Minggu, 20 September 2020

Kisah 6: Rumah Wak Arsinem

 

Hari ini ibu ada keperluan ke kota untuk berbelanja. Ia tak ingin membawaku turut serta karena aku pasti akan merepotkannya. Apalagi kota lumayan jauh dari komplek kami, katanya butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai di sana. Aku pun ia titipkan pada Wak Arsinem, yang ada di sebelah belakang komplek.

Wak Arsinem ini juga orang Jawa, sama seperti kami. Kalau tak salah dia berasal dari Jawa Timur. Suami Wak Arsinem bekerja sebagai tukang kebun STM. Sementara Wak Arsinem sendiri adalah seorang juru masak. Ia memiliki empat orang anak: Bang Hartono, Kak Win, Bang Sugeng, dan Bang Sigit.

Aku telah rapi dengan pakaian yang bersih, rumah pun telah beres dari semua berantakan yang aku dan Puput ciptakan, ibu lalu mengantarkanku ke rumah Wak Arsinem. Kami berjalan melintasi jalan setapak. Di kanan kiri kami hanyalah semak belukar yang membuatku takut kalau-kalau ada ular yang menunjukkan kepalanya yang mengerikan. Di semak-semak ini juga Puput katanya pernah melihat musang beberapa kali. Hewan kecil yang menggemaskan karena ekornya yang tebal dan melengkung. Sekitar 200 meter kami melangkah, barulah kami tiba di rumah Wak Arsinem.

Rumahnya berdiri sendiri dengan berbagai tanaman hias ada di halamannya. Kak Win yang menanamnya, Kak Win memang suka berkebun. Wak Arsinem tak punya tetangga, rumah terdekatnya berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya. Sekeliling rumahnya adalah semak-semak belukar dan kebun.

“Assalamu’alaikum...!” kata ibu sambil mengetuk pintu.

“Wa’alaikumussalam...!” sahut Wak Arsinem dari dalam sana.

Tak lama kemudian pintu pun terbuka, Wak Arsinem telah berdiri di balik pintu.

“Ooo... Ranthi, sini masuk!” katanya dengan logat Jawa yang khas. Sudah puluhan tahun ia tinggal di sini, tapi logat Jawa-nya tak hilang-hilang. Ia senang sekali melihatku datang. Diajaknya aku dan ibu ke dalam. Ibu menyampaikan maksudnya. Sepertinya Wak Arsinem pun mengerti karena memang aku sudah sering ia titipkan di sini. Setelah itu ibu pun pamit. Tentu saja aku tak menangis seperti anak-anak kecil lainnya ketika ditinggal orang tua mereka.

Kak Win lalu mengajakku menonton TV. Kamu jangan bayangkan kalau aku bisa menonton film-film favorit seperti anak sekarang, memilih channel yang menarik ataupun menonton beberapa acara sekaligus dengan memencet tombol-tombol yang ada di remote TV. Tidak! hanya ada 2 channel di sana: TPI dan TVRI. Tak hanya rumah Kak Win, rumah-rumah yang lain juga. Hanya mereka yang memasang parabola saja yang bisa menikmati berbagai channel seperti di Jawa. Namun saat umurku 4 tahun ini, di komplek belum ada yang memasang parabola di atap rumahnya. Sudah untung kami punya TV meskipun hanya hitam putih, beberapa orang di komplek ini bahkan masih banyak yang belum memilikinya.

Aku menonton acara di TV dengan acara seadanya saja. Lama-kelamaan aku pun mengantuk. Kak Win lalu mengajakku tidur di kamarnya yang sangat sederhana. Aku pun tidur dengan nyenyaknya di situ.

Aku terbangun saat matahari sudah mulai tergelincir ke barat. Sudah tidak terlalu panas rasanya. Aku tak melihat Kak Win, “pergi ke manakah dia?” pikirku. Aku lalu keluar kamar. Perutku kelaparan ternyata, aku memang belum makan siang.

“Ran, sini makan! Wak sudah masak banyak ini. Ada ikan ayam juga,” Wak Arsinem yang melihatku telah bangun segera mengajakku ke dapur.

“Apa ikan ayam?” aku sempat bingung. Dalam pikiranku, “ikan ya ikan, ayam ya ayam”. Tapi setelah Wak Arsinem menunjukkan apa yang ia maksud aku pun mengerti bahwa ikan ayam itu berarti daging ayam. Ada-ada saja wak ini.

Wak Arsinem masak banyak hari ini, karena ia juga berjualan makanan. Siapa yang mau beli ya? Padahal dia kan tidak punya tetangga. Oh ternyata anak-anak asrama putri pelanggannya. Meski rumahnya jauh, sekitar 100 meter dari asrama, para anak-anak asrama itu adalah pelanggan setia Wak Arsinem. Saat itu hanya Wak Arsinem-lah yang menjual nasi di komplek. Masakan Wak Arsinem juga terkenal enak, ia adalah koki yang handal. Aku pun makan dengan lahapnya. Padahal aku jarang sekali menyukai masakan orang, tapi untuk masakan Wak Arsinem aku sangat menyukainya. Bahkan aku tak sungkan untuk nambah. Keluarganya memang sudah seperti keluargaku, mungkin karena kami sama-sama orang perantauan dari Jawa. Sesama perantauan dari satu daerah biasanya memiliki tali persaudaraan yang kuat.

Seusai makan, Bang Sigit mengajakku bermain. Bang Sigit sudah pulang dari sekolahnya di SDN Wih Nareh. Ia mengajakku ke sungai yang berada di belakang rumah. Setelah melewati sebuah kebun yang luas, sampailah kami di sungai. Kami tak mandi di sana, hanya melihat saja sebentar. Kemudian kami kembali lagi ke atas, ia menunjukkan sesuatu padaku. Ia menunjukkan sarang tawon yang ada di dalam kotak kayu yang terletak di permukaan tanah, di sela-sela bebatuan yang ada di pinggir sungai itu. Aku begitu takjub melihatnya, terlihat ada madu di sana. Hanya sebentar ia membuka kotak kayu itu, ia tak berani lama-lama karena khawatir tawon-tawon itu akan menyerang kami.

Kami kembali lagi ke rumah Wak Arsinem. Aku kembali melakukan banyak hal di sana, seperti melihat kolam ikan kecil yang ada di belakang rumah.

Hari ini aku hanya bermain di sekitar rumahnya saja. Jika aku dan Puput kemari di hari libur, Kak Win dan Bang Sigit akan mengajak kami ke Desa Kolam yang tak jauh dari rumah Wak Arsinem. Desa Kolam terletak di sebelah barat laut dari komplek kami. Desa Kolam merupakan perkampungan orang-orang Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Aceh Tengah. Beberapa guru STM juga ada yang bermukim di sini dan menjadi pengikut LDII. Meski aku pernah ke desa ini beberapa kali, bukan berarti aku juga pengikut ajaran LDII ini. Desa Kolam adalah salah satu tempat yang menarik. Perkampungan ini seperti desa terpencil karena berada di ujung jalan desa dan jauh dari jalan raya. Desa Kolam di kelilingi oleh aliran sungai dan terdapat banyak kolam ikan di sana sehingga kami pun menyebutnya sebagai “Desa Kolam”.

Sore hari, ibu pun datang bersama Puput untuk menjemputku. Ibu mengucapkan terima kasih kepada Wak Arsinem yang telah menjagaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar