Perlahan kubuka
mata ini, kukucek-kucek keduanya dengan jari-jemariku yang takkutahu apakah bersih
atau kotor. Kulihat ibu, Mba Puput, dan bapak sudah tak ada lagi di kamar.
“Oh, mereka
sudah bangun semua”. Aku pun segera bangkit, turun dari kasur empuk ini.
“Dingin,” begitu
kataku saat kedua telapak kakiku menginjak lantai ubin.
Aku lalu
berjalan pelan keluar kamar. Tak kuperdulikan kasur yang masih berantakakan.
Selimut yang tadi membungkusku kubiarkan saja tergeletak, seprei pun terbuka tak
karuan, bantal dan guling juga dalam posisi arah yang tidak jelas ke sana
kemari.
Kulihat korden
kuning penutup kaca ruang tamu telah terbuka lebar. Sinar matahari menembus
kaca dan menerangi ruang tamu di pagi ini. Sudah terang rupanya. Kulihat TV
hitam putihku berbicara sendirian menyiarkan berita pagi, tak ada yang
menontonnya. Kulantas berjalan ke belakang, menjumpai ibu di dapur.
“Ade sudah
bangun rupanya. Aduh kok berantakan sekali,” katanya sambil memasak.
“Mba Puput mana
Ma?” tanyaku mencari Puput, satu-satunya kakakku. Usianya 2 tahun lebih tua
dariku.
“Itu di belakang
sama bapak. Cuci muka dulu sana di kamar mandi! Sudah mama siapkan air hangat,”
ibu sepertinya tidak tahan melihat anak bungsunya ini terlihat berantakan. Saat
itu aku belum punya adik, umurku saja baru sekitar 4 tahun.
Ketika pagi hari
air di sini sangat dingin sekali seperti air es rasanya sehingga sudah menjadi
kebiasaan orang-orang di sini membasuh mukanya ataupun memandikan badannya
dengan air hangat.
Ibu lantas
membawaku ke kamar mandi yang terletak di tengah rumah kami. Ia membasuh mukaku
yang kotor ini, menghilangkan bekas iler yang tadi mewarnai wajahku. Cepat
sekali ia membersihkannya karena ia tahu bahwa aku kedinginan meskipun sudah menggunakan
air hangat.
Kemudian ia
mengelap wajahku dengan kain handuk yang kering. Aku kemudian langsung berlari
ke belakang rumah. Saat membuka pintu, hanya kabut yang terlihat. Aku tak bisa
melihat Puput dan bapak di luar sana.
“Dingin kok Ade
keluar,” suara Om Mus mengagetkanku, ia muncul dari balik kabut yang tebal. Om
Mus adalah adik bungsu bapakku yang juga tinggal bersama kami di Aceh. Ia telah
siap dengan pakaian kerjanya.
“Mba Puput sama
bapak mana Om?” tanyaku padanya.
“Itu di kandang
ayam!” tunjuknya ke arah kandang ayam kami yang ada di halaman belakang rumah.
Segera kupakai
sandal jepit bututku. Aku lantas berlari untuk menjumpai Puput dan bapak.
Kulihat Puput sedang bermain bersama ayam-ayam kami dan bapak sedang memberi
makan ayam-ayam dengan dedak (bekatul).
Aku pun bergabung dengan Puput, melihat ayam-ayam kami yang hanya beberapa ekor
saja jumlahnya.
Hari ini hari
minggu sehingga Puput tidak berangkat ke sekolahnya. Bapak juga tidak berangkat
mengajar.
“Ayo kalian
siap-siap sana, kita kan mau ke proyek!” bapak menyuruh kami masuk ke dalam
rumah untuk mempersiapkan diri berangkat ke proyek. Selain di halaman depan dan
belakang rumah ini, kami juga mempunyai kebun sayuran di area Proyek Hortigayo
yang terletak di Desa Kung, sebuah desa di sebelah utara desa kami. Sudah menjadi
kebiasaan bapak setiap hari Minggu selalu ke kebun ini.
Kami kemudian masuk.
Terlihat ibu sedang menyiapkan bekal yang hendak kami bawa nanti. Bekal-bekal
itu dia tata dalam rantang plastik berwarna merah.
“Sudah selesai,”
kata ibu dengan pelan setelah ia selesai menata bekal kami dan peralatan
lainnya. “Ayo sekarang kalian ganti baju!” aku dan Puput pun langsung berjalan
ke kamar. Ibu mengganti pakaian kami, lengkap dengan jaket tebal kami. Kami tak
perlu mandi, pagi yang dingin membuat kami jarang sekali mandi.
Setelah semuanya
siap kami lantas ke belakang rumah, menuju bengkel pertanian. Puput turut
membantu ibu membawa bekal. Bapak telah menunggu kami di sana. Ia telah siap
dengan traktor merah dan gerobak kuningnya. Traktor inilah yang akan menjadi
kendaraan kami menuju Proyek. Meski letaknya di belakang komplek, tapi cukup
jauh kalau kami harus berjalan kaki. Apalagi kami biasanya memutar lewat jalan
depan yang lebih aman.
Perlahan traktor
ini mulai berjalan meninggalkan gedung Jurusan Pertanian dan komplek kami dan
mulai memasuki jalan raya yang masih sepi. Kabut tebal yang putih masih
menyelimuti jalanan yang kami lalui. Jarak pandang kami pun hanya beberapa
meter saja. Dingin terasa sampai ke tulang. Setiap hari keadaan di Takengon
memang seperti ini, sehingga wajar kalau kota ini di juluki sebagai “Kota Dingin”.
Untunglah, bapak lumayan lihai menyetir traktor ini, sehingga kabut dan dingin
tak jadi masalah. Aku, Puput, dan ibu duduk di gerobak. Namanya juga traktor,
sudah pasti jalannya lambat, tak secepat mobil. Tapi traktor ini juga tetap
bisa melalui jalanan yang naik turun. Hanya kalah dalam kecepatan saja.
Traktor mulai
memasuki area proyek. Terlihat perkebunan sayuran yang terbentang luas. Proyek
Hortigayo merupakan salah satu proyek perkebunan yang ada di Kabupaten Aceh
Tengah. Pemilik proyek ini adalah orang luar negeri, entahlah dari mana asalnya.
Sehingga tidak heran kalau banyak orang asing di sini. Bapak juga kenal
beberapa dari mereka, seringkali bapak terlihat mengobrol bersama mereka. Aku
hanya tahu nama salah satu dari mereka yaitu Mr. Steven. Om Mus juga bekerja di
proyek ini sejak ia lulus dari STM Pertanian, tempat bapak mengajar. Seringkali
ia pulang dengan membawa sayuran dari proyek ini, termasuk membawa cabe paprika
yang besar itu.
Masih pagi
sekali, tapi aktivitas di proyek ini sudah terlihat ramai. Om Mus sendiri sudah
berangkat sejak pagi tadi sebelum kami ke sini. Kami langsung menuju kebun
bapak yang sebenarnya juga masih milik proyek ini. Hanya saja bapak diizinkan
untuk mengelolanya daripada tanah itu dibiarkan menganggur. Bukanlah hal yang
sulit untuk mendapatkan izin karena bapak sudah kenal baik dengan orang-orang
di proyek ini.
Sebuah gubuk
kecil berdiri kokoh di tengah kebun kami. Sementara bapak dan ibu membersihkan
kebun, aku dan Puput akan bermain di sana. Sesekali kami juga turun dari gubuk
itu untuk melihat bapak dan ibu membersihkan rumput. Kadangkala aku juga ikut
mencabuti rumput yang kecil-kecil.
Bapak dengan
terampil mengarahkan traktor untuk membajak tanah kebun kami. Ia tak kuat kalau
harus mencangkulnya sendiri. Biasanya ada beberapa abang-abang STM yang
membantunya di sini, tapi sudah beberapa minggu ini aku tak pernah melihat mereka
ke sini lagi. Sementara ibu akan menggunakan cangkul dan parang untuk
membersihkan rumput-rumput di sekitar tanaman yang besar. Hari ini mereka tidak
menanam, melainkan membersihkan lahan bekas panen Minggu lalu dan mempersiapkan
lahan untuk ditanami kembali. Bapak biasanya menanami kebun ini dengan aneka sayur-sayuran,
seperti kacang panjang, wortel, cabe, dan tomat. Hasilnya untuk memenuhi
kebutuhan sendiri ataupun dijual. Bapak memang insinyur pertanian yang dapat
menerapkan ilmunya.
Saat sinar
matahari mulai terasa terik, bapak dan ibu menghentikan kerjanya. Segera mereka
mengajakku ke pancuran. Ibu dan bapak hanya membersihkan sisa-sisa tanah yang
menempel di tangan dan kaki mereka saja. Sementara aku dan Puput juga mandi di
pancuran ini. Segar sekali rasanya. Air pancur ini berasal dari kolam besar
yang ada di Proyek Hortigayo. Kolamnya sangat besar sekali, seperti embung.
Plastik hitam dipasang sebagai dasar kolam ini agar airnya tak meresap ke tanah.
Terkadang aku dan Puput berlari-lari mengelilingi kolam ini. Ibu pun sering
mengkhawatirkan kami kalau-kalau kami jatuh ke dalam kolam setinggi 1 meter
itu.
Beberapa orang pekerja
proyek juga datang ke pancuran ini, mereka membawa sekeranjang besar wortel.
Mereka mencuci sayuran yang berwarna oranye
itu.
“Oh ada ibu,
panen ya Bu!” sapa mereka, sepertinya mereka sudah mengenal ibu karena kami
memang sering ke proyek ini.
“Tidak Kak, cuma
membersihkan saja, sudah panen Minggu kemaren. Sepertinya proyek ini yang baru
panen?” kata ibu.
“Iya Bu, ini
wortel sisa panen kemaren. Kalau mau ambil saja ini Bu!” kata mereka menawarkan
kepada ibu.
Mereka lalu
memberikan ibu beberapa wortel yang telah dibersihkan, dengan senang hati ibu
menerimanya. Ibu lalu menggigitnya, “Krenyes... krenyes...,” enak katanya.
Apalagi baru dipanen, rasanya pun manis. Aku pun penasaran, aku lalu mengambil
satu wortel kecil dari tangan ibu. Aku ikut-ikutan menggigitnya seperti
kelinci, “Manis!” benar juga kata ibu, rasanya memang segar. Setelah aku kuliah
di Biologi, aku pun tahu bahwa wortel banyak mengandung vitamin A dan sangat
baik untuk kesehatan mata dan kulit.
Setelah itu kami
balik lagi ke gubuk untuk menyantap makan siang kami. Ibu membawa beberapa
masakan. Aku tak tahu apa nama masakan itu, yang pasti sangat enak.
Setelah makan,
ibu memberesi sisa bekal kami dan alat-alat yang tadi ia gunakan untuk
membersihkan kebun kami. Sementara bapak, ia menyiapkan traktor untuk pulang.
Setelah traktor
siap, aku, Puput, dan ibu lantas menaiki grobak traktor itu. Bapak kembali
mengemudikannya. Baru berjalan sekitar 100 meter jauhnya, tiba-tiba bapak
menghentikan traktornya di depan kantor Proyek Hortigayo. Ia mau menemui
seseorang katanya. Aku pun mengikutinya. Bertemu dengan Mr. Steven rupanya.
Dengan lancar bapak berbicara bahasa Inggris padanya. Tentu saja aku tak tahu
artinya.
Mr. Steven
terlihat sangat tinggi sekali, ia memang bule yang berasal dari Belanda. Mr.
Steven tinggal di Takengon bersama istri dan anak-anaknya. Bapak kenal baik
dengan keluarga Mr. Steven. Bapak pernah mengajakku dan Puput ke rumahnya di daerah
kota, lalu kami diberinya pensil raksasa sebagai oleh-oleh dari Belanda katanya.
Hampir setengah meter panjang pensil itu, warnanya putih dengan penghapus yang berwarna
merah, ada tali kuning kecil di dekat penghapusnya, tapi sekarang pensil itu
entah kemana. Aku juga pernah bermain bersama anaknya yang masih bayi, kulitnya
merah dan sangat imut sekali. Hihi... aku pernah melihat baby orang bule secara langsung.
Setelah
berbicara sejenak, bapak kembali lagi keluar dan aku kembali mengikutinya.
Bapak tak lantas naik ke traktor, ia memeriksa salah satu ban gerobak.
“Kempes!” begitu
katanya.
“Terus bagaimana
Pak?” tanya ibu, ia tampak khawatir sekali.
“Naik saja
dulu!”
“Ya sudah Pak,
nanti dari Desa Kung, mama dan ade naik mobil toa saja,” ibu mencoba memberikan
solusi.
“Ya sudah, ayo
pada naik!” kami pun langsung naik.
Dengan berjalan
yang lebih lambat daripada berangkat tadi kami pun tiba di pertigaan Desa Kung.
Aku dan ibu lantas turun. Sesuai dengan perkataan ibu kami akan melanjutkan
perjalanan pulang dengan naik angkutan mobil toa. Sementara Puput ia tetap di
gerobak, ia mau menemani bapak. Paling tidak, beban di gerobak itu sudah
berkurang sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar