Rabu, 23 September 2020

Kisah 16: Agustusan

 

Pulang sekolah ini aku kembali melewati jalan depan. Namun saat melewati gerbang komplek siang ini terlihat ada pemandangan yang berbeda. Umbul-umbul berwarna-warni telah dipasang sepanjang gerbang komplek. Pintu gerbang juga lebih indah dari biasanya. Ada sebuah gapura besar di sana. Gapura warna merah putih yang dipenuhi dengan hiasan warna merah putih pula. Aku baca tulisan yang terpampang di sana: “HUT RI ke-50,” ada apa sih ini, pikirku dalam hati.

“Oh iya mau Agustus-an,” kata Febry. “Nanti aku mau pake baju adat,” katanya lagi. Aku pun tak sabar untuk segera sampai ke rumah dan menanyakan ini pada ibu.

Pemandangan yang berbeda juga kutemui sepanjang perjalanan pulang. Bangunan-bangunan STM juga ramai dihiasi bendera merah putih, umbul-umbul, dan lampu warna-warni. Rumah Pak Sutar dan Pak Is yang berdiri sendiri juga tak kalah ramai dengan atribut khas Agustusan. Blok rumahku juga tak kalah ramai. Setiap rumah juga sudah memasang umbul-umbul dan lampu berwarna-warni, termasuk rumahku. Bu Aswin telah menjahitkan umbul-umbul itu beberapa waktu lalu. Padahal, rumah kami jauh sekali dari jalan raya, siapa juga yang mau melihat, tak akan ada bupati ataupun pak camat yang akan memeriksa lingkungan rumah kami ini. Tapi aku suka karena lingkungan rumah yang hanya 10 ini pun jadi terlihat lebih hidup.

“Ma, di gerbang kok ada gapura warna-warni? Terus tulisannya HUT RI ke-50,” tanyaku pada mama.

“Oh iya, tanggal 17 Agustus kan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-50 sehingga disingkat HUT RI. Nanti hari kamis kan upacara di lapangan STM.”

“Oh, berarti Indonesia itu merdeka tanggal 17 Agustus ya Ma?” tanyaku lagi.

“Iya, benar,” jawab ibuku lagi.

“Ma, kata Febry dia nanti mau pakai baju adat pas upacara. Terus ade gimana?” tanyaku lagi, aku kan juga ingin seperti Febry.

“Iya nanti,” ibuku sepertinya kesal karena aku bertanya terus padanya. Padahal aku tahu, ibuku itu belum menyiapkan baju adat apapun untukku, meski upacara Agustus tinggal 4 hari lagi.

***

Kamis pagi tanggal 17 Agustus 1995, aku dan Puput sudah berdiri di lapangan. Lapangan STM hari ini ramai sekali, berbagai siswa-siswi dari SD hingga SMA se-Kecamatan Pegasing datang ke komplek kami untuk mengikuti upacara bendera memperingati hari Kemerdekaan RI Tanggal 17 Agustus. Tampak juga para ibu-ibu dan bapak-bapak berpakaian coklat-coklat dan hijau belang-belang, mereka adalah para polisi dan tentara. Pasukan 08 juga sudah siap berdiri dengan pakaian yang serba putih dengan sebuah bendera di tangan salah seorang anggotanya.

Sudah tradisi dari tahun ke tahun kalau lapangan komplek STM ini digunakan untuk upacara 17 Agustus. Lapangan STM merupakan lapangan terbesar se-Kecamatan Pegasing. Bagaimana tidak, lapangannya saja ada dua yang bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh parit kecil.

Aku dan Puput bergabung dengan barisan anak-anak yang mengenakan baju adat. Kami adalah anak-anak guru SMK N 1 Pegasing. Pagi ini aku mengenakan pakaian adat Aceh. Cukup sederhana baju Aceh ini: celana panjang hitam, baju lengan panjang warna putih, songket warna merah setengah lutut yang dipasang di pinggang, serta kain songket merah juga yang dipasang menyilang di dada. Aku jadi terlihat seperti anak Aceh. Padahal aku kan orang Jawa. Hehe.... Temanku yang lain ada yang memakai karawang Gayo dan baju ala melayu, seperti Bang Miga, bahkan lengkap dengan pedang kayunya.

***

Agustus-an pasti identik dengan lomba-lomba, di bagian manapun negara Indonesia ini pasti juga sama. Begitu juga dengan komplek tempat tinggalku. Siang ini aku kembali ke lapangan STM, tentunya aku sudah tidak mengenakan pakaian adat lagi, melainkan kaos dan celana pendek. Aku sudah siap untuk mengikuti berbagai perlombaan untuk memeriahkan peringatan hari kemerdekaan RI yang jatuh pada hari ini.

Ibu mendaftarkanku dan Puput untuk mengikuti beberapa perlombaan, seperti lomba kelereng, makan kerupuk, balap karung, giring balon, dan ambil batu.

Sekarang aku telah berbaris di garis strart. Lomba pertama yang kuikuti adalah lomba ambil batu. Dalam lomba ini aku harus mengambil batu yang ada di sisi lain untuk di pindah ke garis start. Untuk dapat memenangkan lomba ini aku harus mempunyai tenaga esktra yaitu berlari secepat mungkin kalau perlu secepat kilat.

“Prittt........!” peluit dibunyikan.

Aku pun berlari meninggalkan garis start dengan mengerahkan segala daya dan tenaga yang kupunya. Kuambil satu per satu batu di seberang sana. Dengan cepat aku berlari bolak-balik tapi tetap saja aku kalah karena beberapa anak larinya lebih cepat dariku. Wajar saja mereka menang, mereka kan lebih besar, pasti langkah kakinya juga lebih lebar dan cepat. Ah.... aku kalah. Ibu berusaha menghiburku dan memberiku semangat untuk mengikuti lomba selanjutnya yaitu lomba bawa kelereng. Kelereng yang biasanya aku mainkan untuk main  cuk-cuk garis ataupun pangkah bisa juga ya buat lomba Agustus-an.

Setelah beristirahat beberapa saat, aku kembali berdiri di garis start. Sebuah sendok aluminium yang berisi kelereng telah kugigit dengan gigi-gigiku yang kuat.

“Prittt........!” peluit kembali dibunyikan.

Aku segera berjalan dengan perlahan membawa kelereng itu. Aku terus berjalan dengan pelan meskipun beberapa anak telah mendahuluiku. Mereka berjalan lebih cepat, tapi tak lama kemudian kelereng mereka terjatuh dan mereka pun berhenti dari lomba. Hanya tinggal dua anak saja yang bertahan. Aku terus membawanya dengan pelan dan berhasil sampai ke garis finish. “Aha... aku menang”. Meski menang ataupun kalah dalam perlombaan yang kuikuti, aku tetap berteman dengan lawan-lawanku tadi. Bagiku menang atau kalah itu tak masalah. Aku harus bisa sportif dalam perlombaan yang kuikuti. Satu hal lagi, jangan tergesa-gesa dalam perlombaan, tenang adalah salah satu kunci suksesnya, seperti salah satu semboyan orang Jawa “Alon-alon asal klakon”.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar