Rabu, 23 September 2020

Kisah 20 : Dikejar Anjing

 

Sudah jam 5 sore, Om Kholiq belum pulang juga. Sepertinya ibu ada perlu dengannya. Omku yang satu ini memang seringkali keluyuran bersama temannya abang-abang STM. Ibu pun menyuruhku untuk mencari Om Kholiq ke lapangan.

Aku belum bisa naik sepeda jadi aku berjalan kaki saja sendirian. Padahal lapangannya lumayan jauh. Aku pun berjalan melewati jalan kerikil. Aku berjalan seperti biasa meski sendirian aku tak takut. Namun, saat melewati rumah Pak Is yang berada tepat di pertigaan, bulu kudukku sedikit merinding. Bagaimana tidak, rumah Pak Is terkenal seram, bukan karena rumahnya angker ataupun ada setan, melainkan karena anjing milik Pak Is. Anjing itu selalu menggonggong setiap melihat ada orang yang lewat.

Dengan batu di tangan, pelan-pelan aku melangkah melewati rumah Pak Is. Batu ini akan kupergunakan untuk melempar anjing jika ia mengejarku. Karena biasanya kalau di lempar batu, anjing akan pergi ketakutan.

“Aman...aman...,” kataku dalam hati setelah berhasil melewati rumah Pak Is dengan aman. Tampaknya si anjing coklat itu sedang tertidur pulas.

Aku kemudian berlari menuruni jalan kerikil. Aku ingin segera menemukan Om Kholiq sebelum hari petang. Kucari-cari dia di lapangan bola dan lapangan basket tempat ia biasanya bermain dengan teman-temannya, namun tak juga aku melihatnya. Lelah aku mencarinya. Di lapangan itu juga banyak orang main bola dan membuatku takut untuk berada lama-lama di sana. Aku pun memutuskan untuk pulang saja.

Aku kembali berjalan melewati jalan yang sama dengan ketika aku berangkat tadi. Mau tidak mau aku pun harus melewati rumah Pak Is lagi. Aduh! sudah sore lagi. Anjingnya pasti sudah bangun dan siap beraksi. Bagaimana ini? Aku mencoba untuk tetap tenang saat melewatinya. Tak terlihat lagi anjing itu di emperan rumah Pak Is. “Aman...aman,” kataku pelan. Namun saat ku berbelok melewati pertigaan, terlihat anjing itu berada di sana.

“Guk... guk...,” katanya sambil menatapku. Aku pun merasa takut. Ia mendekatiku, mencoba untuk menggigitku. Aku berusaha menghindar tapi ia berhasil menyentuh celana belakangku. “Waaaaaaa,” aku pun berlari sekuat tenaga sambil menangis berteriak. Untungnya lariku lebih cepat daripada anjing itu.

Hanya beberapa langkah ia mengejar, melihat beberapa orang berdiri di dekat rumahku, ia pun langsung berbalik arah. Om Mus yang berada di depan rumahku berusaha menenangkanku. Ia malah meledekku dan membuatku tertawa.
“Ngis... ngis... ngis...gula jawa, habis nangis ketawa!” katanya.

Untunglah tak ada luka, hanya kantong celanaku saja yang sobek sedikit. Wah, celanaku terkena najis. Ibu berarti harus mencucinya dengan tanah. Hah.. zaman itu mana aku tahu hukum-hukum seperti itu. Hehe...

Bukan hanya Pak Is saja yang punya anjing, beberapa warga komplek lainnya juga memelihara hewan buas ini. Tak usah jauh-jauh, tetangga samping rumahku persis, yaitu Bang Miga, rumahnya sudah seperti peternakan anjing. Ia punya banyak anjing. Si induk anjing yang ia beri nama “bagong” seringkali beranak dan membuat rumah Bang Miga pun ramai dengan anjing-anjing. Tentu saja aku yang tetangganya seringkali merasa takut.

Di Aceh Tengah, anjing sangat banyak sekali maka tidaklah heran kalau aku menemui anjing dimana-mana. Anjing-anjing ini selain untuk menjaga rumah, mereka juga berfungsi untuk menjaga kebun kopi dari pencuri ataupun gangguan babi. Selain itu, anjing juga kerap kali digunakan untuk berburu babi oleh orang-orang Padang.

Setiap seminggu sekali, yaitu pada hari Selasa orang Padang yang bermukim di Kabupaten Aceh Tengah akan melakukan buru babi secara berkelompok. Sudah menjadi tradisi tampaknya bagi mereka. Aku sering melihat rombongan mereka. Mereka menggunakan senjata tajam dan membawa anjing untuk berburu. Komplek kami sering kali menjadi tempat berburu, terutama bagian komplek yang berbatasan dengan sungai dan gunung. Mereka tak membawa pulang bangkai babi itu melainkan meninggalkannya saja. Keesokan harinya terkadang ada orang Medan yang datang untuk mencari bangkai itu, katanya sih untuk dijual.

Karena banyak anjing, maka aku juga harus berhati-hati ketika melangkah. Seperti hewan-hewan lainnya, anjing juga tak berakal sehingga ia membuang kotorannya di sembarang tempat. Jangan sampai aku menginjak kotoran anjing yang tersebar di mana-mana, tak terkecuali di jalan yang sering kulalui. Kotoran anjing ini sudah seperti ranjau saja. Pernah sekali sepatuku ini menginjak kotoran hewan buas itu ketika sedang istirahat sekolah. Tak enak sekali rasanya, aku pun berbisik pada seorang teman yang saat itu sedang bersamaku, kubilang padanya: “Hei, aku menginjak tahi anjing. Tolonglah nanti jangan kamu bilang teman-teman jika nanti mereka mencium bau tak sedap di kelas. Malulah aku jika teman-teman tahu”. Baunya yang tidak sedap pasti akan tersebar kemana-mana. Sudah pasti aku akan dikucilkan di dalam kelas. Anak-anak pasti akan menghindariku dan tak mau mengajakku bermain. Adalah hal yang paling malas mencuci sepatuku yang terkena kotoran anjing ini, tapi tetap harus kulakukan karena aku tak punya sepatu lagi.

Pernah suatu kali aku pulang sekolah beramai-ramai bersama Puput dan teman-temannya. Seekor anjing datang dan mengejar kami. Kami pun berlari. Secara spontan tiba-tiba Kak Dwi melemparkan tasnya. Tas itu pun jatuh di tumpukan tahi anjing. “Hahaha...” kami semua tertawa terbahak-bahak, “ah Kak Dwi bau tahi anjing!” anjing juga sudah tak mengejar kami lagi. Kak Dwi pun malu bercampur kesal. Kak Dwi tetap membawa pulang tasnya itu, tentunya sambil menahan aroma yang sangat tidak enak. Ia pun berjalan di belakang. Esoknya ia tak membawa tas itu lagi.

Anjing juga kadang memakan ayam-ayamku dan milik tetangga yang lain. Aku sering melihatnya langsung, ia berlari sambil membawa seekor ayam di mulutnya. Ayam-ayam kami pun sering merasa resah karena kedatangan seekor anjing yang menyelusup melalui lubang di bawah pagar. Mereka pasti akan ribut, “petok...petok....!” begitulah suara mereka. Anjing memang hewan yang kanibal.

***

Kisah 19: Berkelahi

 

Anak-anak perempuan dan laki-laki di kelasku saling bermusuhan beberapa hari ini. Aku lupa apa penyebabnya, yang jelas siang ini kami berantem di lapangan sekolah, kami saling menendang ala silat-silatan. Aku pun turut serta dalam barisan wonder woman itu. Satu lawan satu. Ups, hanya sebentar saja dan tak sampai menumpahkan darah ataupun meneteskan air mata. Sepertinya aku ada bakat tawuran antar pelajar juga. Haha...

Untung saja kami tak sampai dipanggil ke ruang guru. Seringkali kulihat kakak-kakak kelasku harus berurusan dengan guru karena ketahuan berkelahi. Bang Iwan dan Bang Hendra, kakak adik yang sudah langganan berkelahi seringkali dipanggil ke kantor karena ketahuan berkelahi dengan teman mereka. Kalau berkelahi mereka tak tanggung-tanggung, seringkali membuat lawannya babak belur ataupun menggunakan benda tajam.

Pergaulan anak laki-laki di sana memang sangat keras sekali, acap kali kulihat anak-anak kecil ini berkelahi dengan menggunakan benda tajam. Sering juga aku melihat mereka pada menghisap rokok. Bahkan anak yang paling diam pun sudah dapat dipastikan pernah melakukannya.

Anak laki-laki ini juga sering dipanggil ke kantor karena mengusili anak perempuan. Kakak kelasku yang cantik-cantik seringkali dikurung dalam kelas oleh mereka. Tentu saja hal ini membuat kakak-kakak kelasku itu menangis histeris. Untung saja, aku tak pernah diusili oleh mereka.

Anehnya, salah satu anak laki-laki yang usil itu yang berbadan besar, justru takut dengan suntikan. Suatu hari pihak puskesmas datang ke sekolahku untuk menyuntik para anak-anak kelas 6. Satu demi satu temannya di suntik di dalam ruang kelasku, eh dia malah berlari kabur ke sawah yang ada di belakang sekolahku ini. Dia terus berlari menyusuri pematang sawah. Teman-temannya tentu saja mengejarnya agar ia tetap disuntik. Bahkan Pak Saleh, konon kabarnya juga ikut mengejar. Cemen sekali mentalnya, kalah dengan anak-anak kelas 1.

Kesadaran sekolah juga masih rendah di Takengon ini. Masih banyak anak-anak desa yang tak sekolah. Bukan karena masalah biaya tapi karena rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Mereka lebih memilih untuk bekerja di kebun kopi karena lebih menjanjikan. Setahun dua tahun berkebun kopi sudah pasti menghasilkan katanya daripada membuang-buang waktu untuk sekolah. Sekolah di Aceh ini gratis untuk tingkatan sekolah dasar, untuk sekolah menengah hanya cukup membayar beberapa ribu rupiah saja.

Setelah puas berkelahi di lapangan hijau itu kami kemudian pulang dan anehnya saat di jalan aku hanya biasa saja dengan teman-teman yang berkelahi tadi. Seperti tak ada masalah di antara kami.

Jalan raya yang sepi membuat kami menyeberang sekehendak hati, bahkan salah seorang teman kami ada yang nekat berjalan di tengahnya. Suasana jalan raya di sana memang kontras sekali dengan jalan raya di Jawa ini yang serba macet sangking sesaknya.

***

Kisah 18: Senam Pagi, Kegiatan Rutin di Sekolahku

 

Pagi ini aku kembali bangun seperti biasanya. Untuk pagi ini ibu tak perlu susah-susah membangunkanku, aku bangun sendiri. Segera kuambil wudhu untuk menunaikan sholat subuh. Kemudian aku menuju belakang rumah, kulihat Puput sedang membantu bapak memberi makan ayam-ayam kami. Aku pun turut membantu mereka. Ayam yang mencapai seratus lebih itu tentu tak mudah merawatnya, tapi orang tuaku sebisa mungkin untuk mengurusnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku, Puput, Om Mus dan Om Kholiq-lah yang membantunya. Om Kholiq adalah adik ibu dari Jawa yang ikut kami di sini sejak setahun lalu untuk melanjutkan sekolah di STM ini.

Setelah sarapan aku berangkat sekolah bersama Puput. Berjalan melewati pohon minyak kayu putih seperti biasanya. Ups... saat kami hampir sampai di pagar batas komplek, tiba-tiba seekor babi besar lewat di hadapan kami. Aku dan Puput tentu saja terkejut. Tampak Pak Ismail dan istrinya sedang berusaha mengusir babi itu dari kebun mereka. Hampir saja kami diseruduk babi itu, rasanya jantungan sekali. Untunglah tidak terjadi. Segera kami melewati pagar pembatas komplek yang ada di depan rumah Pak Ismail.

Seorang guru tampaknya sedang memukul potongan besi besar yang tergantung di depan ruang guru. Itulah lonceng kami. Suaranya menggelegar dan terdengar ke semua sudut sekolah ini. Semua siswa lantas berlarian menuju lapangan sekolah. Kami berbaris, bersiap-siap untuk senam pagi. Pak Saleh tampak menunjuk beberapa orang siswa untuk berdiri di depan kelas. Mereka adalah siswa-siswa kelas 6 yang memang sudah lihai dalam gerakan senam, mereka pun bertindak sebagai instruktur senam. Seorang yang berada di tengah akan berdiri dan menjadi penghitungnya mulai dari gerakan pemanasan sampai dengan pendinginan. Dia pasti butuh tenaga yang ekstra untuk menghitung, karena dia pasti akan merasa malu kalau suaranya habis di tengah senam.

Sekolah kami memang belum memiliki tape seperti sekolah-sekolah lain. Meski begitu, senam dengan seragam merah putih ini tetap berlangsung setiap hari setiap pagi. Selain menyehatkan, hal ini juga untuk melatih kedisplinan kami. Aku sebagai anak kelas 1 yang berbadan kecil, tentu sangat senang sekali berdiri di barisan paling depan. Namun mulai aku kelas 4 aku justru lebih suka baris di belakang bersama kakak-kakak kelas lainnya. Selesai senam kami sudah pasti akan mengambil sampah sebelum masuk ke kelas.

Kegiatan belajar mengajar pun berlangsung seperti biasa. Namun saat jam ke-2 Bu Asmiati meninggalkan kelas, ada keperluan sebentar katanya. Ia lalu menitipkan kelas kepadaku. Entahlah, atas dasar apa ia memilihku, kenapa dia tidak memilih Hafidz sang ketua kelas saja, dia kan juga anaknya, pasti lebih terpercaya. Atau karena dia tahu sifat anaknya itu dia jadi tidak percaya. Ah... aku memang suka berandai-andai. Memang pernah suatu kali Bu Asmiati menceritakan keburukan anaknya itu pada kami siswa-siswanya di saat pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, katanya hafidz itu malas dan seringkali tidak merapikan tempat tidurnya ketika bangun. Pantaslah kalau badan Hafidz itu gemuk, karena ia malas bekerja.

Kelas pun hening untuk beberapa saat, ketika Bu Asmiati meninggalkan kami. Namun, kelas kemudian ramai. Teman-teman mulai menunjukkan tingkahnya. Aku juga mulai beraksi. Kuketuk meja anak yang ribut itu, ia lalu terdiam. Teman-teman yang lain pun tak berani ribut lagi karena sudah pasti akan kulaporkan pada Bu Asmiati nanti. Alhasil, semua siswa di kelasku, baik perempuan ataupun laki-laki menjadi takut padaku karena setiap yang ribut pasti akan kucatat. Aku memang suka melapor. Haha... Oh tidak, aku hanya mencoba bertanggung jawab atas apa yang diamanahkan padaku.

***

Kisah 17: Pacuan Kuda

 

Aku dan Puput pulang sekolah lebih cepat dari biasanya karena sekolah kami dibubarkan. Kami juga tak berangkat mengaji karena libur. Kami langsung berganti pakaian karena kami hendak ke lapangan Musara Alun untuk melihat pacuan kuda. Di daerah Gayo, pacuan kuda sudah menjadi tradisi turun-temurun yang diadakan setiap bulan Agustus.

Kami pergi bersama Kak Lucky dan ayahnya. Sementara ibu dan bapak telah berada di sana bersama Bu Endang, ibu Kak Lucky. Orang tua kami berjualan bakso dan miso bersama di acara pacuan kuda itu selama berlangsungnya acara yaitu selama 1 minggu lamanya. Jadi setiap hari selama seminggu ini aku selalu ke sana setiap habis sekolah.

Perpaduan masakan Jawa dan Medan, begitulah bakso dan miso yang orang tua kami jual. Ibuku berasal dari Jawa dan ibu Kak Lucky berasal dari Medan.  Sepertinya asal daerah tidak mempengaruhi cita rasa makanan itu yang dapat ditemui dimana-mana di seluruh daerah yang ada di Indonesia, toh rasanya di semua tempat sama saja.

Kami baru melewati Uning dan tiba-tiba turun hujan. Ayah Kak Lucky lalu menepi dan menghentikan sepeda motornya pada sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan, rumah papan yang kecil dan sangat sederhana. Kami tak bawa jas hujan sehingga kami harus berteduh di rumah yang tak kami kenal pemiliknya itu, Kami berdiri di depan rumah itu, aku terus mengamati tetes-tetes air yang turun lalu membasahi tanah dan tanaman, dingin pun terasa, apalagi aku juga tak bawa jaket. Untunglah tak lama hujan ini turun dan kami melanjutkan perjalanan kembali.

Musara Alun berada di Desa Blang Kolak di daerah kota, berjarak sekitar 7 km dari komplek kami. Musara alun adalah lapangan yang sangat luas. Lintasan sepanjang kurang lebih 1,5 km di pinggirnya digunakan untuk pacuan kuda, sementara lapangan tengahnya dimanfaatkan untuk berjualan makanan, baling-baling, dan para penonton pacu kuda. Ramainya melebihi pasar malam yang sering kutemui di Jawa. Para penonton dapat melihat pacuan kuda ini dari dalam lapangan ataupun dari luarnya. Meski sudah ramai, di tengah musara ini juga masih ada tempat untuk pertandingan sepak bola. Pacuan kuda ini benar-benar pesta rakyatnya orang Gayo. Semua orang Gayo dari berbagai daerah datang kemari. Bahkan turis asing juga tak mau ketinggalan.

Sementara orang tua kami berjualan bakso dan miso, kami akan bermain di lapangan ini. Kami bisa menonton pacuan kuda sepuasnya, naik baling-baling, ataupun menonton pertandingan bola yang kerap kali diadakan di tengah lapangan ini.

Menonton pacuan kuda adalah hal yang menyenangkan. Rasanya tegang sekali. Kami memilih nonton di dekat garis start. Sebuah pagar kayu membatasi kami dengan lintasan pacu kuda. Hal ini dilakukan agar kuda tetap berlari di jalur lintasan. Kulihat para joki telah berbaris di garis start. Mereka masih terlihat muda-muda, bahkan ada beberapa orang dari mereka yang masih anak-anak.  Mereka juga tak mengenakan pengaman seperti joki-joki profesional yang sering kulihat di TV.

Tidak ada aturan pasti dalam perlombaan pacu kuda, baik tentang  atribut maupun usian seorang joki. Para joki umumnya berkaki telanjang dan berpakaian bebas. Begitu juga dari segi keamanan dan keselamatan para joki, mereka tidak menggunakan alat pengaman tubuh, pagar, dan tali yang benar-benar memenuhi standar keamanan. Seringkali terjadi kecelakaan dalam ajang ini. Tak jarang ada joki yang jatuh dan terinjak-injak kuda. Tidak menutup kemungkinan mereka pun akan meninggal. Sedikit ngeri memang.

Kulihat juga seseorang berdiri di garis start. Ia adalah seorang juri pembantu. Mula-mula ia memberi aba-aba dengan mengangkat "bendera start" warna putih sebagai isyarat pertarungan segera berlangsung. Kuda-kuda pun tampak mencuri start. Saat bendera putih kembali dikibarkan, para joki segera menarik tari kekang kudanya agar berlari dengan cepat. Para joki akan terus memecut kudanya dengan cambuk yang mereka bawa agar kuda-kuda itu terus berlari dengan cepat.

Seru sekali saat kuda-kuda sudah mulai berlari. Mereka terlihat sangat lincah sekali meskipun mereka bukan kuda balap sungguhan. Umumnya kuda-kuda ini adalah kuda yang digunakan untuk membajak sawah sehari-harinya. Saat mereka bertanding, tiga orang juri akan duduk di atas sebuah menara bertingkat yang jaraknya kira-kira 100-200 m dari garis start.

Aku berharap jagoanku akan menang. Aku terus mengamatinya sampai kuda-kuda itu tiba digaris finish. Yach.. kalah, saat kuda favoritku tiba belakangan.

Tak enak rasanya berdiri di pinggir lintasan pacu kuda. Berdebu dan panas, itulah yang aku rasakan.

“Balik yuk ke warung,” ajak Puput kepadaku dan Kak Lucky.

“Iya betul, panas rasanya,” kataku menambahkan.

“Kita naik baling-baling aja yuk,” ajak Kak Lucky. Sepertinya ajakannya cukup menarik. Kami pun lantas berjalan menuju baling-baling langganan kami. Kami lalu melewati tanah lapang yang luas dan menyelusup di tengah ramainya pengunjung.

“Eh.. eh... ada Utih Geter,” kata Puput dengan pelan saat kami sedang melangkah.

“Mana-mana?” tanyaku dan Kak Lucky penasaran.

“Itu!” tunjuk Puput pada salah seorang yang berdiri sekitar 10 meter dari kami. Utih Geter tampak berdiri sendirian sambil bicara sendiri pula, entah apa yang dia maki-maki.

“Lariiii.....!” ajak Kak Lucky. Kami pun kembali menyelusup di tengah ramainya pengunjung pacuan kuda.

Utih Geter adalah orang gila yang terkenal di Takengon. Rambutnya pendek seperti cowok dan sudah berumur. Kami seringkali menjumpainya di daerah kota. Utih Geter seringkali menakut-nakuti orang-orang yang dijumpainya dengan mengejar ataupun mengucapkan kata-kata yang kasar. Sebaliknya, banyak orang juga yang mengolok-oloknya untuk memancing tingkahnya. Paling lucu adalah ketika ia berjalan di dekat lapangan Musara Alun ini dengan mengenakan gaun pesta berwarna putih ala baju ulang tahun anak-anak sambil berpayungan. Lucu sekali kelihatannya, dia seperti bidadari yang turun dari negeri acak kadut antah berantah di siang bolong. Aku jadi teringat akan atraksi topeng monyet yang pernah kutonton, “Si Minah mau ke pasar, teng... teng... teng... teng... si Minah pun jalan berlenggok-lenggok sambil membawa payung,” hahaha....

Kami terus mengikuti Kak Lucky sampai kami tiba di baling-baling dengan sedikit ngos-ngosan. Baling-baling di depan warung bakso dan miso orang tua kami memang sudah menjadi langganan kami sejak acara pacuan kuda ini dibuka beberapa hari lalu. Kami tak perlu membayar seperti orang-orang lainnya, tetapi kami dapat naik sepuas kami setiap saat. Sang pemilk yang berwajah seperti orang India itu telah menjadi teman kami selama pacuan kuda ini berlangsung. Bahkan, kami saling memberi kenang-kenangan di hari terakhir pacuan kuda.

***

Kisah 16: Agustusan

 

Pulang sekolah ini aku kembali melewati jalan depan. Namun saat melewati gerbang komplek siang ini terlihat ada pemandangan yang berbeda. Umbul-umbul berwarna-warni telah dipasang sepanjang gerbang komplek. Pintu gerbang juga lebih indah dari biasanya. Ada sebuah gapura besar di sana. Gapura warna merah putih yang dipenuhi dengan hiasan warna merah putih pula. Aku baca tulisan yang terpampang di sana: “HUT RI ke-50,” ada apa sih ini, pikirku dalam hati.

“Oh iya mau Agustus-an,” kata Febry. “Nanti aku mau pake baju adat,” katanya lagi. Aku pun tak sabar untuk segera sampai ke rumah dan menanyakan ini pada ibu.

Pemandangan yang berbeda juga kutemui sepanjang perjalanan pulang. Bangunan-bangunan STM juga ramai dihiasi bendera merah putih, umbul-umbul, dan lampu warna-warni. Rumah Pak Sutar dan Pak Is yang berdiri sendiri juga tak kalah ramai dengan atribut khas Agustusan. Blok rumahku juga tak kalah ramai. Setiap rumah juga sudah memasang umbul-umbul dan lampu berwarna-warni, termasuk rumahku. Bu Aswin telah menjahitkan umbul-umbul itu beberapa waktu lalu. Padahal, rumah kami jauh sekali dari jalan raya, siapa juga yang mau melihat, tak akan ada bupati ataupun pak camat yang akan memeriksa lingkungan rumah kami ini. Tapi aku suka karena lingkungan rumah yang hanya 10 ini pun jadi terlihat lebih hidup.

“Ma, di gerbang kok ada gapura warna-warni? Terus tulisannya HUT RI ke-50,” tanyaku pada mama.

“Oh iya, tanggal 17 Agustus kan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-50 sehingga disingkat HUT RI. Nanti hari kamis kan upacara di lapangan STM.”

“Oh, berarti Indonesia itu merdeka tanggal 17 Agustus ya Ma?” tanyaku lagi.

“Iya, benar,” jawab ibuku lagi.

“Ma, kata Febry dia nanti mau pakai baju adat pas upacara. Terus ade gimana?” tanyaku lagi, aku kan juga ingin seperti Febry.

“Iya nanti,” ibuku sepertinya kesal karena aku bertanya terus padanya. Padahal aku tahu, ibuku itu belum menyiapkan baju adat apapun untukku, meski upacara Agustus tinggal 4 hari lagi.

***

Kamis pagi tanggal 17 Agustus 1995, aku dan Puput sudah berdiri di lapangan. Lapangan STM hari ini ramai sekali, berbagai siswa-siswi dari SD hingga SMA se-Kecamatan Pegasing datang ke komplek kami untuk mengikuti upacara bendera memperingati hari Kemerdekaan RI Tanggal 17 Agustus. Tampak juga para ibu-ibu dan bapak-bapak berpakaian coklat-coklat dan hijau belang-belang, mereka adalah para polisi dan tentara. Pasukan 08 juga sudah siap berdiri dengan pakaian yang serba putih dengan sebuah bendera di tangan salah seorang anggotanya.

Sudah tradisi dari tahun ke tahun kalau lapangan komplek STM ini digunakan untuk upacara 17 Agustus. Lapangan STM merupakan lapangan terbesar se-Kecamatan Pegasing. Bagaimana tidak, lapangannya saja ada dua yang bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh parit kecil.

Aku dan Puput bergabung dengan barisan anak-anak yang mengenakan baju adat. Kami adalah anak-anak guru SMK N 1 Pegasing. Pagi ini aku mengenakan pakaian adat Aceh. Cukup sederhana baju Aceh ini: celana panjang hitam, baju lengan panjang warna putih, songket warna merah setengah lutut yang dipasang di pinggang, serta kain songket merah juga yang dipasang menyilang di dada. Aku jadi terlihat seperti anak Aceh. Padahal aku kan orang Jawa. Hehe.... Temanku yang lain ada yang memakai karawang Gayo dan baju ala melayu, seperti Bang Miga, bahkan lengkap dengan pedang kayunya.

***

Agustus-an pasti identik dengan lomba-lomba, di bagian manapun negara Indonesia ini pasti juga sama. Begitu juga dengan komplek tempat tinggalku. Siang ini aku kembali ke lapangan STM, tentunya aku sudah tidak mengenakan pakaian adat lagi, melainkan kaos dan celana pendek. Aku sudah siap untuk mengikuti berbagai perlombaan untuk memeriahkan peringatan hari kemerdekaan RI yang jatuh pada hari ini.

Ibu mendaftarkanku dan Puput untuk mengikuti beberapa perlombaan, seperti lomba kelereng, makan kerupuk, balap karung, giring balon, dan ambil batu.

Sekarang aku telah berbaris di garis strart. Lomba pertama yang kuikuti adalah lomba ambil batu. Dalam lomba ini aku harus mengambil batu yang ada di sisi lain untuk di pindah ke garis start. Untuk dapat memenangkan lomba ini aku harus mempunyai tenaga esktra yaitu berlari secepat mungkin kalau perlu secepat kilat.

“Prittt........!” peluit dibunyikan.

Aku pun berlari meninggalkan garis start dengan mengerahkan segala daya dan tenaga yang kupunya. Kuambil satu per satu batu di seberang sana. Dengan cepat aku berlari bolak-balik tapi tetap saja aku kalah karena beberapa anak larinya lebih cepat dariku. Wajar saja mereka menang, mereka kan lebih besar, pasti langkah kakinya juga lebih lebar dan cepat. Ah.... aku kalah. Ibu berusaha menghiburku dan memberiku semangat untuk mengikuti lomba selanjutnya yaitu lomba bawa kelereng. Kelereng yang biasanya aku mainkan untuk main  cuk-cuk garis ataupun pangkah bisa juga ya buat lomba Agustus-an.

Setelah beristirahat beberapa saat, aku kembali berdiri di garis start. Sebuah sendok aluminium yang berisi kelereng telah kugigit dengan gigi-gigiku yang kuat.

“Prittt........!” peluit kembali dibunyikan.

Aku segera berjalan dengan perlahan membawa kelereng itu. Aku terus berjalan dengan pelan meskipun beberapa anak telah mendahuluiku. Mereka berjalan lebih cepat, tapi tak lama kemudian kelereng mereka terjatuh dan mereka pun berhenti dari lomba. Hanya tinggal dua anak saja yang bertahan. Aku terus membawanya dengan pelan dan berhasil sampai ke garis finish. “Aha... aku menang”. Meski menang ataupun kalah dalam perlombaan yang kuikuti, aku tetap berteman dengan lawan-lawanku tadi. Bagiku menang atau kalah itu tak masalah. Aku harus bisa sportif dalam perlombaan yang kuikuti. Satu hal lagi, jangan tergesa-gesa dalam perlombaan, tenang adalah salah satu kunci suksesnya, seperti salah satu semboyan orang Jawa “Alon-alon asal klakon”.

***

Kisah 15: Cerdas Cermat di Malam Hari

 

Sekitar pukul 18.45 WIB terdengar adzan maghrib berkumandang dari Mushallah Al-Furqaan, suara Om Kholiq tampaknya. Segera aku bergegas ke mushallah bersama Puput dan Miga. Bapak juga mengikuti kami dari belakang. Kami telah berwudhu dari rumah agar tak perlu repot-repot pergi ke kamar mandi yang menyeramkan itu. Sesampai di mushallah kami pun langsung berbaris, siap-siap untuk menunaikan sholat berjamaah. Hanya segelintir orang saja yang ikut sholah berjamaah, bahkan kalau dihitung dengan jari tentu saja masih ada jari yang sisa. Jamaah putra biasanya hanya 4 orang saja: Bang Miga, Om Mus, Om Kholiq, dan abang-abang STM, sedangkan jamaah putri hanya aku dan Puput saja. Ibuku sholat di rumah saja, karena ia tak ingin rumah kami sepi di waktu maghrib. Belakangan aku pun tahu kalau seorang istri itu lebih memang lebih baik sholat di rumah.

Selepas menunaikan sholat maghrib kami lalu pulang ke rumah, bersama bapak tentunya karena kami tak berani melewati jalan berumput yang gelap itu sendirian. Sangat gelap memang dan kami juga takut ada babi yang lewat. Saat malam mulai tiba, babi pun mulai bereaksi turun ke pemukiman. Sudah pasti ia akan meninggalkan jejaknya di pagi hari, yaitu perkebunan warga yang rusak, apalagi yang sudah siap panen. Orang tua Bang Miga dan Kak Lucky bahkan memasang kabel listrik di malam hari yang dapat menyetrum babi-babi yang mencoba menembus batas kebun mereka.

Sesampai di rumah, aku dan Puput lantas membuka Al-Qur’an untuk mengaji barang beberapa ayat saja, bapak langsung yang akan menyimak kami. Kemudian kami pun makan bersama di bebalen yang terletak di dekat dapur itu. Menu makan kami pun sangat sederhana, tapi cukup mengenyangkan perut. Makan bersama memang terasa nikmat.

Selepas menunaikan sholat isya, kami pun akan berkumpul di ruang keluarga yang juga ruang tamu dan ruang nonton TV kami. Bahkan ibuku juga menyetrika di ruangan ini. Seperti malam-malam biasanya, malam ini bapak juga memberi kami permainan cerdas cermat. Bapak akan melombakan aku dan Puput untuk menjawab berbagai pertanyaan seputar pengetahuan umum. Aku dan Puput sudah pasti berlomba-lomba untuk menjadi juaranya.

Jika tidak cerdas cermat, bapak pun akan memberikan kami tebak-tebakan atau teka-teki, aku juga suka bermain teka-teki ini bersama teman-temanku. Teka-teki andalan kami adalah “Ular mati bisa merokok, apakah itu?” sudah pasti jawabannya: “obat nyamuk,” atau “bapaknya merokok, ibunya menjahit, dan anaknya menangis, apakah itu?” jawabannya adalah: “kereta api,” haha... permainan yang sudah tak pernah kudengar lagi di kalangan anak-anak zaman sekarang.

Sekitar pukul 9 malam, kami pun mulai meninggalkan ruang serba guna itu. Tak lupa sebelum tidur aku mencuci kedua kaki dan tanganku, serta pipis dulu biar tidak mengompol. Haha... padahal sejak umur 3 tahun aku sudah tak pernah ngompol lagi. Haha...

Aku tak tidur bersama orang tuaku lagi, melainkan dikamar sebelah bersama Puput. Ranjang kami merupakan tempat tidur tingkat. Kali ini aku tidur di atas dan Puput di bawah. Lampu kamar sengaja dinyalakan karena kami tak berani tidur dalam gelap-gelapan. Terkadang aku merasa sesak nafas ketika mati lampu terjadi. Tak lupa sebelum memejamkan mata aku berdo’a terlebih dahulu.

***

Kisah 14: Bola Kasti

 

Sepulang dari mengaji sekitar pukul 5 aku pun segera berganti pakaian dengan pakaian bermain. Kuambil kaos dan celana komprang dari almari, pakaian bermainku tentunya. Aku keluar rumah. Puput, Bang Miga, Bang Ivan, Kak Titi, Kak Iin, Cece Kak Titi, Bang Sigit, dan Kak Lucky telah berkumpul di jalanan depan rumah Kak Titi rupanya. Sore ini kami akan bermain bola kasti. Aku masih kecil, sehingga aku hanya jadi anak bawang saja, yaitu hanya ikut-ikutan bermain, jadi bisa bergabung dengan kelompok manapun. Inilah yang aku tidak suka, aku merasa diriku sudah besar karena aku sudah masuk sekolah dasar. Sudah sepatutnya aku dianggap sama dengan anak-anak lainnya, karena dengan begitu aku akan merasa bertanggung jawab terhadap diriku dan kelompokku.

Jalanan depan rumah Kak Titi memang sering kali kami gunakan untuk bermain karena tempat itu adalah tempat yang strategis, pertemuan dari 10 rumah yang ada di blok perumahanku. Kamu jangan bayangkan jalanannya ramai, dan akan ada motor yang lewat disela-sela kami bermain. Tentu saja tidak! Jalanan-jalanan di komplek kami sangat sepi, jarang sekali ada kendaraan yang lewat.

Selain di depan rumah Kak Titi ini, kami juga biasa bermain kasti di taman dan lapangan komplek. Kalau di sana kami juga akan bergabung dengan anak-anak blok selatan seperti Bang Galih, Nova, Agri, Febry, Laras, dan Kak Dayah.

Dalam permainan bola kasti, kami terbagi dalam dua kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa anak. Pembagian kelompok dilakukan secara adil dengan suit. Pasangan suit pun disesuaikan dengan kemampuan kami. Miga sudah pasti akan suit dengan Ivan, sementara Puput dengan temannya yang lain yang sama besarnya. Berhubung aku anak bawang, jadi aku tak perlu suit.

Satu kelompok akan bermain sementara kelompok lainnya akan berjaga. Aku tak terlalu lihai dalam memukul karena aku memang tak bakat jadi algojo, tapi lihai dalam berlari. Kelompok Bang Sigit main duluan. Setelah satu persatu anggotanya memukul bola dan pergi ke benteng 2, sekarang giliran Bang Sigit sundul Bola. Saat Bang Sigit sundul, anggotanya yang lain yang ada di benteng 2 akan berlari ke benteng 3 dengan cepat agar tak kena pukulan bola. Bang Sigit pun diberikan kesempatan memukul 3 kali untuk memulangkan anak buahnya kembali ke benteng 1. Bang Sigit pun melakukan pukulan pertamanya. “Ceppp...” pukulannya belum cukup jauh rupanya untuk dapat memulangkan mereka. Ia kembali memukul dan “wow!” pukulannya sangat jauh sekali dan jatuh di semak-semak kebun yang ada di ujung pertigaan jalan ini. Semua anggotanya pun berlari ke benteng 1.

Kelompok jaga langsung berlari ke kebun untuk mencari bola itu, namun mereka tak menemukannya juga. Kelompok Bang Sigit lantas ikut mencari. Bola kasti sebesar kepalan tangan itu memang sulit sekali ditemukan di tengah rumput hijau karena warnanya yang juga hijau. Apalagi kebun ini sepertinya sudah lama tak dirawat oleh pemiliknya, lihat saja! Banyak semak-semak disana dan bisa jadi bola kasti itu bersembunyi diantara rimbunnya semak-semak. Entahlah, mengapa kami tak takut ular yang kapan saja bisa datang. Adalah hal yang memungkinkan bagi ular untuk datang dan mematuk kami. Di lingkunganku itu memang sering sekali ditemukan ular. Kalau pun tidak dipatuk ular, badan kami pasti akan gatal-gatal karena digigit serangga yang berada di rerumputan. Cukup lama juga kami mencari dan akhirnya Bang Sigit menemukannya. Namun kami tak melanjutkan permainannya lagi, waktu sudah senja sehingga kami harus pulang ke rumah masing-masing. Apalagi Bang Sigit, ia pasti tak ingin pulang ke rumahnya malam-malam karena jalan ke rumahnya sangat gelap sekali dengan semak belukar di kanan-kiri jalan.

Kami kembali ke rumah masing-masing untuk membersihkan diri, kecuali aku dan Puput yang jarang sekali mandi di sore hari, ngirit air. Hehe...! Bermain di sore hari adalah hal yang menyenangkan bagi kami sebelum matahari terbenam.

***

Kisah 13: Mengaji dan Misteri Kamar Mandi

 

Setelah makan dan menunaikan sholat dzuhur aku kemudian bersiap-siap untuk berangkat mengaji bersama Puput di Mushallah Al-Furqaan. Pengajian di mushallah ini sebenarnya bermula dari pengajian kecil yang diadakan di rumah kami setahun lalu yang digelar setiap habis sholat maghrib. Waktu itu hanya ada 6 orang saja santri bapak yaitu aku, Puput, Kak Titi, Kak Iin, Cecek Kak Titi, dan Bang Miga. Saat itu di komplek kami belum ada tempat mengaji. Dengan sukarela bapak menggelar pengajian kecil-kecilan di rumah kami atas usul orang tua mereka. Pengajian pun digelar di bebalen sederhana yang ada di bagian belakang rumah kami.

Hampir setiap rumah di Aceh Tengah ini mempunyai bebalen (bale-bale) yang berbentuk panggung, terbuat dari papan. Hal ini dimaksudkan agar tak langsung menyentuh permukaan tanah yang dingin. Bebalen ini merupakan tempat yang serba guna. Biasanya digunakan untuk tempat duduk-duduk bersama keluarga, tempat menonton TV, tempat makan, tempat sholat, tempat belajar, tempat menyambut tamu, bahkan juga dimanfaatkan untuk tidur bersama anggota keluarga. Karena terbuat dari papan maka rasanya pun hangat. Apalagi bebalen ini biasanya terletak bersebelahan dengan dapur, tanpa adanya tembok pembatas.

Ternyata pengajian di rumahku itu tersebar luas di kalangan warga komplek. Mereka pun pada berminat untuk memasukkan anaknya menjadi santri bapak. Tentu saja rumahku tak muat dengan banyaknya santri baru. Maka sejak aku kelas 1 SD, pengajian yang tadinya digelar dirumahku sekarang pindah ke mushallah ini atas usulan para orang tua santri. Waktu mengaji pun di rubah, yang tadinya malam hari sekarang siang hari sepulang sekolah. Sekarang santri bapak sudah lebih dari 30 orang yang merupakan anak-anak guru STM Pertanian Pegasing.

Mushallah ini berjarak sekitar 100 meter dari rumahku. Aku dan Puput pun berjalan menyusuri jalan setapak ditengah-tengah rumput teki. Sebenarnya enak sekali berlari di jalan ini karena bebas dari kendaraan yang lalu lalang. Jalannya yang tidak rata dan dipenuhi rerumputan membuat sang pemilik kendaraan malas melaluinya. Namun kami memilih berjalan kaki saja untuk menghindari ranjau rumput yang sering kali ada. Rumput teki setinggi lutut ini memang gampang sekali untuk diikat dengan sesamanya, kami pun akan terjatuh jika telapak kaki ini masuk ke lubangnya. Ini adalah ulah anak-anak usil yang kurang kerjaan, ya aku juga pernah melakukannya. Gemes rasanya melihat rumput teki yang begitu lebat. Hehe.. Tak jarang juga kami bermain di jalan ini, termasuk tidur-tiduran karena begitu empuknya. Kami tak takut akan bahaya ulat ataupun ular yang masih sering kami jumpai di komplek.

Aku dan Puput masih terus berjalan. Jalanan itu terlihat sepi, tak ada rumah di kanan-kirinya, yang ada hanyalah kebun kopi milik warga komplek dan kebun tebu milik STM yang tak terurus. Setibanya kami di mushallah, baru ada beberapa anak. Tanpa pikir panjang, segera kami ambil satu bangku panjang yang menumpuk bersama bangku-bangku panjang lainnya. Sebuah bangku panjang itu lantas kami letakkan di depan papan tulis. Kami sangat suka sekali duduk di depan papan tulis karena dengan begitu kami bisa menulis dengan lancar tanpa ada yang menghalangi kami. Kami juga dapat mendengar suara sang ustadz dengan jelas.

Selain mengaji, sang ustadz yang juga ayah kami sangat pintar sekali dalam menyanyi dan memberi tebak-tebakan. Suaranya memang tak sebagus Maher Zein, Opick, ataupun Haddad Alwi, tapi ia mampu menghibur kami. Kami selalu diminta menirukannya dan akan dilombakan antara santri putra dan santri putri.

“Osaka Osaka my favorite

Osaka Osaka sit down please!”

Itulah salah satu lagu yang diajarkannya pada kami. Lagu itu ia peroleh dari mimpinya. Bukan hanya lagu ini saja, seringkali ia memperoleh hal-hal baru berdasarkan mimpi-mimpinya dalam tidur. Mungkin seperti mendapat ilham.

Tak sampai pukul 2 siang, mushallah pun mulai ramai. Masih cukup lama juga kami masuk. Sudah menjadi rahasia umum kalau kami berangkat mengaji juga untuk bermain. Seperti siang ini, sambil menunggu para guru ngaji kami datang kami bermain-main di bawah rindangnya pohon pinus yang ada di halaman mushallah. Kami bermain apa saja, lompat tali, patok lele, serimbang, bahkan juga bola kasti dan bola tendang.

Tiga puluh menit kemudian bapakku dan ibuku datang, merekalah guru mengaji kami. Bu Nil, guru mengaji yang baru juga datang tak lama kemudian. Mulailah kami mengaji, mengucap do’a mau belajar sebagai pembuka. Bapak mulai menuliskan tugas yang harus kami tulis di papan tulis. Tentang ilmu tajwid tampaknya. Ilmu tentang bagaimana caranya membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Bapak mulai menjelaskannnya dengan suara yang nyaring, dengan semangat yang menggebu-gebu. Padahal, beliau baru saja balik mengajar dari SMA 1001 dan belum sempat pulang ke rumah.

SMA 1001 ini sangat jauh sekali dari komplek, lebih dari 10 km. Untuk menuju ke sana bapak pun harus menaiki mobil toa sebanyak dua kali. Sudah pasti bapak sangat lelah, belum lagi perutnya yang belum terisi makanan siang ini. Tetapi, bapak tak menunjukkan itu semua dihadapan kami para santri-santrinya, beliau tetap mengajar dengan penuh semangat. Hanya aku dan Puputlah yang dapat mengerti kelelahan bapak.

Hari ini hari pertamaku membaca Al-Qur’an setelah aku menyelesaikan membaca Iqra jilid 1 hingga 6 ditambah dengan Juz Amma selama 2 tahun lamanya. Tapi bukan ibu dan bapaklah yang hari ini akan mengajariku mengaji seperti biasanya, melainkan Bu Nil, orang tua Ivan.

Dengan sedikit gemetar aku membuka kitab suci yang warnanya merah jambu itu, Al-Qur’an milik ibuku. Perlahan-lahan kumulai membaca Basmallah dan dilanjutkan dengan surat Al-Fatihah dan beberapa ayat di surat Al-Baqarah. Alhamdulillah, aku berhasil menyelesaikannya dengan baik. Diantara santri yang lain, akulah santri termuda yang sudah sampai ke Al-Qur’an. Tentu saja saat itu jarang sekali ada anak kelas 1 SD yang bisa membaca Al-Qur’an dan sudah lancar dalam membaca bacaan sholat, termasuk bacaan tahiyatul akhir. Resepnya adalah bahwa di rumah aku selalu mencoba membaca apa yang akan kubaca nanti di tempat ngaji. Bapak juga seringkali memintaku membaca Surat Yaasin setiap malam Jum’at saat aku masih mengaji Iqra. Kata bapak, salah sedikit tidak apa-apa karena aku masih belajar, semakin sering aku membacanya pasti akan semakin lancar. Semboyan “Bisa karena terbiasa” memang benar adanya.

Sekitar pukul 4 sore para guru ngaji itu sudah selesai mengajar para santrinya. Semua santri lantas mengambil wudhu untuk menunaikan sholat ashar berjamaah. Segera kami berjalan menuju kamar mandi yang berjarak sekitar 100 meter dari Mushallah Al-Furqaan. Cukup jauh memang, hal ini harus kami lakukan karena sumber air yang mengairi empat kamar mandi mushallah telah kering sejak beberapa bulan ini, mau tidak mau kami pun harus mengambil wudhu di kamar mandi lain.

Kamar mandi yang terletak di perempatan jalan itu sangat sepi sekali, aku saja tak berani kalau ke situ sendirian. Konon katanya, kalau malam hari suka ada setan duduk di bawah pohon beringin yang ada di samping kamar mandi itu. Belum lagi, lampu bengkel yang ada di sampingnya terkadang suka kerlap-kerlip menyala mati. Aku sih belum pernah mengalaminya langsung, tapi dengarnya saja sudah ngeri. Ada juga yang bilang kawasan komplek ini dulunya adalah hutan, bahkan juga ada yang bekas kuburan, sering terjadi hal-hal berbau mistis di sini.

Cerita itu kata teman-temanku, padahal mereka sendiri belum tentu pernah melihatnya langsung. Cerita itu memang cuma “Katanya... katanya...,” dari mulut ke mulut. Memang banyak sekali versi cerita hantu di komplek ini yang masih kabar burung tentunya, termasuk juga misteri pohon nangka yang ada di salah satu sudut komplek.

Komplek tempatku tinggal ini memang sangat sepi, jumlah penghuninya tak sebanding dengan luasnya. Komplek sekolah seluas lebih dari 30 hektar ini hanya dihuni tidak lebih dari 30 kepala keluarga yang tinggal di rumah dinas. Komplek ini sangat luas sekali untuk ukuran sebuah Sekolah Teknologi Menengah (STM), bahkan luasnya melebihi kampus tempatku kuliah. STM ini terdiri dari beberapa jurusan, yaitu pertanian, peternakan, Teknologi Hasil Pertanian (THP), dan Mekanisasi Pertanian (MP). Selain itu, dikomplek ini juga terdapat perkebunan kopi dan sayuran yang luas yang dikelola oleh sekolah dan guru-guru STM. Di sana juga ada padang rumput dan semak-semak yang dibiarkan tumbuh di tanah yang tak dirawat.

Banyak murid-murid STM yang berasal dari luar daerah, seperti Aceh Tenggara, Aceh Utara, Medan, dan Jawa. Mereka pun tinggal di asrama yang telah disediakan di sekolah ini. Saat itu sekolah ini menjadi salah satu sekolah terfavorit di Aceh dengan segala fasilitas dan guru-guru yang dimilikinya. Sudah menjadi hal yang biasa kalau guru-guru di sekolah ini penataran keluar negeri seperti ke Taiwan, Belanda, Denmark, Jerman, dan Thailand. Bukan hanya sehari atau dua hari saja mereka pergi, bisa berbulan-bulan lamanya. Bapakku saja hampir setahun berada di Taiwan pada pertengahan tahun 1988 hingga awal tahun 1989. Di saat aku lahir bapak juga masih berada di negeri orang itu dan beliau pun mengirimkan nama untukku melalui surat. Kerenkan, namaku ini kiriman dari luar negeri yang sudah melampaui samudera luas dan berbagai pulau.

Ok kembali ke cerita mengajiku. Dari kejauhan terdengar suara seorang teman yang sedang mengumandangkan adzan ashar. Setelah mengambil wudhu di kamar mandi yang menyeramkan itu, aku pun bergegas kembali ke mushallah bersama teman-temanku. Segera aku mengambil mukena dan menggelar sajadah coklat milikku. Beberapa teman tampaknya tak membawa sajadah, aku pun menggelar sajadahku itu secara horizontal dan rela berbagi dengan mereka agar kami sama-sama bersujud di atas sajadah. Semua santri tampaknya telah duduk berjejer dengan rapi, bapak pun meminta salah seorang dari santri putra itu untuk mengumandangkan iqamah. Bapak kemudian memposisikan diri di depan sebagai imam kami.

“Allahu akbar!” seketika suasana pun menjadi hening, semua santri mengikuti gerak-gerik bapak. Kami mulai membaca bacaan sholat dengan pelan. Entahlah, teman-temanku ikut membaca bacaan sholat atau tidak, setahuku hanya sebagian saja dari mereka yang bacaan sholatnya telah lancar, yaitu santri-santri yang sudah kelas 3 ke atas. Sholat sudah hampir selesai, kami sudah berada dalam posisi duduk tahiyat akhir. Namun tiba-tiba kami mendengar suara yang cukup mengganggu konsentrasi semuanya, “Tut..,” suara kentut rupanya dari salah seorang santri putra. Tentu saja hal ini mengganggu yang lain, beberapa dari kami pun terdengar menahan tawa mereka, termasuk aku. Saat aku masih kelas 1 SD aku memang belum bisa khusyuk dalam sholat, bahkan sampai sekarang pun aku belum bisa benar-benar khusyuk.

Kemudian bapak mengucap salam, memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri, diikuti oleh para santri. Setelah itu pun beberapa santri tampak saling berbisik dengan teman mereka, membicarakan perihal kentut tadi. Haha... Bapak dan ibuku masih membiarkan kami saja. Baru setelah dzikir dan do’a selesai, para guru mengaji itu bereaksi.

“Siapa yang tadi waktu sholat tertawa,” kata bapak dengan keras. Semua santri pun langsung saling menunjuk temannya. Bahkan ada yang melaporkan perihal kentut tadi. Bapak tak menghukum kami ternyata. Melainkan menjelaskan kami untuk memberi kami pengertian bahwa dalam sholat berjamaah kerap kali terdapat jamaah yang membuang angin. Untuk itu jamaah lain harus bisa menahan diri mereka untuk tidak tertawa atau terpengaruh karena itu merupakan bagian dari menahan nafsu, menahan dari godaan yang dapat membatalkan sholat.

Setelah bapak memberikan pengertian kepada kami, barulah kami melipat mukena dan sajadah kami untuk bersiap-siap pulang. Kami duduk kembali dengan memangku tas kami masing-masing. Kemudian sang guru pun menyuruh kami untuk membaca do’a senandung Al-Qur’an sebelum kami pulang. Setelah bapak mengucap salam, kami pun diam membisu. Semua santri duduk seperti patung. Bapak akan menyebutkan nama santri yang duduknya paling tenang untuk pulang lebih dulu. Aku jarang sekali pulang duluan karena aku tak bisa diam seperti patung. Aku hanya berhasil pulang di urutan tengah. Haha...

***

Kisah 12: Senin Pagi dan Jualan Jajan

 

“Kukuruyuk..... kukuruyuk....!” suara ayam berkokok membangunkanku. Mereka saling sahut-menyahut satu sama lain untuk menyambut datangnya mentari pagi, sang penerang bumi.

Oh, sudah pagi rupanya. “Brrrr... dingin sekali rasanya,” gumamku seorang diri dan membuatku malas untuk beranjak dari kasur. “Ayolah De bangun sudah jam 6 ini. Kamu harus sholat subuh dan berangkat ke sekolah,” suara ibu membangunkanku, “mba Puput juga sudah bangun itu.”

Di Takengon Aceh Tengah, bagian barat dari negara ini tentu saja matahari lebih lambat terbitnya dari provinsi manapun yang ada di Indonesia. Untuk daerah Indonesia bagian timur, jam 6 mungkin sudah sangat terang sekali, untuk Pulau Jawa matahari tentunya sudah keluar menunjukkan kegagahannya. Di Aceh, ya jam 6 pagi masih gelap gulita, adzan subuh juga baru berkumandang. Ya ketika aku pindah di Jawa, beberapa hari aku sempat jet lag dengan perbedaan waktu ini.

Segera kubangkit sambil mengucek-ucek mata yang baru terbuka separuh ini, aku tak mau kalah dengan kakakku yang hanya 2 tahun lebih tua dariku. Rasa dingin membuatku ingin berlama-lama di kasur, dalam bungkusan selimut tebal rasanya memang hangat sekali. Segera kulawan rasa malas ini. Setan memang sedang menggangguku di saat subuh seperti ini. Merayu manusia agar terus tidur dan meninggalkan sholat subuh, apalagi dingin dipagi hari memang selalu terasa sampai ke tulang.

Tercium aroma kopi dari dapur yang mengalir terbawa udara pagi melalui sela-sela lubang ventilasi kamarku, sepertinya bapak sedang menyeruput kopi di bebalen. Aroma kopi memang sangat khas sekali tercium di hidung dan menggodaku untuk keluar kamar.

Kuberjalan menuju kamar mandi yang hanya beberapa langkah saja dari pintu kamarku. Kamar mandi kecil yang ada di tengah-tengah rumah kami. Hanya untuk mandi dan keperluan malam hari saja kamar mandi ini kami gunakan. Adapun untuk mencuci dan keperluan siang hari lebih sering kami lakukan di belakang rumah. Kekeringan berkepanjangan di komplek kami membuat air tak dapat mengalir ke dalam rumah. Hanya sedikit air yang keluar dari keran di belakang rumah kami. Berbeda dengan tetangga kami Bang Miga yang mempunyai sumur sebagai sumber airnya.

Perlahan kubasuh anggota tubuhku dengan air yang sedikit pula. Walau sedikit, diri ini rasanya tak tahan menahan dinginnya yang seperti es. Berada di dalam kamar mandi sama halnya berada di kulkas.

***

Dengan tas ransel dan sekantong plastik jajan aku berangkat ke sekolah dengan Puput. Aku sudah kelas 1 sekarang. Sudah jadi rahasia umum kalau aku ini penjual jajan di sekolahan. Bukan karena orang tuaku tak mampu tapi aku sendiri yang menginginkannya. Aku tak malu berjualan sambil bersekolah, justru aku malah senang melakoninya. Di saat teman-teman lain menggunakan uang pemberian orang tuanya untuk menabung, Alhamdulillah aku bisa menabung dengan uangku sendiri, hasil dari jerih payahku berjualan di sekolah. Tak tanggung-tanggung, minimal dua ribu rupiah aku memperoleh untung setiap harinya dan alhasil jumlah tabunganku setiap tahun mencapai ratusan ribu dan cukup untuk membayar ongkos bus patas bolak-balik ke Jawa. Tabunganku juga lumayan keren, saat kelas 1 sekolah dasar aku sudah membuka rekening di kantor pos dekat sekolahku. Hampir setiap seminggu sekali aku rutin mengunjungi kantor pos itu dengan buku tabungan yang berwarna kuning di tanganku, di dalamnya sudah kuselipkan beberapa lembar uang ribuan dan lima ribuan.

Tak selalu aku ini beruntung dalam berjualan, aku pernah juga mengalami kemalangan. Beberapa kali duitku hilang beberapa ribu dan tak pernah ketahuan siapa pencurinya. Aku biarkan saja, tak baik juga aku menuduh, tapi aku tak kapok berjualan. Meski aku berjualan, aku tetap berhubungan baik dengan para penjual jajan lainnya yang umumnya adalah ibu-ibu. Kadang kala aku juga membeli jajan mereka, tentunya yang tak ada dalam daftar jajan yang kujual.

Barang daganganku ini kuperoleh dari ibuku. Kami juga membuka warung di rumah, warung kelontong kecil-kecilan. Seminggu sekali dia akan ke kota untuk berbelanja memenuhi kebutuhan warung kami dan barang daganganku. Biasanya dia selalu berangkat dengan membawa dua tumpuk telur di tangan kanan dan kirinya kemudian dia pulang dengan membawa barang dagangan. Jika dia lelah dari kota, dia akan menitipkan barang dagangannya itu di Kedai Aceh yang ada di depan komplek. Maklumlah, jarak rumah kami dari jalan raya cukup jauh, sekitar 400 meter. Kasihan ibu kalau harus menenteng barang dengan tangannya di saat capek dan harus berjalan kaki pula. Malamnya bapak dan aku akan mengambilnya dengan menggunakan grek (gerobak kecil) agar lebih ringan membawanya melewati bangunan dan jalanan komplek yang sepi.

Berjualan tentu saja tak mengganggu aktivitasku di sekolah. Buktinya, aku selalu bisa menjadi nomor satu di kelas. Nilai raporku selalu di atas rata-rata kelas, bahkan dengan yang rangking 2 nilaiku jauh sekali di atasnya. Kata orang-orang kemampuanku ini setara dengan anak satu tingkat di atasku.

Orang komplek sudah seperti orang kota saja di lingkungan tempat tinggalku karena gaya hidup kami memang agak sedikit berbeda dengan masyarakat sekitar. Bahasa yang kami gunakan sehari-hari pun adalah bahasa Indonesia, berbeda dengan masyarakat sekitar yang umumnya menggunakan bahasa Gayo sebagai bahasa ibu mereka. Kami menyebut orang-orang di luar komplek kami sebagai orang kampung. Itu hanya sebutan saja, namun orang-orang komplekku ini tetap bergaul dengan masyarakat sekitar. Meski aku orang komplek, tapi aku tak malu berjualan di sekolah.

Sudah biasa aku dan kakakku berangkat pukul 06.30 pagi. Kicauan burung mengiringi langkah kami pagi ini. Kabut tebal juga masih menyelimuti komplek kami, jarak pandang kami tak lebih dari 20 meter saja. Dengan menggunakan baju seragam putih lengan panjang berlapis jaket tebal kami meninggalkan rumah. Berjalan kaki di pagi hari sudah jadi kebiasaan kami ketika berangkat sekolah. Jalan yang kami lalui cukup jauh. Kami harus melalui bangunan-bangunan Jurusan Pertanian yang dikelilingi oleh pohon kayu putih. Di ujung jalan jurusan ini kami pun akan berhenti sejenak di bawah pohon kemiri untuk mencari buah yang jatuh disekitarnya. Tak sungkan kami mengorek-ngorek di tengah rerumputan yang masih basah oleh uap air dan embun pagi demi menemukan buah kemiri. Buah berwarna coklat itu tak lantas kami bawa ke sekolah melainkan kami sembunyikan di tempat yang sekiranya tak diketahui orang lain. Cukup lumayan pagi ini, kami berhasil menemukan lebih dari lima butir buah kemiri. Dalam bungkusan plastik kecil kami pun menyembunyikannya di balik rerumputan hijau. Mencari buah kemiri sudah menjadi kebiasaan bagi kami anak-anak komplek, siapa yang cepat dia pula yang dapat. Pulang sekolah kami pun akan kembali ke pohon itu dan berebutan mencari bersama teman-teman kami yang lain. Aku tentu saja akan menambahkan buah yang baru kudapat dengan buah yang kukumpulkan pagi tadi.

Buah kemiri memang bermanfaat bagi kami sebagai pelengkap bumbu masakan. Jarang sekali kami membeli buah kemiri, kami cukup mencarinya di pohon kemiri yang ada di komplek ini. Buah itu kemudian kami hilangkan daging buahnya hingga tersisa bijinya saja yang berwarna hitam. Biji-biji itu lalu kami jemur sampai benar-benar kering. Setelah itu barulah kami pecahkan pelan-pelan dengan cara membungkusnya dalam sapu tangan. Hal ini kami lakukan agar biji putih yang dihasilkannya itu tak lari kemana-mana. Beginilah cara kami memperoleh kemiri. Kami jarang sekali membeli rempah-rempah. Kayu manis bisa kami peroleh dengan mengambil sedikit kulit kayu dari pohon kayu manis yang ada di dekat laboratorium komplek kami. Lengkuas, sereh, kunyit, dan jahe kami peroleh dari kebun kami sendiri ataupun minta ke tetangga.

Di Jurusan Pertanian ini juga ada pohon coklat. Seringkali ketika berbuah kami mengambil buah coklat ini secara beramai-ramai. Kemudian kami membelahnya dengan cara memukulkannya pada tembok beton. Kami lalu memakannya beramai-ramai pula. Kadang kala kami juga mengambil buah markisah yang tumbuh menaungi pembibitan kopi di sini. Kami hanya berani melakukan aksi kami ini di saat Jurusan Pertanian ini dalam kondisi sunyi senyap karena jika ketahuan kami pasti akan dimarahi.

Tak jarang perjalanan kami ke sekolah sedikit terganggu, makhluk berbadan coklat besar dengan moncong merah sesekali lewat dihadapan kami. Besarnya bisa sampai sebesar drum kecil. Babi memang sering kali turun ke pemukiman warga dan merusak pertanian warga, tak terkecuali di komplek kami. Seringkali aku merasa takut kalau babi itu akan mengejar kami. “Berlarilah secara zig-zag jika kamu di kejar babi,” begitulah bapak sering mengajarkan kami untuk waspada ketika babi mengejar. Tetapi untung saja, sampai aku pindah aku belum pernah di kejar hewan buas itu meskipun aku sering melihatnya.

Perjalanan kami terhenti sejenak tatkala sampai di perbatasan komplek. Pagar tembok permanen setinggi 1,5 meter dengan kawat besi di atasnya setinggi 1 meter telah menghadang kami. Lompat pagar, itulah kebiasaan kami setiap pagi saat berangkat sekolah demi memotong jalan. Tembok yang tinggi itu tentu cukup susah untuk dilalui. Untunglah dua buah batu besar sudah ditata disana dan beberapa kawat besi juga sudah dihilangkan sehingga kami pun bisa melaluinya tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Kalau kami lewat jalan depan tentunya kami harus memutar dan akan membutuhkan waktu yang lebih lama.

Masih cukup pagi memang ketika kami berangkat sekolah, matahari saja baru terbit, jadi wajar kalau terkadang masih ada babi yang lewat. Tak jarang ketika kami sampai di sekolah pintu pun masih tertutup rapat dan kami harus rela duduk di depan kelas menunggu sang juru kunci datang. Entahlah, berangkat siang sedikit saja rasanya tak enak. Kebiasaan berangkat cepat pun jadi kebiasaanku sampai aku besar. Aku pasti menjadi yang nomor 1 sampai di kelas. Rieke yang rumahnya di dalam komplek sekolah bahkan juga kalah denganku. Ia malah lebih sering berangkat agak siang.

Sekitar pukul 7 pagi kelas mulai ramai, satu demi satu teman-temanku mulai berdatangan. Teman sebangku ku pun telah datang, Ranti namanya, lengkapnya Ranti Mauliya, anak Kampung Bongkol, keturunan asli suku Gayo. Kami memang memiliki nama panggilan yang sama, sama-sama Ranti. Sehingga tidak jarang kami sering keliru ketika orang memanggil kami.

Lonceng berbunyi sekitar pukul setengah delapan pagi, semua siswa berlarian ke lapangan sekolah. Para siswa SDN Wih Nareh pun berbaris dengan rapi untuk upacara bendera senin ini. Aku sangat suka sekali berdiri di barisan paling depan karena aku bisa melihat dengan jelas pelaksanaan upacara bendera ini. Semua siswa tampak berdiri dengan tegap mengenakan seragam putih-merah mereka.

Diam-diam aku menaruh perhatian pada kakak-kakak kelas 5 dan 6 yang berdiri menjadi petugas upacara bendera. “Aku ingin seperti mereka,” gumamku dalam hati. “Aku ingin bisa menjadi pembawa acara, pembaca undang-undang, pembaca do’a, pembawa bendera, pemimpin lagu, pemimpin barisan, ajudan pembina upacara, dan pemimpin upacara,” aku berandai-andai dalam hati dan semua terbukti bisa kucapai saat aku besar, termasuk menjadi pemimpin upacara dan berdiri di barisan guru-gurunya.

Upacara berjalan dengan hikmat. Setiap senin memang selalu diadakan upacara bendera di sekolahku. Berbeda dengan sekolah dasarku di Jawa, tempat aku pindah sekolah, bisa dihitung dengan jari berapa kali aku upacara selama 1,5 tahun aku bersekolah di sana.

“Upacara selesai pasukan dibubarkan,” sang pembina upacara memberi mandat kepada pemimpin upacara. Itu berarti upacara telah selesai.

Kami tak lantas menuju ruang kelas kami, melainkan mengambili sampah yang berserakan di halaman sekolah. Setiap siswa wajib mengambil sebuah sampah plastik ataupun bekas bungkus makanan dengan tangannya lalu membawanya menuju lubang sampah yang ada dipinggir lapangan. Kami akan berlomba-lomba untuk sampai ke lubang sampah secepatnya karena setelah itu kami bisa berdiri di barisan paling depan sebelum masuk ke kelas.

Sudah jadi kebiasaan kami untuk berdiri rapi di depan kelas membentuk dua barisan membujur ke belakang. Sang ketua kelas Hafidz namanya akan memilih barisan yang rapi untuk masuk ke dalam kelas lebih dahulu. Suatu kebanggaan bagi kami yang barisannya rapi untuk dapat masuk ke kelas lebih dahulu.

Saat Bu Asmiati sang wali kelas kami datang, sang ketua kelas yang kebetulan juga adalah anaknya akan menyiapkan kami semua. “Berdiri,” kami semua pun akan segera berdiri. “Beri hormat!” dengan serentak kami pun mengucapkan salam sembari hormat, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,” dengan suara yang cukup keras, menggemparkan seisi kelas. Setelah beliau sang guru menjawab barulah kami duduk kembali.

Hari ini pelajaran Bahasa Indonesia. Masing-masing dari kami diajar menulis dan membaca olehnya. Dengan sangat rapi beliau menuliskan beberapa kata di papan tulis bercat hitam itu dengan menggunakan kapur. Kemudian beliau membacanya dengan cukup nyaring sambil menunjuk tulisan itu dengan penggaris kayu yang panjang, kami para siswa pun menirukannya. Selanjutnya kami akan menulis sampai halaman buku kami penuh dengan tulisan yang isinya sama itu dari baris pertama sampai baris yang paling bawah. Setelah selesai kami akan menumpuknya. Setelah itu Bu Asmiati akan berkeliling kelas, membimbing kami satu-satu untuk belajar membaca. Beruntung aku sudah lancar membaca sehingga hari ini bu guru tak perlu repot-repot mengajariku lagi. Tulisanku juga cukup rapi dibandingkan teman-temanku yang lain.

“Teng... teng...,” terdengar suara lonceng yang berasal dari kantor yang persis berada di samping kelasku.

“Horeee.....!” teriak kami.

Waktu istirahat tiba. Saatnya aku beraksi. Dalam sekejap, sejumlah anak telah mendatangiku untuk membeli jajan kesukaan mereka, ada jajan medan jaya yang berwarna-warni, ole-ole, kerupuk pinokio, bombon (permen), gulali, dan lain-lain. Tak perlu repot-repot aku berteriak “Jajan.. jajan...,” seperti suara seorang penjual makanan keliling. Toh mereka akan mendatangiku dengan sendirinya. Entahlah, punya daya pikat apa aku ini. Haha.... Tak hanya teman-teman anak kelas satu saja yang membeli daganganku, kakak kelas dan guru-guru juga ada yang membelinya untuk anak kecil mereka yang kerap kali dibawa serta dalam mengajar. Sudah biasa, waktu istirahatku ini adalah waktu untuk berjualan. Sementara anak-anak yang lain bermain di lapangan hijau sekolah kami, bersenda-gurau dengan teman-temannya, aku malah asyik melayani pembeli. Aku tak pernah malu melakoninya, justru aku menikmatinya. Sekali langkah, satu dua pulau terlampaui. Sembari aku sekolah aku juga berjualan. Hehe....

“Teng... teng...,” lonceng di pukul kembali. Semua anak bergegas masuk ke kelas karena kami tak ingin di dahului sang guru kami. Bu Asmiati kembali masuk. Mengajarkan kami berhitung. Aku pun mengeluarkan seikat batang sange yang kupunya. Aku memang belum secanggih beberapa temanku yang lain, bukan batang sange yang mereka keluarkan, tetapi mesin penghitung sempoa. Meski begitu, kemampuan berhitungku tak kalah dengan mereka. Aku hanya punya potongan-potongan batang sange. Batang sange ini berwarna kuning dan ringan seperti gabus, diambil dari suatu tumbuhan beruas-ruas dari kelompok ilalang. Hidup di semak-semak kebun depan rumahku, diameternya sekitar 1 cm atau sebesar jari. Sampai saat ini aku tak tahu apa nama Indonesia ataupun nama ilmiah tumbuhan itu. Sebatang tangkai panjang itu lalu dipotong-potong sepanjang 10 cm. Aku memiliki sekitar 20 potongan batang sange di dalam tasku setiap hari yang dapat membantuku untuk berhitung dengan cepat. Saat aku kelas 2 aku tak membutuhkannya lagi karena aku sudah dapat berhitung dengan cepat, sementara teman-temanku masih ada yang menggunakannya ataupun menggunakan sempoa. Sange juga dapat digunakan untuk membuat sangkar burung, seperti yang dilakukan oleh temanku Nova untuk sangkar burung-burungnya.

Sekitar pukul 10.30 WIB, kami pulang sekolah. Kami memang pulang lebih awal dibanding kakak kelas kami yang lain. Aku tak menunggu Puput karena dia akan pulang jam 12 siang nanti, aku juga tak menunggu Miga, tetangga rumahku karena anak kelas 2 itu akan pulang setengah jam lagi. Aku pulang bersama sahabat-sahabatku Febry dan Ana yang juga anak komplek. Saat pulang, aku memilih jalan yang berbeda. Jika tadi aku berangkat aku harus melompat melewati pagar belakang komplek maka ketika pulang aku melewati pintu gerbangnya. Selain Febry dan Ana, aku juga biasa pulang dengan Agri dan Nova. Teman kami yang lain yang juga anak komplek.

Melewati gerbang komplek berarti aku berputar menuju rumahku dan akan lebih jauh, tapi aku senang karena aku bisa melalui taman komplek yang indah, melewati pepohonan pinus yang rindang, berlarian di tengah lapangan hijau, dan melihat bunga-bunga yang indah. Melihat anak-anak STM dengan seragam putih abu-abu mereka membuatku juga ingin seperti mereka nanti.

Di persimpangan koperasi kami pun berpisah, menuju arah rumah kami maisng-masing. Agri, Nova, dan Febry menuju arah selatan, Ana menuju arah barat, sedangkan aku sendiri menuju arah utara. Aku pun meneruskan langkahku melalui jalan kerikil sekitar 200 meter, hanya dua rumah saja yang kulalui, selebihnya adalah kebun-kebun komplek.

Komplek tempatku tinggal ini merupakan komplek sekolah SMKN 1 Pegasing (sekarang SMKN 2 Takengon). Tetapi aku lebih suka menyebutnya dengan nama Komplek STM, sebagaimana orang-orang juga menyebutnya. Hal ini karena pada awal berdirinya sekolah ini bernama STM Pertanian Pegasing. Komplek sekolah ini luasnya mencapai lebih dari 30 ha. Sebelah utara dan timur komplek ini dibatasi oleh jalan raya. Sebelah selatannya terdapat pemukiman masyarakat Desa Wih Nareh, kami menyebutnya daerah Kampung Bongkol. Adapun sebelah barat komplek berbatasan langsung dengan sawah, sungai, dan perbukitan. Meski luas, tak begitu banyak orang yang tinggal di komplek kami. Saat ku tinggal di sana penghuninya tak lebih dari 30 kepala keluarga yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Medan, Padang, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Aceh Tengah dan daerah Aceh lainnya sehingga kami pun berasal dari berbagai suku yang berbeda pula.

Perumahannya sendiri terbagi dalam 3 blok, blok utara, selatan, dan barat mushallah. Mushallah Al-Furqaan berdiri tepat di tengah-tengah komplek ini. Kira-kira begitulah gambaran komplek tempat aku tinggal.

***

Saat kutiba di rumah, ups... pintu terkunci. Ibu sedang pergi rupanya. Aku tak perlu khawatir tak bisa masuk. Segera kucari pintu rumah yang terselip di bawah salah satu pot bunga ibu. Aku pun mendapatkannya, tanpa pikir panjang kubuka pintu merah yang terkunci itu. Kucopot sepatu hitam dan kaus kaki putihku, segera ku ke dapur untuk menemukan benda besar berwarna abu-abu yang berisi air. Kuambil benda kaca yang ada di rak piring dan kutuangkan air dari dalam teko itu. “Glegek... glegek...,” segarrr, terasa nikmat sekali air tak berwarna ini. Tak perlu repot-repot keluargaku memiliki kulkas, airnya sudah pasti terasa segar seperti air es, peninggalan dingin pagi tadi. Cuaca siang hari memang sangat panas, kontras sekali dengan cuaca pagi tadi yang dipenuhi kabut. Mungkin juga karena daerah kami adalah dataran tinggi yang berarti lebih dekat ke matahari.

Tak jarang karena cuaca yang kontras ini membuat hidungku harus mengeluarkan darah. “Mimisan” begitu orang menyebutnya. Pernah sekali aku mengalami mimisan saat masih berada di sekolahan. Aku tak perlu panik dan menangis karena ibu telah mengajarkannya padaku bagaimana cara menanganinya. Aku pun mengelapnya dengan sapu tangan yang kubawa, kemudian berbaring di kursi untuk beberapa saat agar darahnya tak keluar lagi. Jika di rumah, ibu pasti sudah menyumbatnya dengan daun sirih yang dipetik dari belakang rumah kami.

Ibu tak ada di rumah, sebelum aku berangkat sekolah tadi ia memang berpesan bahwa ia akan ke Simpang Kelaping untuk berjualan pakaian. Puput masih sekolah dan bapak juga masih mengajar, Om Mus masih di Proyek, Om Kholiq adik ibuku juga masih di sekolah, jadilah di rumah aku sendirian. Tak perlu takut, aku sudah biasa seperti ini sejak aku masih di taman kanak-kanak.

Setelah berganti pakaian, aku segera menuju ke peternakan ayam yang ada di belakang rumah. Dengan baskom ditangan, aku lalu mengambil telur-telur ayam kampung itu, telur berwarna putih dan berbentuk lonjong. Wadah minum beberapa ayam juga tampak kosong, air yang tadi pagi diisi bapak tampaknya sudah habis. Kasihan, mereka pasti ingin minum kembali sepertiku. Segera kuletakkan telur-telur itu di dalam rumah dan menatanya di dalam karton. Lalu aku kembali ke kandang dengan setengah ember air ditanganku. Kuisikan kembali wadah minum yang telah kosong itu agar ayam-ayamku juga tenang, aku tak ingin mereka berkokok dengan keras karena pasti akan menganggu para tetangga rumahku.

Sekitar pukul 12 siang Puput pun pulang. Tak lama kemudian ibu juga pulang. Ibu kemudian memasak untuk makan siang kami.

***