Minggu, 20 September 2020

Kisah 1: Proyek Hortigayo

 

Perlahan kubuka mata ini, kukucek-kucek keduanya dengan jari-jemariku yang takkutahu apakah bersih atau kotor. Kulihat ibu, Mba Puput, dan bapak sudah tak ada lagi di kamar.

“Oh, mereka sudah bangun semua”. Aku pun segera bangkit, turun dari kasur empuk ini.

“Dingin,” begitu kataku saat kedua telapak kakiku menginjak lantai ubin.

Aku lalu berjalan pelan keluar kamar. Tak kuperdulikan kasur yang masih berantakakan. Selimut yang tadi membungkusku kubiarkan saja tergeletak, seprei pun terbuka tak karuan, bantal dan guling juga dalam posisi arah yang tidak jelas ke sana kemari.

Kulihat korden kuning penutup kaca ruang tamu telah terbuka lebar. Sinar matahari menembus kaca dan menerangi ruang tamu di pagi ini. Sudah terang rupanya. Kulihat TV hitam putihku berbicara sendirian menyiarkan berita pagi, tak ada yang menontonnya. Kulantas berjalan ke belakang, menjumpai ibu di dapur.

“Ade sudah bangun rupanya. Aduh kok berantakan sekali,” katanya sambil memasak.

“Mba Puput mana Ma?” tanyaku mencari Puput, satu-satunya kakakku. Usianya 2 tahun lebih tua dariku.

“Itu di belakang sama bapak. Cuci muka dulu sana di kamar mandi! Sudah mama siapkan air hangat,” ibu sepertinya tidak tahan melihat anak bungsunya ini terlihat berantakan. Saat itu aku belum punya adik, umurku saja baru sekitar 4 tahun.

Ketika pagi hari air di sini sangat dingin sekali seperti air es rasanya sehingga sudah menjadi kebiasaan orang-orang di sini membasuh mukanya ataupun memandikan badannya dengan air hangat.

Ibu lantas membawaku ke kamar mandi yang terletak di tengah rumah kami. Ia membasuh mukaku yang kotor ini, menghilangkan bekas iler yang tadi mewarnai wajahku. Cepat sekali ia membersihkannya karena ia tahu bahwa aku kedinginan meskipun sudah menggunakan air hangat.

Kemudian ia mengelap wajahku dengan kain handuk yang kering. Aku kemudian langsung berlari ke belakang rumah. Saat membuka pintu, hanya kabut yang terlihat. Aku tak bisa melihat Puput dan bapak di luar sana.

“Dingin kok Ade keluar,” suara Om Mus mengagetkanku, ia muncul dari balik kabut yang tebal. Om Mus adalah adik bungsu bapakku yang juga tinggal bersama kami di Aceh. Ia telah siap dengan pakaian kerjanya.

“Mba Puput sama bapak mana Om?” tanyaku padanya.

“Itu di kandang ayam!” tunjuknya ke arah kandang ayam kami yang ada di halaman belakang rumah.

Segera kupakai sandal jepit bututku. Aku lantas berlari untuk menjumpai Puput dan bapak. Kulihat Puput sedang bermain bersama ayam-ayam kami dan bapak sedang memberi makan ayam-ayam dengan dedak (bekatul). Aku pun bergabung dengan Puput, melihat ayam-ayam kami yang hanya beberapa ekor saja jumlahnya.

Hari ini hari minggu sehingga Puput tidak berangkat ke sekolahnya. Bapak juga tidak berangkat mengajar.

“Ayo kalian siap-siap sana, kita kan mau ke proyek!” bapak menyuruh kami masuk ke dalam rumah untuk mempersiapkan diri berangkat ke proyek. Selain di halaman depan dan belakang rumah ini, kami juga mempunyai kebun sayuran di area Proyek Hortigayo yang terletak di Desa Kung, sebuah desa di sebelah utara desa kami. Sudah menjadi kebiasaan bapak setiap hari Minggu selalu ke kebun ini.

Kami kemudian masuk. Terlihat ibu sedang menyiapkan bekal yang hendak kami bawa nanti. Bekal-bekal itu dia tata dalam rantang plastik berwarna merah.

“Sudah selesai,” kata ibu dengan pelan setelah ia selesai menata bekal kami dan peralatan lainnya. “Ayo sekarang kalian ganti baju!” aku dan Puput pun langsung berjalan ke kamar. Ibu mengganti pakaian kami, lengkap dengan jaket tebal kami. Kami tak perlu mandi, pagi yang dingin membuat kami jarang sekali mandi.

Setelah semuanya siap kami lantas ke belakang rumah, menuju bengkel pertanian. Puput turut membantu ibu membawa bekal. Bapak telah menunggu kami di sana. Ia telah siap dengan traktor merah dan gerobak kuningnya. Traktor inilah yang akan menjadi kendaraan kami menuju Proyek. Meski letaknya di belakang komplek, tapi cukup jauh kalau kami harus berjalan kaki. Apalagi kami biasanya memutar lewat jalan depan yang lebih aman.

Perlahan traktor ini mulai berjalan meninggalkan gedung Jurusan Pertanian dan komplek kami dan mulai memasuki jalan raya yang masih sepi. Kabut tebal yang putih masih menyelimuti jalanan yang kami lalui. Jarak pandang kami pun hanya beberapa meter saja. Dingin terasa sampai ke tulang. Setiap hari keadaan di Takengon memang seperti ini, sehingga wajar kalau kota ini di juluki sebagai “Kota Dingin”. Untunglah, bapak lumayan lihai menyetir traktor ini, sehingga kabut dan dingin tak jadi masalah. Aku, Puput, dan ibu duduk di gerobak. Namanya juga traktor, sudah pasti jalannya lambat, tak secepat mobil. Tapi traktor ini juga tetap bisa melalui jalanan yang naik turun. Hanya kalah dalam kecepatan saja.

Traktor mulai memasuki area proyek. Terlihat perkebunan sayuran yang terbentang luas. Proyek Hortigayo merupakan salah satu proyek perkebunan yang ada di Kabupaten Aceh Tengah. Pemilik proyek ini adalah orang luar negeri, entahlah dari mana asalnya. Sehingga tidak heran kalau banyak orang asing di sini. Bapak juga kenal beberapa dari mereka, seringkali bapak terlihat mengobrol bersama mereka. Aku hanya tahu nama salah satu dari mereka yaitu Mr. Steven. Om Mus juga bekerja di proyek ini sejak ia lulus dari STM Pertanian, tempat bapak mengajar. Seringkali ia pulang dengan membawa sayuran dari proyek ini, termasuk membawa cabe paprika yang besar itu.

Masih pagi sekali, tapi aktivitas di proyek ini sudah terlihat ramai. Om Mus sendiri sudah berangkat sejak pagi tadi sebelum kami ke sini. Kami langsung menuju kebun bapak yang sebenarnya juga masih milik proyek ini. Hanya saja bapak diizinkan untuk mengelolanya daripada tanah itu dibiarkan menganggur. Bukanlah hal yang sulit untuk mendapatkan izin karena bapak sudah kenal baik dengan orang-orang di proyek ini.

Sebuah gubuk kecil berdiri kokoh di tengah kebun kami. Sementara bapak dan ibu membersihkan kebun, aku dan Puput akan bermain di sana. Sesekali kami juga turun dari gubuk itu untuk melihat bapak dan ibu membersihkan rumput. Kadangkala aku juga ikut mencabuti rumput yang kecil-kecil.

Bapak dengan terampil mengarahkan traktor untuk membajak tanah kebun kami. Ia tak kuat kalau harus mencangkulnya sendiri. Biasanya ada beberapa abang-abang STM yang membantunya di sini, tapi sudah beberapa minggu ini aku tak pernah melihat mereka ke sini lagi. Sementara ibu akan menggunakan cangkul dan parang untuk membersihkan rumput-rumput di sekitar tanaman yang besar. Hari ini mereka tidak menanam, melainkan membersihkan lahan bekas panen Minggu lalu dan mempersiapkan lahan untuk ditanami kembali. Bapak biasanya menanami kebun ini dengan aneka sayur-sayuran, seperti kacang panjang, wortel, cabe, dan tomat. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan sendiri ataupun dijual. Bapak memang insinyur pertanian yang dapat menerapkan ilmunya.

Saat sinar matahari mulai terasa terik, bapak dan ibu menghentikan kerjanya. Segera mereka mengajakku ke pancuran. Ibu dan bapak hanya membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di tangan dan kaki mereka saja. Sementara aku dan Puput juga mandi di pancuran ini. Segar sekali rasanya. Air pancur ini berasal dari kolam besar yang ada di Proyek Hortigayo. Kolamnya sangat besar sekali, seperti embung. Plastik hitam dipasang sebagai dasar kolam ini agar airnya tak meresap ke tanah. Terkadang aku dan Puput berlari-lari mengelilingi kolam ini. Ibu pun sering mengkhawatirkan kami kalau-kalau kami jatuh ke dalam kolam setinggi 1 meter itu.

Beberapa orang pekerja proyek juga datang ke pancuran ini, mereka membawa sekeranjang besar wortel. Mereka mencuci sayuran yang berwarna oranye itu.

“Oh ada ibu, panen ya Bu!” sapa mereka, sepertinya mereka sudah mengenal ibu karena kami memang sering ke proyek ini.

“Tidak Kak, cuma membersihkan saja, sudah panen Minggu kemaren. Sepertinya proyek ini yang baru panen?” kata ibu.

“Iya Bu, ini wortel sisa panen kemaren. Kalau mau ambil saja ini Bu!” kata mereka menawarkan kepada ibu.

Mereka lalu memberikan ibu beberapa wortel yang telah dibersihkan, dengan senang hati ibu menerimanya. Ibu lalu menggigitnya, “Krenyes... krenyes...,” enak katanya. Apalagi baru dipanen, rasanya pun manis. Aku pun penasaran, aku lalu mengambil satu wortel kecil dari tangan ibu. Aku ikut-ikutan menggigitnya seperti kelinci, “Manis!” benar juga kata ibu, rasanya memang segar. Setelah aku kuliah di Biologi, aku pun tahu bahwa wortel banyak mengandung vitamin A dan sangat baik untuk kesehatan mata dan kulit.

Setelah itu kami balik lagi ke gubuk untuk menyantap makan siang kami. Ibu membawa beberapa masakan. Aku tak tahu apa nama masakan itu, yang pasti sangat enak.

Setelah makan, ibu memberesi sisa bekal kami dan alat-alat yang tadi ia gunakan untuk membersihkan kebun kami. Sementara bapak, ia menyiapkan traktor untuk pulang.

Setelah traktor siap, aku, Puput, dan ibu lantas menaiki grobak traktor itu. Bapak kembali mengemudikannya. Baru berjalan sekitar 100 meter jauhnya, tiba-tiba bapak menghentikan traktornya di depan kantor Proyek Hortigayo. Ia mau menemui seseorang katanya. Aku pun mengikutinya. Bertemu dengan Mr. Steven rupanya. Dengan lancar bapak berbicara bahasa Inggris padanya. Tentu saja aku tak tahu artinya.

Mr. Steven terlihat sangat tinggi sekali, ia memang bule yang berasal dari Belanda. Mr. Steven tinggal di Takengon bersama istri dan anak-anaknya. Bapak kenal baik dengan keluarga Mr. Steven. Bapak pernah mengajakku dan Puput ke rumahnya di daerah kota, lalu kami diberinya pensil raksasa sebagai oleh-oleh dari Belanda katanya. Hampir setengah meter panjang pensil itu, warnanya putih dengan penghapus yang berwarna merah, ada tali kuning kecil di dekat penghapusnya, tapi sekarang pensil itu entah kemana. Aku juga pernah bermain bersama anaknya yang masih bayi, kulitnya merah dan sangat imut sekali. Hihi... aku pernah melihat baby orang bule secara langsung.

Setelah berbicara sejenak, bapak kembali lagi keluar dan aku kembali mengikutinya. Bapak tak lantas naik ke traktor, ia memeriksa salah satu ban gerobak.

“Kempes!” begitu katanya.

“Terus bagaimana Pak?” tanya ibu, ia tampak khawatir sekali.

“Naik saja dulu!”

“Ya sudah Pak, nanti dari Desa Kung, mama dan ade naik mobil toa saja,” ibu mencoba memberikan solusi.

“Ya sudah, ayo pada naik!” kami pun langsung naik.

Dengan berjalan yang lebih lambat daripada berangkat tadi kami pun tiba di pertigaan Desa Kung. Aku dan ibu lantas turun. Sesuai dengan perkataan ibu kami akan melanjutkan perjalanan pulang dengan naik angkutan mobil toa. Sementara Puput ia tetap di gerobak, ia mau menemani bapak. Paling tidak, beban di gerobak itu sudah berkurang sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar