai sekolah adik-adik mereka. Untuk memenuhi kebutuhan kami sendiri, bapak pun membuka usaha peternakan ayam dan pembibitan kopi. Sedangkan ibu, ia berdagang sepatu dan pakaian di sekolah-sekolah. Aku dan mba puput juga sering membantu mengambil telur-telur ayam di peternakan dan mengisi polibek di pembibitan kopi, kami pun tak enggan untuk membantu bapak mencangkul di kebun, walau pun kami masih kecil. Alhamdulillah semua usaha ini berjalan lancar dan terkenal di Kecamatan Pegasing.
Kini sudah 12 tahun kami tinggal di Jawa, namun bapak sendiri tinggal di luar kota dan pulang ke Pemalang seminggu sekali. Kehidupan tanpa sosok bapak sehari-hari di rumah membuat istri dan anak-anaknya harus hidup mandiri, meski pun kami semua perempuan. Bapak dan ibu selalu mengajarkan kami untuk hidup mandiri tidak bergantung sama orang lain. Ya... aku ingin seperti mereka, aku ingin bisa ke luar negeri mengikuti jejak bapak, aku ingin selalu membuat mereka tersenyum bahagia, aku juga ingin menjadi sosok seorang ibu yang mampu mendidik anak-anaknya dengan baik.

Belajar Kebudayaan, Seni, dan Toleransi


Kehidupan yang telah kujalani selama lebih dari 23 tahun ini telah memberikan pengalaman dan pelajaran yang penting tentang nilai-nilai kebudayaan, seni, dan toleransi.
Waktu kecil kutinggal di komplek perumahan dengan mayoritas penduduknya adalah pendatang. Kami berasal dari berbagai daerah, seperti Medan, Padang, Jakarta, dan Jawa. Belum lagi waktu itu aku tinggal di Takengon, Aceh Tengah. Hal itu membuatku sedikit tahu tentang kebudayaan mereka.  Meski kami berasal dari daerah yang berbeda namun kami tak enggan untuk saling bergotong royong, misalnya saat pembangunan mushollah dan hajatan. Budaya gotong royong ini benar-benar kurasakan di sana. Ada cerita menarik disini yang terus kuingat adalah ketika ibuku mengalami pendarahan selama 2 bulan dan tidak bisa bangun dari tempat tidurnya, para tetanggalah yang mengurusi aku yang baru 4 tahun dan kakakku yang baru masuk sekolah dasar. Kemudiaan saat kelahiran adikku, para tetangga pulalah yang menyiapkan acara syukurannya. Maklumlah, kami tak punya sanak saudara di sana.
Karena aku tinggal di Aceh, Aku pun jadi tahu sedikit tentang kesenian di sana yang kunikmati secara langsung, seperti Kesenian Didong, Tari Saman, serta Lagu Bungong Jeumpa dan Bungong Selanga. Bahkan sampai sekarang aku masih hafal lirik lagu Bungong Jempa karena dulu sering menyanyikannya bersama teman-teman.
Seiring kepindahanku ke Jawa, aku pun mulai belajar budaya dan kesenian Jawa. Susah memang tapi aku terus berusaha keras meski sampai sekarang masih banyak budaya dan kesenian Jawa yang belum kuketahui, padahal sudah 12 tahun aku di Jawa. Dari belajar itu aku jadi tahu, kalau bahasa Jawa lebih kaya dari pada bahasa Indonesia, bahkan Indonesia sendiri juga tidak punya huruf khas Indonesia sedangkan Jawa punya aksara Jawa. Belum lagi keseniannya yang seabrek, ada wayang, sintren, karawitan, dan tembang macapat, tarian Jawa, dan lain-lain. Untuk wayang aku belum pernah nonton secara langsung sama sekali, keinginan sih sudah dari dulu tapi belum kesampaian. Kalau sintren juga baru nonton beberapa hari yang lalu di desa tetangga. Karawitan sih lumayan sudah sering liat. Untuk tembang macapat juga sudah pernah dengar, tapi sampai sekarang belum bisa menyanyikan 1 pun tembang macapat, bahkan membedakan jenis-jenisnya saja belum bisa. Sedangkan tarian Jawa, aku dulu pernah belajar waktu SMA, yaitu tari Gambyong, namun pas penilaian tetap saja remidi, padahal sudah latihan berkali-kali. Hehe.... malu ya...
Saat duduk di SMA aku pun mulai belajar untuk bertenggang rasa dengan umat agama lain. Aku yang berasal dari Madrasah Tsanawiyah pun tidak mengalami kesulitan ketika berteman dengan teman yang Katholik dan etnis China yang Kristen. Bahkan kami sering pulang bersama karena rumah kami satu tujuan. Di kelas pun aku tak enggan berdiskusi seputar agama mereka untuk menambah pengetahuan dengan menjaga batas-batas tertentu tentunya.
Saat masuk kuliah pun aku juga harus berteman dengan teman yang Katholik. bahkan saat Praktik Pengalaman Lapangan aku pun harus satu kos dengannya selama 3 bulan. Tak ada masalah bagiku. Aku pun jadi lebih tahu kehidupan mereka. Dan kini aku juga memiliki teman yang beragama Hindu yang berasal dari Lombok, bahkan kami juga tinggal satu kos. Ini juga membuatku belajar banyak tentang budayanya dan sikap toleransi.

Selasa, 01 Mei 2012

"EMBER Class"


Berbicara “Ember Class” otomatis berbicara I-MHERE Class  Biologi UNNES angkatan 2007. Kelas ini dibiayai oleh I-MHERE sehingga disebut I-MHERE Class. I-MHERE Class adalah kelas unggulannya program studi Pendidikan Biologi UNNES. Katanya sih kelas internasional gitu. Tapi anak-anak di kelas ini lebih sering menyebut dengan “Ember Class”. Disebut demikian karena anak-anak dikelas ini cerewet, kritis, dan rame layaknya ember. Mereka juga berani memprotes dosen secara terang-terangan, berani ngomongin dosen juga. Nonton video pake LCD proyektor, ada Prince dan Princess. Ada aja deh tingkahnya….
Meski katanya kelas internasional, tapi prasarananya sama aja dengan kelas reguler lainnya. Ketika lulus pun izajah kami tak ada bedanya. Tapi, mereka dapat kemampuan yang lebih dalam banyak hal. Hmmm... sok tau banget ya.
Kelas ini berdiri sejak aku semester 5, tepatnya pada tahun 2009. Aku adalah salah satu dari personil “Ember Class”. Pembelajaran di kelas ini berbeda dengan kelas regular biasa, terutama dalam pembelajarannya yang bilingual, Inggris-Indonesia. Hmmm…. Ga semua anak yang masuk kelas ini bisa bahasa Inggris lho. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang confident, meski bahasa Inggrisnya pas-pasan. Saat presentasi ataupun mengerjakan tugas seringnya in English. Seringnya sih kami ga mudeng juga. Hehe….. kebanyakan dari kami berpikir kelas ini adalah kelas motivasi untuk meningkatkan kemampuan English kami.
Sesuai dengan kelasnya, saat PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) pun, kami diterjunkan di sekolah RSBI. Kebayang donk, pembelajaran di RSBI kaya apa. Pake bahasa Indonesia aja ga mudeng, apalagi bahasa Inggris, otomatis harus mengulang berkali-kali biar para siswa paham.
Para Personil "Ember Class"

Kelas ku adalah angkatan yang pertama ada I-MHERE Class. Jumlah semua mahasiswa di kelas ini ada 33 orang. Uniknya lagi, dari 33 orang mahasiswa cowoknya hanya 2 orang, udah itu, nama mereka juga mirip cewek, Dasa Novi dan Upik Dwi. Hahaha…. Sampai bulan April 2012 masih ada beberapa dari mereka yang masih setia dengan dosen-dosennya, sehingga masih setia juga nungguin kampus UNNES tercinta. Mereka yang udah lulus kini beragam profesinya, seperti Nurin dan Ayu yang sedang hunting beasiswa S2 ke Australia dan juga mengajar di Neutron, Upik yang melanjutkan S2 UGM, Ova yang melanjutkan S2 UNS dan mengajar di SD Islam di Solo, Marta yang melanjutkan beasiswa S2 UNDIP, Fista yang udah ngajar di MTsN Jepara dan menikah dengan pengusaha ukiran Jepara, Azijah yang mengajar di SMA Semesta Semarang, Putri yang menjadi guru SMP Semarang, Anis yang mengajar di Primagama Pemalang, Tina yang mengajar di Primagama Wonogiri, Zubed dan Novi yang mengajar di Aceh ikut program 3T Pemerintah, Fitri yang ikut KKT, Lutfi yang jadi guru privat, serta aku sendiri yang melanjutkan S2 di UNSOED sambil mengajar di Ganesha Operation.
Demikian sekilas tentang “Ember Class”. Buat teman-teman yang lain aku tunggu kabarnya. Buat yang belum lulus ayo terus semangat. Aku yakin kalian pasti bisa. Boleh tuh, 10 atau 15 tahun lagi kita reunian, pasti seru deh, apalagi kalo ngajak keluarga kita. Mohon maaf  ya bila ada kesalahan penulisan nama dan profesi. Hahaha….. kayak kartu undangan aja. Sukses buat kalian  ^_^