Minggu, 20 September 2020

Kisah 9: Taman Kanak-Kanak Renggali

 

Umurku sekarang sudah 5 setengah tahun. Aku pun masuk sekolah taman kanak-kanak.

“Hore! sekarang aku sekolah,” teriakku, aku sangat senang sekali.

Sebenarnya sejak setahun lalu aku sudah ingin masuk TK. Gara-garanya, Bang Miga tetangga rumahku yang biasa main denganku masuk sekolah TK. Aku kan iri dan tak punya teman lagi. Bapak waktu itu sempat membawaku ke TK Renggali, berniat mendaftarkanku. Tapi pihak sekolah tak mau menerimaku, katanya umurku masih terlalu muda. Padahal besarku dan Miga sepertinya sama saja.

Sekarang aku pun masuk TK Renggali, TK yang aku idam-idamkan sejak lama, TK terfavorit di kecamatan kami. Di TK ini pula dulu Puput menikmati masa kanak-kanaknya. Aku tak menemui Miga di sini karena dia sudah lulus dan bersekolah di SDN Wih Nareh bersama Puput.

Desaku yaitu Desa Wih Nareh belum mempunyai taman kanak-kanak sehingga aku sekolah di Taman Kanak-Kanak Renggali yang berada di ibukota Kecamatan Pegasing yaitu di Desa Simpang Kelaping, berjarak sekitar 3 km dari komplek dengan melewati jalan raya, serta satu kali turunan dan tanjakan yang ada di Desa Kung. Di sini aku mempunyai banyak teman, beberapa dari mereka juga anak komplek STM, seperti Febry, Nova, Agri, Fajar, Hafidz, dan Laras. Berhubung kami satu komplek maka orang tua kami akan bergantian datang menjemput.

Di sekolah, kami duduk secara berkelompok. Aku tidak duduk bersama anak-anak komplek itu. Aku duduk dengan anak-anak lain yang semuanya laki-laki. Terkadang aku merasa tidak nyaman. Apalagi anak laki-laki suka usil dan meja mereka selalu berantakan. Terkadang aku yang membereskannya, karena aku tak ingin kelompokku terlihat berantakan.

Alat bermain di sekolahku masih sangat terbatas. Kami tak punya ayunan ataupun pelosotan seperti di sekolah-sekolah TK pada umumnya. Hanya ada satu njot-njotan, itu pun harus mengantri. Kami pun bermain dengan alat seadanya saja. Bahkan tak jarang aku hanya bermain kelereng ataupun bermain kejar-kejaran dengan temanku.

Hari ini gilirah Ayah Agri dan Ayah Febry yang datang menjemput kami. Aku tak turut bersama mereka. Karena tadi sebelum berangkat sekolah ibu bilang mau datang ke SD Simpang Kelaping yang berada satu komplek dengan sekolah TK-ku ini. Biasanya kalau ibu ke Simpang Kelaping pasti sekalian menjemputku karena di rumah juga sepi tak ada orang. Ibu adalah seorang penjual pakaian dan sepatu. Seringkali ibu menjualnya sampai ke Simpang Kelaping, bahkan juga Kayu Kul. Guru-guru di sekolah ini adalah para pelanggannya, termasuk Bu Arini, guru TK-ku.

Lama sekali ibu tak kunjung datang, sementara teman-teman komplekku sudah pulang sedari tadi. Sudah tak ada anak lagi di sekolahku, Bu Arini sang guruku juga sudah mau pulang. Aku pun akhirnya ikut ke rumahnya di Kayu Kul. Kami berjalan kaki di sepanjang tepi jalan raya. Bu Arini menggandeng erat tanganku. Ia takut aku tertabrak kendaraan yang lewat. Lumayan jauh jalannya, tapi tidak begitu terasa karena aku memang sudah terbiasa berjalan kaki.

Kami sudah di depan SMPN 1 Pegasing, itu berarti kami sudah hampir sampai di rumah Bu Arini, tinggal melewati beberapa rumah saja. Namun, tiba-tiba sebuah mobil toa berhenti di sebelah kami. Sepertinya salah seorang penumpang akan turun. Benar saja, ibuku keluar dari mobil toa itu.

“Mama!” pintaku, betapa senangnya aku melihat siapa yang turun. Ia langsung memelukku. Aku hampir saja menangis. Setelah berbicara dengan Bu Arini sebentar, ia lalu mengajakku pergi. Aku pun tak jadi ke rumah Bu Arini.

Ibu tak lantas mengajakku pulang ke rumah, melainkan ke rumah Winoto, teman TK-ku juga. Kami duduk satu kelompok. Bu Narti, Ibu Winoto kenal baik dengan ibuku, ia juga orang Jawa Tengah. Rumah Winoto juga lumayan jauh, bisa saja kami berjalan kaki. Tapi sepertinya ibu tak mau aku terlalu capek. Ibu pun memilih naik mobil toa lagi dan berhenti di perempatan Simpang Kelaping. Barulah dari perempatan itu kami berjalan kaki kembali ke rumah Winoto karena rumahnya tak dilalui mobil toa.

Setelah melewati beberapa rumah dan lapangan hijau yang luas, sampailah kami di rumah besar itu. Winoto terlihat sedang bermain di depan rumahnya, ia lalu memanggil ibunya yang ada di dalam rumah. Bu Narti pun keluar dari rumahnya. Bu Narti adalah ketua Koperasi Liga Gayo, salah satu koperasi terbesar Aceh Tengah dan ibuku adalah bendaharanya. Koperasi mereka ini terkenal di tingkat kabupaten dan provinsi. Bu Narti dan ibuku juga pernah beberapa kali berpergian keluar kota untuk mengurusi koperasi mereka ini, seperti ke Banda Aceh dan Lhokseumawe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar