Umurku sekarang
sudah 5 setengah tahun. Aku pun masuk sekolah taman kanak-kanak.
“Hore! sekarang
aku sekolah,” teriakku, aku sangat senang sekali.
Sebenarnya sejak
setahun lalu aku sudah ingin masuk TK. Gara-garanya, Bang Miga tetangga rumahku
yang biasa main denganku masuk sekolah TK. Aku kan iri dan tak punya teman lagi.
Bapak waktu itu sempat membawaku ke TK Renggali, berniat mendaftarkanku. Tapi pihak
sekolah tak mau menerimaku, katanya umurku masih terlalu muda. Padahal besarku
dan Miga sepertinya sama saja.
Sekarang aku pun
masuk TK Renggali, TK yang aku idam-idamkan sejak lama, TK terfavorit di
kecamatan kami. Di TK ini pula dulu Puput menikmati masa kanak-kanaknya. Aku
tak menemui Miga di sini karena dia sudah lulus dan bersekolah di SDN Wih Nareh
bersama Puput.
Desaku yaitu
Desa Wih Nareh belum mempunyai taman kanak-kanak sehingga aku sekolah di Taman
Kanak-Kanak Renggali yang berada di ibukota Kecamatan Pegasing yaitu di Desa
Simpang Kelaping, berjarak sekitar 3 km dari komplek dengan melewati jalan
raya, serta satu kali turunan dan tanjakan yang ada di Desa Kung. Di sini aku
mempunyai banyak teman, beberapa dari mereka juga anak komplek STM, seperti
Febry, Nova, Agri, Fajar, Hafidz, dan Laras. Berhubung kami satu komplek maka
orang tua kami akan bergantian datang menjemput.
Di sekolah, kami
duduk secara berkelompok. Aku tidak duduk bersama anak-anak komplek itu. Aku
duduk dengan anak-anak lain yang semuanya laki-laki. Terkadang aku merasa tidak
nyaman. Apalagi anak laki-laki suka usil dan meja mereka selalu berantakan.
Terkadang aku yang membereskannya, karena aku tak ingin kelompokku terlihat
berantakan.
Alat bermain di
sekolahku masih sangat terbatas. Kami tak punya ayunan ataupun pelosotan
seperti di sekolah-sekolah TK pada umumnya. Hanya ada satu njot-njotan, itu pun harus mengantri. Kami pun bermain dengan alat
seadanya saja. Bahkan tak jarang aku hanya bermain kelereng ataupun bermain
kejar-kejaran dengan temanku.
Hari ini gilirah
Ayah Agri dan Ayah Febry yang datang menjemput kami. Aku tak turut bersama mereka.
Karena tadi sebelum berangkat sekolah ibu bilang mau datang ke SD Simpang
Kelaping yang berada satu komplek dengan sekolah TK-ku ini. Biasanya kalau ibu
ke Simpang Kelaping pasti sekalian menjemputku karena di rumah juga sepi tak
ada orang. Ibu adalah seorang penjual pakaian dan sepatu. Seringkali ibu
menjualnya sampai ke Simpang Kelaping, bahkan juga Kayu Kul. Guru-guru di sekolah
ini adalah para pelanggannya, termasuk Bu Arini, guru TK-ku.
Lama sekali ibu
tak kunjung datang, sementara teman-teman komplekku sudah pulang sedari tadi.
Sudah tak ada anak lagi di sekolahku, Bu Arini sang guruku juga sudah mau
pulang. Aku pun akhirnya ikut ke rumahnya di Kayu Kul. Kami berjalan kaki di
sepanjang tepi jalan raya. Bu Arini menggandeng erat tanganku. Ia takut aku
tertabrak kendaraan yang lewat. Lumayan jauh jalannya, tapi tidak begitu terasa
karena aku memang sudah terbiasa berjalan kaki.
Kami sudah di
depan SMPN 1 Pegasing, itu berarti kami sudah hampir sampai di rumah Bu Arini,
tinggal melewati beberapa rumah saja. Namun, tiba-tiba sebuah mobil toa
berhenti di sebelah kami. Sepertinya salah seorang penumpang akan turun. Benar
saja, ibuku keluar dari mobil toa itu.
“Mama!” pintaku,
betapa senangnya aku melihat siapa yang turun. Ia langsung memelukku. Aku hampir
saja menangis. Setelah berbicara dengan Bu Arini sebentar, ia lalu mengajakku
pergi. Aku pun tak jadi ke rumah Bu Arini.
Ibu tak lantas
mengajakku pulang ke rumah, melainkan ke rumah Winoto, teman TK-ku juga. Kami
duduk satu kelompok. Bu Narti, Ibu Winoto kenal baik dengan ibuku, ia juga
orang Jawa Tengah. Rumah Winoto juga lumayan jauh, bisa saja kami berjalan
kaki. Tapi sepertinya ibu tak mau aku terlalu capek. Ibu pun memilih naik mobil
toa lagi dan berhenti di perempatan Simpang Kelaping. Barulah dari perempatan
itu kami berjalan kaki kembali ke rumah Winoto karena rumahnya tak dilalui
mobil toa.
Setelah melewati
beberapa rumah dan lapangan hijau yang luas, sampailah kami di rumah besar itu.
Winoto terlihat sedang bermain di depan rumahnya, ia lalu memanggil ibunya yang
ada di dalam rumah. Bu Narti pun keluar dari rumahnya. Bu Narti adalah ketua
Koperasi Liga Gayo, salah satu koperasi terbesar Aceh Tengah dan ibuku adalah
bendaharanya. Koperasi mereka ini terkenal di tingkat kabupaten dan provinsi.
Bu Narti dan ibuku juga pernah beberapa kali berpergian keluar kota untuk
mengurusi koperasi mereka ini, seperti ke Banda Aceh dan Lhokseumawe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar