Hari ini ibu ada
keperluan ke kota untuk berbelanja. Ia tak ingin membawaku turut serta karena
aku pasti akan merepotkannya. Apalagi kota lumayan jauh dari komplek kami,
katanya butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai di sana. Aku pun ia titipkan
pada Wak Arsinem, yang ada di sebelah belakang komplek.
Wak Arsinem ini
juga orang Jawa, sama seperti kami. Kalau tak salah dia berasal dari Jawa
Timur. Suami Wak Arsinem bekerja sebagai tukang kebun STM. Sementara Wak Arsinem
sendiri adalah seorang juru masak. Ia memiliki empat orang anak: Bang Hartono,
Kak Win, Bang Sugeng, dan Bang Sigit.
Aku telah rapi
dengan pakaian yang bersih, rumah pun telah beres dari semua berantakan yang
aku dan Puput ciptakan, ibu lalu mengantarkanku ke rumah Wak Arsinem. Kami
berjalan melintasi jalan setapak. Di kanan kiri kami hanyalah semak belukar yang
membuatku takut kalau-kalau ada ular yang menunjukkan kepalanya yang
mengerikan. Di semak-semak ini juga Puput katanya pernah melihat musang
beberapa kali. Hewan kecil yang menggemaskan karena ekornya yang tebal dan
melengkung. Sekitar 200 meter kami melangkah, barulah kami tiba di rumah Wak
Arsinem.
Rumahnya berdiri
sendiri dengan berbagai tanaman hias ada di halamannya. Kak Win yang
menanamnya, Kak Win memang suka berkebun. Wak Arsinem tak punya tetangga, rumah
terdekatnya berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya. Sekeliling rumahnya adalah
semak-semak belukar dan kebun.
“Assalamu’alaikum...!”
kata ibu sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikumussalam...!”
sahut Wak Arsinem dari dalam sana.
Tak lama
kemudian pintu pun terbuka, Wak Arsinem telah berdiri di balik pintu.
“Ooo... Ranthi,
sini masuk!” katanya dengan logat Jawa yang khas. Sudah puluhan tahun ia
tinggal di sini, tapi logat Jawa-nya tak hilang-hilang. Ia senang sekali
melihatku datang. Diajaknya aku dan ibu ke dalam. Ibu menyampaikan maksudnya.
Sepertinya Wak Arsinem pun mengerti karena memang aku sudah sering ia titipkan
di sini. Setelah itu ibu pun pamit. Tentu saja aku tak menangis seperti
anak-anak kecil lainnya ketika ditinggal orang tua mereka.
Kak Win lalu
mengajakku menonton TV. Kamu jangan bayangkan kalau aku bisa menonton film-film
favorit seperti anak sekarang, memilih channel
yang menarik ataupun menonton beberapa acara sekaligus dengan memencet
tombol-tombol yang ada di remote TV.
Tidak! hanya ada 2 channel di sana:
TPI dan TVRI. Tak hanya rumah Kak Win, rumah-rumah yang lain juga. Hanya mereka
yang memasang parabola saja yang bisa menikmati berbagai channel seperti di Jawa. Namun saat umurku 4 tahun ini, di komplek
belum ada yang memasang parabola di atap rumahnya. Sudah untung kami punya TV
meskipun hanya hitam putih, beberapa orang di komplek ini bahkan masih banyak
yang belum memilikinya.
Aku menonton
acara di TV dengan acara seadanya saja. Lama-kelamaan aku pun mengantuk. Kak
Win lalu mengajakku tidur di kamarnya yang sangat sederhana. Aku pun tidur
dengan nyenyaknya di situ.
Aku terbangun
saat matahari sudah mulai tergelincir ke barat. Sudah tidak terlalu panas
rasanya. Aku tak melihat Kak Win, “pergi ke manakah dia?” pikirku. Aku lalu
keluar kamar. Perutku kelaparan ternyata, aku memang belum makan siang.
“Ran, sini
makan! Wak sudah masak banyak ini. Ada ikan ayam juga,” Wak Arsinem yang
melihatku telah bangun segera mengajakku ke dapur.
“Apa ikan ayam?”
aku sempat bingung. Dalam pikiranku, “ikan ya ikan, ayam ya ayam”. Tapi setelah
Wak Arsinem menunjukkan apa yang ia maksud aku pun mengerti bahwa ikan ayam itu
berarti daging ayam. Ada-ada saja wak ini.
Wak Arsinem
masak banyak hari ini, karena ia juga berjualan makanan. Siapa yang mau beli
ya? Padahal dia kan tidak punya tetangga. Oh ternyata anak-anak asrama putri
pelanggannya. Meski rumahnya jauh, sekitar 100 meter dari asrama, para
anak-anak asrama itu adalah pelanggan setia Wak Arsinem. Saat itu hanya Wak
Arsinem-lah yang menjual nasi di komplek. Masakan Wak Arsinem juga terkenal
enak, ia adalah koki yang handal. Aku pun makan dengan lahapnya. Padahal aku
jarang sekali menyukai masakan orang, tapi untuk masakan Wak Arsinem aku sangat
menyukainya. Bahkan aku tak sungkan untuk nambah. Keluarganya memang sudah
seperti keluargaku, mungkin karena kami sama-sama orang perantauan dari Jawa.
Sesama perantauan dari satu daerah biasanya memiliki tali persaudaraan yang
kuat.
Seusai makan,
Bang Sigit mengajakku bermain. Bang Sigit sudah pulang dari sekolahnya di SDN Wih
Nareh. Ia mengajakku ke sungai yang berada di belakang rumah. Setelah melewati
sebuah kebun yang luas, sampailah kami di sungai. Kami tak mandi di sana, hanya
melihat saja sebentar. Kemudian kami kembali lagi ke atas, ia menunjukkan
sesuatu padaku. Ia menunjukkan sarang tawon yang ada di dalam kotak kayu yang
terletak di permukaan tanah, di sela-sela bebatuan yang ada di pinggir sungai
itu. Aku begitu takjub melihatnya, terlihat ada madu di sana. Hanya sebentar ia
membuka kotak kayu itu, ia tak berani lama-lama karena khawatir tawon-tawon itu
akan menyerang kami.
Kami kembali
lagi ke rumah Wak Arsinem. Aku kembali melakukan banyak hal di sana, seperti
melihat kolam ikan kecil yang ada di belakang rumah.
Hari ini aku
hanya bermain di sekitar rumahnya saja. Jika aku dan Puput kemari di hari
libur, Kak Win dan Bang Sigit akan mengajak kami ke Desa Kolam yang tak jauh
dari rumah Wak Arsinem. Desa Kolam terletak di sebelah barat laut dari komplek
kami. Desa Kolam merupakan perkampungan orang-orang Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII) di Aceh Tengah. Beberapa guru STM juga ada yang bermukim di
sini dan menjadi pengikut LDII. Meski aku pernah ke desa ini beberapa kali,
bukan berarti aku juga pengikut ajaran LDII ini. Desa Kolam adalah salah satu
tempat yang menarik. Perkampungan ini seperti desa terpencil karena berada di
ujung jalan desa dan jauh dari jalan raya. Desa Kolam di kelilingi oleh aliran
sungai dan terdapat banyak kolam ikan di sana sehingga kami pun menyebutnya
sebagai “Desa Kolam”.
Sore hari, ibu
pun datang bersama Puput untuk menjemputku. Ibu mengucapkan terima kasih kepada
Wak Arsinem yang telah menjagaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar