Rabu, 23 September 2020

Kisah 13: Mengaji dan Misteri Kamar Mandi

 

Setelah makan dan menunaikan sholat dzuhur aku kemudian bersiap-siap untuk berangkat mengaji bersama Puput di Mushallah Al-Furqaan. Pengajian di mushallah ini sebenarnya bermula dari pengajian kecil yang diadakan di rumah kami setahun lalu yang digelar setiap habis sholat maghrib. Waktu itu hanya ada 6 orang saja santri bapak yaitu aku, Puput, Kak Titi, Kak Iin, Cecek Kak Titi, dan Bang Miga. Saat itu di komplek kami belum ada tempat mengaji. Dengan sukarela bapak menggelar pengajian kecil-kecilan di rumah kami atas usul orang tua mereka. Pengajian pun digelar di bebalen sederhana yang ada di bagian belakang rumah kami.

Hampir setiap rumah di Aceh Tengah ini mempunyai bebalen (bale-bale) yang berbentuk panggung, terbuat dari papan. Hal ini dimaksudkan agar tak langsung menyentuh permukaan tanah yang dingin. Bebalen ini merupakan tempat yang serba guna. Biasanya digunakan untuk tempat duduk-duduk bersama keluarga, tempat menonton TV, tempat makan, tempat sholat, tempat belajar, tempat menyambut tamu, bahkan juga dimanfaatkan untuk tidur bersama anggota keluarga. Karena terbuat dari papan maka rasanya pun hangat. Apalagi bebalen ini biasanya terletak bersebelahan dengan dapur, tanpa adanya tembok pembatas.

Ternyata pengajian di rumahku itu tersebar luas di kalangan warga komplek. Mereka pun pada berminat untuk memasukkan anaknya menjadi santri bapak. Tentu saja rumahku tak muat dengan banyaknya santri baru. Maka sejak aku kelas 1 SD, pengajian yang tadinya digelar dirumahku sekarang pindah ke mushallah ini atas usulan para orang tua santri. Waktu mengaji pun di rubah, yang tadinya malam hari sekarang siang hari sepulang sekolah. Sekarang santri bapak sudah lebih dari 30 orang yang merupakan anak-anak guru STM Pertanian Pegasing.

Mushallah ini berjarak sekitar 100 meter dari rumahku. Aku dan Puput pun berjalan menyusuri jalan setapak ditengah-tengah rumput teki. Sebenarnya enak sekali berlari di jalan ini karena bebas dari kendaraan yang lalu lalang. Jalannya yang tidak rata dan dipenuhi rerumputan membuat sang pemilik kendaraan malas melaluinya. Namun kami memilih berjalan kaki saja untuk menghindari ranjau rumput yang sering kali ada. Rumput teki setinggi lutut ini memang gampang sekali untuk diikat dengan sesamanya, kami pun akan terjatuh jika telapak kaki ini masuk ke lubangnya. Ini adalah ulah anak-anak usil yang kurang kerjaan, ya aku juga pernah melakukannya. Gemes rasanya melihat rumput teki yang begitu lebat. Hehe.. Tak jarang juga kami bermain di jalan ini, termasuk tidur-tiduran karena begitu empuknya. Kami tak takut akan bahaya ulat ataupun ular yang masih sering kami jumpai di komplek.

Aku dan Puput masih terus berjalan. Jalanan itu terlihat sepi, tak ada rumah di kanan-kirinya, yang ada hanyalah kebun kopi milik warga komplek dan kebun tebu milik STM yang tak terurus. Setibanya kami di mushallah, baru ada beberapa anak. Tanpa pikir panjang, segera kami ambil satu bangku panjang yang menumpuk bersama bangku-bangku panjang lainnya. Sebuah bangku panjang itu lantas kami letakkan di depan papan tulis. Kami sangat suka sekali duduk di depan papan tulis karena dengan begitu kami bisa menulis dengan lancar tanpa ada yang menghalangi kami. Kami juga dapat mendengar suara sang ustadz dengan jelas.

Selain mengaji, sang ustadz yang juga ayah kami sangat pintar sekali dalam menyanyi dan memberi tebak-tebakan. Suaranya memang tak sebagus Maher Zein, Opick, ataupun Haddad Alwi, tapi ia mampu menghibur kami. Kami selalu diminta menirukannya dan akan dilombakan antara santri putra dan santri putri.

“Osaka Osaka my favorite

Osaka Osaka sit down please!”

Itulah salah satu lagu yang diajarkannya pada kami. Lagu itu ia peroleh dari mimpinya. Bukan hanya lagu ini saja, seringkali ia memperoleh hal-hal baru berdasarkan mimpi-mimpinya dalam tidur. Mungkin seperti mendapat ilham.

Tak sampai pukul 2 siang, mushallah pun mulai ramai. Masih cukup lama juga kami masuk. Sudah menjadi rahasia umum kalau kami berangkat mengaji juga untuk bermain. Seperti siang ini, sambil menunggu para guru ngaji kami datang kami bermain-main di bawah rindangnya pohon pinus yang ada di halaman mushallah. Kami bermain apa saja, lompat tali, patok lele, serimbang, bahkan juga bola kasti dan bola tendang.

Tiga puluh menit kemudian bapakku dan ibuku datang, merekalah guru mengaji kami. Bu Nil, guru mengaji yang baru juga datang tak lama kemudian. Mulailah kami mengaji, mengucap do’a mau belajar sebagai pembuka. Bapak mulai menuliskan tugas yang harus kami tulis di papan tulis. Tentang ilmu tajwid tampaknya. Ilmu tentang bagaimana caranya membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Bapak mulai menjelaskannnya dengan suara yang nyaring, dengan semangat yang menggebu-gebu. Padahal, beliau baru saja balik mengajar dari SMA 1001 dan belum sempat pulang ke rumah.

SMA 1001 ini sangat jauh sekali dari komplek, lebih dari 10 km. Untuk menuju ke sana bapak pun harus menaiki mobil toa sebanyak dua kali. Sudah pasti bapak sangat lelah, belum lagi perutnya yang belum terisi makanan siang ini. Tetapi, bapak tak menunjukkan itu semua dihadapan kami para santri-santrinya, beliau tetap mengajar dengan penuh semangat. Hanya aku dan Puputlah yang dapat mengerti kelelahan bapak.

Hari ini hari pertamaku membaca Al-Qur’an setelah aku menyelesaikan membaca Iqra jilid 1 hingga 6 ditambah dengan Juz Amma selama 2 tahun lamanya. Tapi bukan ibu dan bapaklah yang hari ini akan mengajariku mengaji seperti biasanya, melainkan Bu Nil, orang tua Ivan.

Dengan sedikit gemetar aku membuka kitab suci yang warnanya merah jambu itu, Al-Qur’an milik ibuku. Perlahan-lahan kumulai membaca Basmallah dan dilanjutkan dengan surat Al-Fatihah dan beberapa ayat di surat Al-Baqarah. Alhamdulillah, aku berhasil menyelesaikannya dengan baik. Diantara santri yang lain, akulah santri termuda yang sudah sampai ke Al-Qur’an. Tentu saja saat itu jarang sekali ada anak kelas 1 SD yang bisa membaca Al-Qur’an dan sudah lancar dalam membaca bacaan sholat, termasuk bacaan tahiyatul akhir. Resepnya adalah bahwa di rumah aku selalu mencoba membaca apa yang akan kubaca nanti di tempat ngaji. Bapak juga seringkali memintaku membaca Surat Yaasin setiap malam Jum’at saat aku masih mengaji Iqra. Kata bapak, salah sedikit tidak apa-apa karena aku masih belajar, semakin sering aku membacanya pasti akan semakin lancar. Semboyan “Bisa karena terbiasa” memang benar adanya.

Sekitar pukul 4 sore para guru ngaji itu sudah selesai mengajar para santrinya. Semua santri lantas mengambil wudhu untuk menunaikan sholat ashar berjamaah. Segera kami berjalan menuju kamar mandi yang berjarak sekitar 100 meter dari Mushallah Al-Furqaan. Cukup jauh memang, hal ini harus kami lakukan karena sumber air yang mengairi empat kamar mandi mushallah telah kering sejak beberapa bulan ini, mau tidak mau kami pun harus mengambil wudhu di kamar mandi lain.

Kamar mandi yang terletak di perempatan jalan itu sangat sepi sekali, aku saja tak berani kalau ke situ sendirian. Konon katanya, kalau malam hari suka ada setan duduk di bawah pohon beringin yang ada di samping kamar mandi itu. Belum lagi, lampu bengkel yang ada di sampingnya terkadang suka kerlap-kerlip menyala mati. Aku sih belum pernah mengalaminya langsung, tapi dengarnya saja sudah ngeri. Ada juga yang bilang kawasan komplek ini dulunya adalah hutan, bahkan juga ada yang bekas kuburan, sering terjadi hal-hal berbau mistis di sini.

Cerita itu kata teman-temanku, padahal mereka sendiri belum tentu pernah melihatnya langsung. Cerita itu memang cuma “Katanya... katanya...,” dari mulut ke mulut. Memang banyak sekali versi cerita hantu di komplek ini yang masih kabar burung tentunya, termasuk juga misteri pohon nangka yang ada di salah satu sudut komplek.

Komplek tempatku tinggal ini memang sangat sepi, jumlah penghuninya tak sebanding dengan luasnya. Komplek sekolah seluas lebih dari 30 hektar ini hanya dihuni tidak lebih dari 30 kepala keluarga yang tinggal di rumah dinas. Komplek ini sangat luas sekali untuk ukuran sebuah Sekolah Teknologi Menengah (STM), bahkan luasnya melebihi kampus tempatku kuliah. STM ini terdiri dari beberapa jurusan, yaitu pertanian, peternakan, Teknologi Hasil Pertanian (THP), dan Mekanisasi Pertanian (MP). Selain itu, dikomplek ini juga terdapat perkebunan kopi dan sayuran yang luas yang dikelola oleh sekolah dan guru-guru STM. Di sana juga ada padang rumput dan semak-semak yang dibiarkan tumbuh di tanah yang tak dirawat.

Banyak murid-murid STM yang berasal dari luar daerah, seperti Aceh Tenggara, Aceh Utara, Medan, dan Jawa. Mereka pun tinggal di asrama yang telah disediakan di sekolah ini. Saat itu sekolah ini menjadi salah satu sekolah terfavorit di Aceh dengan segala fasilitas dan guru-guru yang dimilikinya. Sudah menjadi hal yang biasa kalau guru-guru di sekolah ini penataran keluar negeri seperti ke Taiwan, Belanda, Denmark, Jerman, dan Thailand. Bukan hanya sehari atau dua hari saja mereka pergi, bisa berbulan-bulan lamanya. Bapakku saja hampir setahun berada di Taiwan pada pertengahan tahun 1988 hingga awal tahun 1989. Di saat aku lahir bapak juga masih berada di negeri orang itu dan beliau pun mengirimkan nama untukku melalui surat. Kerenkan, namaku ini kiriman dari luar negeri yang sudah melampaui samudera luas dan berbagai pulau.

Ok kembali ke cerita mengajiku. Dari kejauhan terdengar suara seorang teman yang sedang mengumandangkan adzan ashar. Setelah mengambil wudhu di kamar mandi yang menyeramkan itu, aku pun bergegas kembali ke mushallah bersama teman-temanku. Segera aku mengambil mukena dan menggelar sajadah coklat milikku. Beberapa teman tampaknya tak membawa sajadah, aku pun menggelar sajadahku itu secara horizontal dan rela berbagi dengan mereka agar kami sama-sama bersujud di atas sajadah. Semua santri tampaknya telah duduk berjejer dengan rapi, bapak pun meminta salah seorang dari santri putra itu untuk mengumandangkan iqamah. Bapak kemudian memposisikan diri di depan sebagai imam kami.

“Allahu akbar!” seketika suasana pun menjadi hening, semua santri mengikuti gerak-gerik bapak. Kami mulai membaca bacaan sholat dengan pelan. Entahlah, teman-temanku ikut membaca bacaan sholat atau tidak, setahuku hanya sebagian saja dari mereka yang bacaan sholatnya telah lancar, yaitu santri-santri yang sudah kelas 3 ke atas. Sholat sudah hampir selesai, kami sudah berada dalam posisi duduk tahiyat akhir. Namun tiba-tiba kami mendengar suara yang cukup mengganggu konsentrasi semuanya, “Tut..,” suara kentut rupanya dari salah seorang santri putra. Tentu saja hal ini mengganggu yang lain, beberapa dari kami pun terdengar menahan tawa mereka, termasuk aku. Saat aku masih kelas 1 SD aku memang belum bisa khusyuk dalam sholat, bahkan sampai sekarang pun aku belum bisa benar-benar khusyuk.

Kemudian bapak mengucap salam, memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri, diikuti oleh para santri. Setelah itu pun beberapa santri tampak saling berbisik dengan teman mereka, membicarakan perihal kentut tadi. Haha... Bapak dan ibuku masih membiarkan kami saja. Baru setelah dzikir dan do’a selesai, para guru mengaji itu bereaksi.

“Siapa yang tadi waktu sholat tertawa,” kata bapak dengan keras. Semua santri pun langsung saling menunjuk temannya. Bahkan ada yang melaporkan perihal kentut tadi. Bapak tak menghukum kami ternyata. Melainkan menjelaskan kami untuk memberi kami pengertian bahwa dalam sholat berjamaah kerap kali terdapat jamaah yang membuang angin. Untuk itu jamaah lain harus bisa menahan diri mereka untuk tidak tertawa atau terpengaruh karena itu merupakan bagian dari menahan nafsu, menahan dari godaan yang dapat membatalkan sholat.

Setelah bapak memberikan pengertian kepada kami, barulah kami melipat mukena dan sajadah kami untuk bersiap-siap pulang. Kami duduk kembali dengan memangku tas kami masing-masing. Kemudian sang guru pun menyuruh kami untuk membaca do’a senandung Al-Qur’an sebelum kami pulang. Setelah bapak mengucap salam, kami pun diam membisu. Semua santri duduk seperti patung. Bapak akan menyebutkan nama santri yang duduknya paling tenang untuk pulang lebih dulu. Aku jarang sekali pulang duluan karena aku tak bisa diam seperti patung. Aku hanya berhasil pulang di urutan tengah. Haha...

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar