Rabu, 23 September 2020

Kisah 17: Pacuan Kuda

 

Aku dan Puput pulang sekolah lebih cepat dari biasanya karena sekolah kami dibubarkan. Kami juga tak berangkat mengaji karena libur. Kami langsung berganti pakaian karena kami hendak ke lapangan Musara Alun untuk melihat pacuan kuda. Di daerah Gayo, pacuan kuda sudah menjadi tradisi turun-temurun yang diadakan setiap bulan Agustus.

Kami pergi bersama Kak Lucky dan ayahnya. Sementara ibu dan bapak telah berada di sana bersama Bu Endang, ibu Kak Lucky. Orang tua kami berjualan bakso dan miso bersama di acara pacuan kuda itu selama berlangsungnya acara yaitu selama 1 minggu lamanya. Jadi setiap hari selama seminggu ini aku selalu ke sana setiap habis sekolah.

Perpaduan masakan Jawa dan Medan, begitulah bakso dan miso yang orang tua kami jual. Ibuku berasal dari Jawa dan ibu Kak Lucky berasal dari Medan.  Sepertinya asal daerah tidak mempengaruhi cita rasa makanan itu yang dapat ditemui dimana-mana di seluruh daerah yang ada di Indonesia, toh rasanya di semua tempat sama saja.

Kami baru melewati Uning dan tiba-tiba turun hujan. Ayah Kak Lucky lalu menepi dan menghentikan sepeda motornya pada sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan, rumah papan yang kecil dan sangat sederhana. Kami tak bawa jas hujan sehingga kami harus berteduh di rumah yang tak kami kenal pemiliknya itu, Kami berdiri di depan rumah itu, aku terus mengamati tetes-tetes air yang turun lalu membasahi tanah dan tanaman, dingin pun terasa, apalagi aku juga tak bawa jaket. Untunglah tak lama hujan ini turun dan kami melanjutkan perjalanan kembali.

Musara Alun berada di Desa Blang Kolak di daerah kota, berjarak sekitar 7 km dari komplek kami. Musara alun adalah lapangan yang sangat luas. Lintasan sepanjang kurang lebih 1,5 km di pinggirnya digunakan untuk pacuan kuda, sementara lapangan tengahnya dimanfaatkan untuk berjualan makanan, baling-baling, dan para penonton pacu kuda. Ramainya melebihi pasar malam yang sering kutemui di Jawa. Para penonton dapat melihat pacuan kuda ini dari dalam lapangan ataupun dari luarnya. Meski sudah ramai, di tengah musara ini juga masih ada tempat untuk pertandingan sepak bola. Pacuan kuda ini benar-benar pesta rakyatnya orang Gayo. Semua orang Gayo dari berbagai daerah datang kemari. Bahkan turis asing juga tak mau ketinggalan.

Sementara orang tua kami berjualan bakso dan miso, kami akan bermain di lapangan ini. Kami bisa menonton pacuan kuda sepuasnya, naik baling-baling, ataupun menonton pertandingan bola yang kerap kali diadakan di tengah lapangan ini.

Menonton pacuan kuda adalah hal yang menyenangkan. Rasanya tegang sekali. Kami memilih nonton di dekat garis start. Sebuah pagar kayu membatasi kami dengan lintasan pacu kuda. Hal ini dilakukan agar kuda tetap berlari di jalur lintasan. Kulihat para joki telah berbaris di garis start. Mereka masih terlihat muda-muda, bahkan ada beberapa orang dari mereka yang masih anak-anak.  Mereka juga tak mengenakan pengaman seperti joki-joki profesional yang sering kulihat di TV.

Tidak ada aturan pasti dalam perlombaan pacu kuda, baik tentang  atribut maupun usian seorang joki. Para joki umumnya berkaki telanjang dan berpakaian bebas. Begitu juga dari segi keamanan dan keselamatan para joki, mereka tidak menggunakan alat pengaman tubuh, pagar, dan tali yang benar-benar memenuhi standar keamanan. Seringkali terjadi kecelakaan dalam ajang ini. Tak jarang ada joki yang jatuh dan terinjak-injak kuda. Tidak menutup kemungkinan mereka pun akan meninggal. Sedikit ngeri memang.

Kulihat juga seseorang berdiri di garis start. Ia adalah seorang juri pembantu. Mula-mula ia memberi aba-aba dengan mengangkat "bendera start" warna putih sebagai isyarat pertarungan segera berlangsung. Kuda-kuda pun tampak mencuri start. Saat bendera putih kembali dikibarkan, para joki segera menarik tari kekang kudanya agar berlari dengan cepat. Para joki akan terus memecut kudanya dengan cambuk yang mereka bawa agar kuda-kuda itu terus berlari dengan cepat.

Seru sekali saat kuda-kuda sudah mulai berlari. Mereka terlihat sangat lincah sekali meskipun mereka bukan kuda balap sungguhan. Umumnya kuda-kuda ini adalah kuda yang digunakan untuk membajak sawah sehari-harinya. Saat mereka bertanding, tiga orang juri akan duduk di atas sebuah menara bertingkat yang jaraknya kira-kira 100-200 m dari garis start.

Aku berharap jagoanku akan menang. Aku terus mengamatinya sampai kuda-kuda itu tiba digaris finish. Yach.. kalah, saat kuda favoritku tiba belakangan.

Tak enak rasanya berdiri di pinggir lintasan pacu kuda. Berdebu dan panas, itulah yang aku rasakan.

“Balik yuk ke warung,” ajak Puput kepadaku dan Kak Lucky.

“Iya betul, panas rasanya,” kataku menambahkan.

“Kita naik baling-baling aja yuk,” ajak Kak Lucky. Sepertinya ajakannya cukup menarik. Kami pun lantas berjalan menuju baling-baling langganan kami. Kami lalu melewati tanah lapang yang luas dan menyelusup di tengah ramainya pengunjung.

“Eh.. eh... ada Utih Geter,” kata Puput dengan pelan saat kami sedang melangkah.

“Mana-mana?” tanyaku dan Kak Lucky penasaran.

“Itu!” tunjuk Puput pada salah seorang yang berdiri sekitar 10 meter dari kami. Utih Geter tampak berdiri sendirian sambil bicara sendiri pula, entah apa yang dia maki-maki.

“Lariiii.....!” ajak Kak Lucky. Kami pun kembali menyelusup di tengah ramainya pengunjung pacuan kuda.

Utih Geter adalah orang gila yang terkenal di Takengon. Rambutnya pendek seperti cowok dan sudah berumur. Kami seringkali menjumpainya di daerah kota. Utih Geter seringkali menakut-nakuti orang-orang yang dijumpainya dengan mengejar ataupun mengucapkan kata-kata yang kasar. Sebaliknya, banyak orang juga yang mengolok-oloknya untuk memancing tingkahnya. Paling lucu adalah ketika ia berjalan di dekat lapangan Musara Alun ini dengan mengenakan gaun pesta berwarna putih ala baju ulang tahun anak-anak sambil berpayungan. Lucu sekali kelihatannya, dia seperti bidadari yang turun dari negeri acak kadut antah berantah di siang bolong. Aku jadi teringat akan atraksi topeng monyet yang pernah kutonton, “Si Minah mau ke pasar, teng... teng... teng... teng... si Minah pun jalan berlenggok-lenggok sambil membawa payung,” hahaha....

Kami terus mengikuti Kak Lucky sampai kami tiba di baling-baling dengan sedikit ngos-ngosan. Baling-baling di depan warung bakso dan miso orang tua kami memang sudah menjadi langganan kami sejak acara pacuan kuda ini dibuka beberapa hari lalu. Kami tak perlu membayar seperti orang-orang lainnya, tetapi kami dapat naik sepuas kami setiap saat. Sang pemilk yang berwajah seperti orang India itu telah menjadi teman kami selama pacuan kuda ini berlangsung. Bahkan, kami saling memberi kenang-kenangan di hari terakhir pacuan kuda.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar