Minggu, 20 September 2020

Kisah 8: Apa Isi Nasi Bungkus?

 

Tak terasa, bulan Ramadhan sudah menginjak hari ke 16, itu berarti sudah 16 hari pula bapak menjadi imam sholat tarawih dan memberikan ceramah setelah selesai sholat tarawih di mushallah Al-Furqaan. Sehingga malam ini menginjak malam ke 17 dari bulan Ramadhan, dimana dibulan ini untuk pertama kalinya ayat suci Al-Qur’an diturunkan.

Puluhan jamaah telah datang. Jamaah putra telah ramai tampaknya. Tirai berwarna putih juga sudah terbentang, menjadi hijab antaran jamaah putra dan putri, sehingga kami tak bisa saling melihat. Ibu-ibu dan jamaah putri lainnya juga telah siap dengan mukenah putih yang menutup aurat bagian atas tubuh dan kain sarung yang menutup bagian bawahnya. Mereka telah menggelar sajadah masing-masing. Malam ini lebih ramai dari biasanya sehingga jamaah putri pun sampai keluar dan harus rela sholat di bebalen (bale-bale, emperan) mushallah dan aku salah satunya. Sholat tarawihku masih bolong-bolong sehingga ibu menyuruhku sholat di belakang saja agar tak mengganggu jamaah lainnya.

“Allahu Akbar!” bapak memimpin sholat. Para jamaah pun mengikutinya.

Sudah menjadi kebiasaan dari tahun ke tahun bapak yang menjadi imam sholat di mushallah ini. Sebelum mushallah Al-Furqaan ini di bangun bapak juga sudah menjadi imam di bengkel sekolah, tempat dimana sholat jamaah dulu dilaksanakan. Atas inisiatif beliau dan beberapa rekan-rekannya kemudian dibangun mushallah yang bentuknya rumah panggung ini dan Masjid Baiturrahim Desa Wih Nareh. Selain menjadi imam, bapak juga seorang khatib Desa Wih Nareh.

Malam 17 Ramadhan adalah malam yang kutunggu-tunggu karena selain ada Pak Teuku (kyai) dan lebih ramai dari biasanya, juga ada acara makan besar bersama-sama setelah sholat tarawih nanti. Pada malam-malam biasanya kami hanya makan makanan ringan dan minum kopi atau teh saja sambil mendengarkan ceramah. Tetapi berbeda dengan malam ini. Setiap kepala keluarga sedikitnya membawa lima bungkus nasi yang kemudian dikumpulkan jadi satu dengan nasi bungkus lainnya sehingga nanti akan dibagi secara acak.

Aku dan Puput tak mengikuti sholat tarawih itu sampai selesai. Aku memilih bermain dengan teman-temanku. Malam ini kami tak mencari met-met. Beberapa anak yang lebih besar dari kami juga ada yang tak sholat seperti kami. Ia mengajak kami keluar mushallah untuk melakukan suatu misi.

Dengan sebuah lidi di tangan, sambil berjongkok ia masuk ke kolong mushallah yang bentuknya rumah panggung ini. Gelap sekali di kolong itu, bukan lapisan semen di bawahnya tetapi tanah yang ditumbuhi rumput-rumput. Ia pun dibantu dengan lampu senter agar lebih terang. Sekitar lima langkah ia lalu berhenti dan menusukkan lidi itu ke atas mushallah melalui sela-sela papan panggung ini. kemudian ia kembali keluar dari kolong yang gelap itu dan mencium batang lidi itu. “Hmmm.... ini bau telur sama sayur santan,” begitu katanya. Cerdas sekali akalnya untuk mengetahui apa lauk nasi bungkus itu. Aku dan beberapa teman lain juga menirukannya pada sela-sela papan yang berbeda yang berarti beda nasi bungkus pula.

Sementara ia menusuk, ada seorang teman di atas mushallah sana yang menandainya (orang Jawa bilang “niteni”) plastik makanan mana yang bergerak. Hal ini kami lakukan untuk mendapatkan nasi bungkus dengan lauk yang istimewa. Nah, pada saat pembagian nasi nanti kami pasti akan memilih nasi bungkus yang kami inginkan. Hahaha..... nakal kali kami ini.... yee.. itu waktu aku masih kecil, masih jadi anak bawang, jadi cuma ikut-ikutan saja.

Bacaan bapak sangat merdu dan jelas sehingga sholat pun terasa khusyuk meski hanya sebelas rakaat. Suara jangkrik dari padang rumput yang mengitari mushallah dan gemericik air dari selokan besar di sekitar mushallah juga kalah dengan suara bapak. Tetapi setelah itu bukan bapak yang memberikan ceramah seperti biasanya, melainkan Pak Teuku dari luar komplek yang mengisinya.

Tirai putih lalu dibuka dan jamaah putri juga bisa melihat Pak Teuku. Para jamaah kemudian duduk melingkar, baik jamaah putra maupun jamaah putri. Dengan begitu kami pun jadi lebih santai dalam mendengarkan ceramah. Saat itu aku masih kecil sehingga tak memperhatikan apa isi ceramahnya, yang kupikirkan hanyalah nasi bungkus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar