Setelah makan
dan menunaikan sholat dzuhur aku kemudian bersiap-siap untuk berangkat mengaji
bersama Puput di Mushallah Al-Furqaan. Pengajian di mushallah ini sebenarnya
bermula dari pengajian kecil yang diadakan di rumah kami setahun lalu yang
digelar setiap habis sholat maghrib. Waktu itu hanya ada 6 orang saja santri
bapak yaitu aku, Puput, Kak Titi, Kak Iin, Cecek Kak Titi, dan Bang Miga. Saat
itu di komplek kami belum ada tempat mengaji. Dengan sukarela bapak menggelar
pengajian kecil-kecilan di rumah kami atas usul orang tua mereka. Pengajian pun
digelar di bebalen sederhana yang ada
di bagian belakang rumah kami.
Hampir setiap
rumah di Aceh Tengah ini mempunyai bebalen
(bale-bale) yang berbentuk panggung, terbuat dari papan. Hal ini dimaksudkan
agar tak langsung menyentuh permukaan tanah yang dingin. Bebalen ini merupakan tempat yang serba guna. Biasanya digunakan
untuk tempat duduk-duduk bersama keluarga, tempat menonton TV, tempat makan,
tempat sholat, tempat belajar, tempat menyambut tamu, bahkan juga dimanfaatkan
untuk tidur bersama anggota keluarga. Karena terbuat dari papan maka rasanya
pun hangat. Apalagi bebalen ini
biasanya terletak bersebelahan dengan dapur, tanpa adanya tembok pembatas.
Ternyata
pengajian di rumahku itu tersebar luas di kalangan warga komplek. Mereka pun
pada berminat untuk memasukkan anaknya menjadi santri bapak. Tentu saja rumahku
tak muat dengan banyaknya santri baru. Maka sejak aku kelas 1 SD, pengajian
yang tadinya digelar dirumahku sekarang pindah ke mushallah ini atas usulan
para orang tua santri. Waktu mengaji pun di rubah, yang tadinya malam hari
sekarang siang hari sepulang sekolah. Sekarang santri bapak sudah lebih dari 30
orang yang merupakan anak-anak guru STM Pertanian Pegasing.
Mushallah
ini berjarak sekitar 100 meter dari rumahku. Aku dan Puput pun berjalan
menyusuri jalan setapak ditengah-tengah rumput teki. Sebenarnya enak sekali
berlari di jalan ini karena bebas dari kendaraan yang lalu lalang. Jalannya
yang tidak rata dan dipenuhi rerumputan membuat sang pemilik kendaraan malas
melaluinya. Namun kami memilih berjalan kaki saja untuk menghindari ranjau
rumput yang sering kali ada. Rumput teki setinggi lutut ini memang gampang
sekali untuk diikat dengan sesamanya, kami pun akan terjatuh jika telapak kaki
ini masuk ke lubangnya. Ini adalah ulah anak-anak usil yang kurang kerjaan, ya
aku juga pernah melakukannya. Gemes rasanya melihat rumput teki yang begitu
lebat. Hehe.. Tak jarang juga kami bermain di jalan ini, termasuk tidur-tiduran
karena begitu empuknya. Kami tak takut akan bahaya ulat ataupun ular yang masih
sering kami jumpai di komplek.
Aku
dan Puput masih terus berjalan. Jalanan itu terlihat sepi, tak ada rumah di
kanan-kirinya, yang ada hanyalah kebun kopi milik warga komplek dan kebun tebu
milik STM yang tak terurus. Setibanya kami di mushallah, baru ada beberapa
anak. Tanpa pikir panjang, segera kami ambil satu bangku panjang yang menumpuk
bersama bangku-bangku panjang lainnya. Sebuah bangku panjang itu lantas kami
letakkan di depan papan tulis. Kami sangat suka sekali duduk di depan papan
tulis karena dengan begitu kami bisa menulis dengan lancar tanpa ada yang
menghalangi kami. Kami juga dapat mendengar suara sang ustadz dengan jelas.
Selain
mengaji, sang ustadz yang juga ayah kami sangat pintar sekali dalam menyanyi
dan memberi tebak-tebakan. Suaranya memang tak sebagus Maher Zein, Opick,
ataupun Haddad Alwi, tapi ia mampu menghibur kami. Kami selalu diminta
menirukannya dan akan dilombakan antara santri putra dan santri putri.
“Osaka Osaka my
favorite
Osaka Osaka sit down
please!”
Itulah
salah satu lagu yang diajarkannya pada kami. Lagu itu ia peroleh dari mimpinya.
Bukan hanya lagu ini saja, seringkali ia memperoleh hal-hal baru berdasarkan
mimpi-mimpinya dalam tidur. Mungkin seperti mendapat ilham.
Tak
sampai pukul 2 siang, mushallah pun mulai ramai. Masih cukup lama juga kami
masuk. Sudah menjadi rahasia umum kalau kami berangkat mengaji juga untuk
bermain. Seperti siang ini, sambil menunggu para guru ngaji kami datang kami
bermain-main di bawah rindangnya pohon pinus yang ada di halaman mushallah.
Kami bermain apa saja, lompat tali, patok lele, serimbang, bahkan juga bola
kasti dan bola tendang.
Tiga
puluh menit kemudian bapakku dan ibuku datang, merekalah guru mengaji kami. Bu
Nil, guru mengaji yang baru juga datang tak lama kemudian. Mulailah kami
mengaji, mengucap do’a mau belajar sebagai pembuka. Bapak mulai menuliskan
tugas yang harus kami tulis di papan tulis. Tentang ilmu tajwid tampaknya. Ilmu
tentang bagaimana caranya membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Bapak mulai
menjelaskannnya dengan suara yang nyaring, dengan semangat yang menggebu-gebu.
Padahal, beliau baru saja balik mengajar dari SMA 1001 dan belum sempat pulang
ke rumah.
SMA
1001 ini sangat jauh sekali dari komplek, lebih dari 10 km. Untuk menuju ke
sana bapak pun harus menaiki mobil toa sebanyak dua kali. Sudah pasti bapak
sangat lelah, belum lagi perutnya yang belum terisi makanan siang ini. Tetapi,
bapak tak menunjukkan itu semua dihadapan kami para santri-santrinya, beliau
tetap mengajar dengan penuh semangat. Hanya aku dan Puputlah yang dapat
mengerti kelelahan bapak.
Hari
ini hari pertamaku membaca Al-Qur’an setelah aku menyelesaikan membaca Iqra jilid
1 hingga 6 ditambah dengan Juz Amma selama 2 tahun lamanya. Tapi bukan ibu dan
bapaklah yang hari ini akan mengajariku mengaji seperti biasanya, melainkan Bu
Nil, orang tua Ivan.
Dengan
sedikit gemetar aku membuka kitab suci yang warnanya merah jambu itu, Al-Qur’an
milik ibuku. Perlahan-lahan kumulai membaca Basmallah dan dilanjutkan dengan
surat Al-Fatihah dan beberapa ayat di surat Al-Baqarah. Alhamdulillah, aku
berhasil menyelesaikannya dengan baik. Diantara santri yang lain, akulah santri
termuda yang sudah sampai ke Al-Qur’an. Tentu saja saat itu jarang sekali ada
anak kelas 1 SD yang bisa membaca Al-Qur’an dan sudah lancar dalam membaca
bacaan sholat, termasuk bacaan tahiyatul akhir. Resepnya adalah bahwa di rumah
aku selalu mencoba membaca apa yang akan kubaca nanti di tempat ngaji. Bapak
juga seringkali memintaku membaca Surat Yaasin setiap malam Jum’at saat aku
masih mengaji Iqra. Kata bapak, salah sedikit tidak apa-apa karena aku masih
belajar, semakin sering aku membacanya pasti akan semakin lancar. Semboyan
“Bisa karena terbiasa” memang benar adanya.
Sekitar
pukul 4 sore para guru ngaji itu sudah selesai mengajar para santrinya. Semua
santri lantas mengambil wudhu untuk menunaikan sholat ashar berjamaah. Segera
kami berjalan menuju kamar mandi yang berjarak sekitar 100 meter dari Mushallah
Al-Furqaan. Cukup jauh memang, hal ini harus kami lakukan karena sumber air
yang mengairi empat kamar mandi mushallah telah kering sejak beberapa bulan
ini, mau tidak mau kami pun harus mengambil wudhu di kamar mandi lain.
Kamar
mandi yang terletak di perempatan jalan itu sangat sepi sekali, aku saja tak
berani kalau ke situ sendirian. Konon katanya, kalau malam hari suka ada setan
duduk di bawah pohon beringin yang ada di samping kamar mandi itu. Belum lagi,
lampu bengkel yang ada di sampingnya terkadang suka kerlap-kerlip menyala mati.
Aku sih belum pernah mengalaminya langsung, tapi dengarnya saja sudah ngeri.
Ada juga yang bilang kawasan komplek ini dulunya adalah hutan, bahkan juga ada
yang bekas kuburan, sering terjadi hal-hal berbau mistis di sini.
Cerita
itu kata teman-temanku, padahal mereka sendiri belum tentu pernah melihatnya
langsung. Cerita itu memang cuma “Katanya... katanya...,” dari mulut ke mulut.
Memang banyak sekali versi cerita hantu di komplek ini yang masih kabar burung
tentunya, termasuk juga misteri pohon nangka yang ada di salah satu sudut
komplek.
Komplek
tempatku tinggal ini memang sangat sepi, jumlah penghuninya tak sebanding
dengan luasnya. Komplek sekolah seluas lebih dari 30 hektar ini hanya dihuni
tidak lebih dari 30 kepala keluarga yang tinggal di rumah dinas. Komplek ini
sangat luas sekali untuk ukuran sebuah Sekolah Teknologi Menengah (STM), bahkan
luasnya melebihi kampus tempatku kuliah. STM ini terdiri dari beberapa jurusan,
yaitu pertanian, peternakan, Teknologi Hasil Pertanian (THP), dan Mekanisasi Pertanian
(MP). Selain itu, dikomplek ini juga terdapat perkebunan kopi dan sayuran yang
luas yang dikelola oleh sekolah dan guru-guru STM. Di sana juga ada padang
rumput dan semak-semak yang dibiarkan tumbuh di tanah yang tak dirawat.
Banyak
murid-murid STM yang berasal dari luar daerah, seperti Aceh Tenggara, Aceh
Utara, Medan, dan Jawa. Mereka pun tinggal di asrama yang telah disediakan di
sekolah ini. Saat itu sekolah ini menjadi salah satu sekolah terfavorit di Aceh
dengan segala fasilitas dan guru-guru yang dimilikinya. Sudah menjadi hal yang
biasa kalau guru-guru di sekolah ini penataran keluar negeri seperti ke Taiwan,
Belanda, Denmark, Jerman, dan Thailand. Bukan hanya sehari atau dua hari saja
mereka pergi, bisa berbulan-bulan lamanya. Bapakku saja hampir setahun berada
di Taiwan pada pertengahan tahun 1988 hingga awal tahun 1989. Di saat aku lahir
bapak juga masih berada di negeri orang itu dan beliau pun mengirimkan nama
untukku melalui surat. Kerenkan, namaku ini kiriman dari luar negeri yang sudah
melampaui samudera luas dan berbagai pulau.
Ok
kembali ke cerita mengajiku. Dari kejauhan terdengar suara seorang teman yang
sedang mengumandangkan adzan ashar. Setelah mengambil wudhu di kamar mandi yang
menyeramkan itu, aku pun bergegas kembali ke mushallah bersama teman-temanku.
Segera aku mengambil mukena dan menggelar sajadah coklat milikku. Beberapa
teman tampaknya tak membawa sajadah, aku pun menggelar sajadahku itu secara
horizontal dan rela berbagi dengan mereka agar kami sama-sama bersujud di atas
sajadah. Semua santri tampaknya telah duduk berjejer dengan rapi, bapak pun
meminta salah seorang dari santri putra itu untuk mengumandangkan iqamah. Bapak
kemudian memposisikan diri di depan sebagai imam kami.
“Allahu
akbar!” seketika suasana pun menjadi hening, semua santri mengikuti gerak-gerik
bapak. Kami mulai membaca bacaan sholat dengan pelan. Entahlah, teman-temanku
ikut membaca bacaan sholat atau tidak, setahuku hanya sebagian saja dari mereka
yang bacaan sholatnya telah lancar, yaitu santri-santri yang sudah kelas 3 ke
atas. Sholat sudah hampir selesai, kami sudah berada dalam posisi duduk tahiyat
akhir. Namun tiba-tiba kami mendengar suara yang cukup mengganggu konsentrasi
semuanya, “Tut..,” suara kentut rupanya dari salah seorang santri putra. Tentu
saja hal ini mengganggu yang lain, beberapa dari kami pun terdengar menahan
tawa mereka, termasuk aku. Saat aku masih kelas 1 SD aku memang belum bisa
khusyuk dalam sholat, bahkan sampai sekarang pun aku belum bisa benar-benar
khusyuk.
Kemudian
bapak mengucap salam, memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri, diikuti oleh para
santri. Setelah itu pun beberapa santri tampak saling berbisik dengan teman mereka,
membicarakan perihal kentut tadi. Haha... Bapak dan ibuku masih membiarkan kami
saja. Baru setelah dzikir dan do’a selesai, para guru mengaji itu bereaksi.
“Siapa
yang tadi waktu sholat tertawa,” kata bapak dengan keras. Semua santri pun
langsung saling menunjuk temannya. Bahkan ada yang melaporkan perihal kentut
tadi. Bapak tak menghukum kami ternyata. Melainkan menjelaskan kami untuk
memberi kami pengertian bahwa dalam sholat berjamaah kerap kali terdapat jamaah
yang membuang angin. Untuk itu jamaah lain harus bisa menahan diri mereka untuk
tidak tertawa atau terpengaruh karena itu merupakan bagian dari menahan nafsu,
menahan dari godaan yang dapat membatalkan sholat.
Setelah
bapak memberikan pengertian kepada kami, barulah kami melipat mukena dan sajadah
kami untuk bersiap-siap pulang. Kami duduk kembali dengan memangku tas kami
masing-masing. Kemudian sang guru pun menyuruh kami untuk membaca do’a
senandung Al-Qur’an sebelum kami pulang. Setelah bapak mengucap salam, kami pun
diam membisu. Semua santri duduk seperti patung. Bapak akan menyebutkan nama
santri yang duduknya paling tenang untuk pulang lebih dulu. Aku jarang sekali
pulang duluan karena aku tak bisa diam seperti patung. Aku hanya berhasil pulang
di urutan tengah. Haha...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar