Rabu, 02 Juni 2021

Si Kaca Mata

Tidak seperti tahun sebelum-sebelumnya. Semenjak menjadi guru kelas 6 selama 5 tahun lalu, baru kali saya ingin membuat tulisan tentang salah satu dari mereka. 

Alfa... itulah panggilan anak yang telah menginspirasi saya untuk menulis malam ini. Sosok anak berkacamata tebal sejak kecil. Saat kehadirannya di sekolah kami 6 tahun lalu menimbulkan pro dan kontra di sekolah, terutama di kalangan para guru. "Mengapa anak tersebut diterima? Siapa yang dulu menerimanya pada saat pendaftaran?" Mungkin itulah pertanyaan yang pernah muncul di kalangan kami para guru. Saat itu, kami belum mengenal pendidikan inklusif, bahkan saya sendiri mengenal istilah pendidikan inklusif baru kali ini. 

Pada awalnya, saya mengira anak tersebut adalah Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK). Namun seiring waktu, persepsi itu berubah karena melihat progres Alfa yang sungguh luar biasa. Hingga sekarang dia akan menyelesaikan pendidikannya di SD IT Al Kautsar. 

Bulan Juli Tahun 2015 adalah awal saya mengabdikan diri sebagai guru di Al Kautsar. Saya terpilih menjadi wali kelas 4. Namun, salah satu sosok siswa baru di kelas 1 cukup menarik perhatian saya, dialah Alfa. Dia sering berada di luar kelas karena tidak mau mengikuti pembelajaran dengan teman-teman lainnya. Dia sering berada di kantor dari pada di kelas. Seperti ada ketakutan baginya berada di kelas. Saat ke toilet, dia juga harus dibantu karena tidak mau membersihkan sendiri kemaluannya. Dia sering berkeliaran di luar kelas. Kata orang tuanya, dia pernah di bawa ke dokter anak dan psikolog. Hasilnya dia dikatakan anak yang cerdas, bukan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) sehingga orang tuanya berani menyekolahkannya di SD IT Al Kautsar yang beban belajarnya lebih banyak dari pada SD negeri, terutama hafalan Qur'annya. 

Saat kenaikan kelas, dia sudah mulai mandiri dan mulai terlihat perkembangan akademiknya. Dia dapat mengikuti pembelajaran seperti anak lainnya. Mampu berkomunikasi dan sangat kritis dalam bertanya, sampai-sampai terkadang gurunya bingung menjawab segudang pertanyaannya. Dari tahun ke tahun Alfa terus menunjukkan perkembangan yang baik termasuk di kelas 6. Dia mampu berteman dengan siapa saja dan dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Nilai-nilanya juga sangat bagus, termasuk 5 besar di kelas. Hafalan Qur'anya juga sangat luar biasa, sudah mencapai 5 juz, melebihi target hafalan sekolah yang hanya 3 juz. Namun, dia juga masih punya kelemahan. Kelemahannya adalah pada motorik halus, tulisan tanganya memang tidak serapi anak-anak seusianya tapi masih bisa terbaca. Dalam menggunakan gunting dan jangka dia memang kurang terampil tetapi dia terus berusaha sampai dapat membuat potongan lingkaran yang diukur dengan jangka.

Bulan Juni ini dia akan menyelesaikan pendidikannya di SD IT Al Kautsar. Selanjutnya di akan melanjutkan ke Pondok Pesantren Baitussalam Mijen Semarang. Semoga di sekolah yang baru Alfa dapat mempertahankan dan meningkatkan prestasinya. Aamiinn.... Semangat terus buat Alfa!

Rabu, 23 September 2020

Kisah 20 : Dikejar Anjing

 

Sudah jam 5 sore, Om Kholiq belum pulang juga. Sepertinya ibu ada perlu dengannya. Omku yang satu ini memang seringkali keluyuran bersama temannya abang-abang STM. Ibu pun menyuruhku untuk mencari Om Kholiq ke lapangan.

Aku belum bisa naik sepeda jadi aku berjalan kaki saja sendirian. Padahal lapangannya lumayan jauh. Aku pun berjalan melewati jalan kerikil. Aku berjalan seperti biasa meski sendirian aku tak takut. Namun, saat melewati rumah Pak Is yang berada tepat di pertigaan, bulu kudukku sedikit merinding. Bagaimana tidak, rumah Pak Is terkenal seram, bukan karena rumahnya angker ataupun ada setan, melainkan karena anjing milik Pak Is. Anjing itu selalu menggonggong setiap melihat ada orang yang lewat.

Dengan batu di tangan, pelan-pelan aku melangkah melewati rumah Pak Is. Batu ini akan kupergunakan untuk melempar anjing jika ia mengejarku. Karena biasanya kalau di lempar batu, anjing akan pergi ketakutan.

“Aman...aman...,” kataku dalam hati setelah berhasil melewati rumah Pak Is dengan aman. Tampaknya si anjing coklat itu sedang tertidur pulas.

Aku kemudian berlari menuruni jalan kerikil. Aku ingin segera menemukan Om Kholiq sebelum hari petang. Kucari-cari dia di lapangan bola dan lapangan basket tempat ia biasanya bermain dengan teman-temannya, namun tak juga aku melihatnya. Lelah aku mencarinya. Di lapangan itu juga banyak orang main bola dan membuatku takut untuk berada lama-lama di sana. Aku pun memutuskan untuk pulang saja.

Aku kembali berjalan melewati jalan yang sama dengan ketika aku berangkat tadi. Mau tidak mau aku pun harus melewati rumah Pak Is lagi. Aduh! sudah sore lagi. Anjingnya pasti sudah bangun dan siap beraksi. Bagaimana ini? Aku mencoba untuk tetap tenang saat melewatinya. Tak terlihat lagi anjing itu di emperan rumah Pak Is. “Aman...aman,” kataku pelan. Namun saat ku berbelok melewati pertigaan, terlihat anjing itu berada di sana.

“Guk... guk...,” katanya sambil menatapku. Aku pun merasa takut. Ia mendekatiku, mencoba untuk menggigitku. Aku berusaha menghindar tapi ia berhasil menyentuh celana belakangku. “Waaaaaaa,” aku pun berlari sekuat tenaga sambil menangis berteriak. Untungnya lariku lebih cepat daripada anjing itu.

Hanya beberapa langkah ia mengejar, melihat beberapa orang berdiri di dekat rumahku, ia pun langsung berbalik arah. Om Mus yang berada di depan rumahku berusaha menenangkanku. Ia malah meledekku dan membuatku tertawa.
“Ngis... ngis... ngis...gula jawa, habis nangis ketawa!” katanya.

Untunglah tak ada luka, hanya kantong celanaku saja yang sobek sedikit. Wah, celanaku terkena najis. Ibu berarti harus mencucinya dengan tanah. Hah.. zaman itu mana aku tahu hukum-hukum seperti itu. Hehe...

Bukan hanya Pak Is saja yang punya anjing, beberapa warga komplek lainnya juga memelihara hewan buas ini. Tak usah jauh-jauh, tetangga samping rumahku persis, yaitu Bang Miga, rumahnya sudah seperti peternakan anjing. Ia punya banyak anjing. Si induk anjing yang ia beri nama “bagong” seringkali beranak dan membuat rumah Bang Miga pun ramai dengan anjing-anjing. Tentu saja aku yang tetangganya seringkali merasa takut.

Di Aceh Tengah, anjing sangat banyak sekali maka tidaklah heran kalau aku menemui anjing dimana-mana. Anjing-anjing ini selain untuk menjaga rumah, mereka juga berfungsi untuk menjaga kebun kopi dari pencuri ataupun gangguan babi. Selain itu, anjing juga kerap kali digunakan untuk berburu babi oleh orang-orang Padang.

Setiap seminggu sekali, yaitu pada hari Selasa orang Padang yang bermukim di Kabupaten Aceh Tengah akan melakukan buru babi secara berkelompok. Sudah menjadi tradisi tampaknya bagi mereka. Aku sering melihat rombongan mereka. Mereka menggunakan senjata tajam dan membawa anjing untuk berburu. Komplek kami sering kali menjadi tempat berburu, terutama bagian komplek yang berbatasan dengan sungai dan gunung. Mereka tak membawa pulang bangkai babi itu melainkan meninggalkannya saja. Keesokan harinya terkadang ada orang Medan yang datang untuk mencari bangkai itu, katanya sih untuk dijual.

Karena banyak anjing, maka aku juga harus berhati-hati ketika melangkah. Seperti hewan-hewan lainnya, anjing juga tak berakal sehingga ia membuang kotorannya di sembarang tempat. Jangan sampai aku menginjak kotoran anjing yang tersebar di mana-mana, tak terkecuali di jalan yang sering kulalui. Kotoran anjing ini sudah seperti ranjau saja. Pernah sekali sepatuku ini menginjak kotoran hewan buas itu ketika sedang istirahat sekolah. Tak enak sekali rasanya, aku pun berbisik pada seorang teman yang saat itu sedang bersamaku, kubilang padanya: “Hei, aku menginjak tahi anjing. Tolonglah nanti jangan kamu bilang teman-teman jika nanti mereka mencium bau tak sedap di kelas. Malulah aku jika teman-teman tahu”. Baunya yang tidak sedap pasti akan tersebar kemana-mana. Sudah pasti aku akan dikucilkan di dalam kelas. Anak-anak pasti akan menghindariku dan tak mau mengajakku bermain. Adalah hal yang paling malas mencuci sepatuku yang terkena kotoran anjing ini, tapi tetap harus kulakukan karena aku tak punya sepatu lagi.

Pernah suatu kali aku pulang sekolah beramai-ramai bersama Puput dan teman-temannya. Seekor anjing datang dan mengejar kami. Kami pun berlari. Secara spontan tiba-tiba Kak Dwi melemparkan tasnya. Tas itu pun jatuh di tumpukan tahi anjing. “Hahaha...” kami semua tertawa terbahak-bahak, “ah Kak Dwi bau tahi anjing!” anjing juga sudah tak mengejar kami lagi. Kak Dwi pun malu bercampur kesal. Kak Dwi tetap membawa pulang tasnya itu, tentunya sambil menahan aroma yang sangat tidak enak. Ia pun berjalan di belakang. Esoknya ia tak membawa tas itu lagi.

Anjing juga kadang memakan ayam-ayamku dan milik tetangga yang lain. Aku sering melihatnya langsung, ia berlari sambil membawa seekor ayam di mulutnya. Ayam-ayam kami pun sering merasa resah karena kedatangan seekor anjing yang menyelusup melalui lubang di bawah pagar. Mereka pasti akan ribut, “petok...petok....!” begitulah suara mereka. Anjing memang hewan yang kanibal.

***

Kisah 19: Berkelahi

 

Anak-anak perempuan dan laki-laki di kelasku saling bermusuhan beberapa hari ini. Aku lupa apa penyebabnya, yang jelas siang ini kami berantem di lapangan sekolah, kami saling menendang ala silat-silatan. Aku pun turut serta dalam barisan wonder woman itu. Satu lawan satu. Ups, hanya sebentar saja dan tak sampai menumpahkan darah ataupun meneteskan air mata. Sepertinya aku ada bakat tawuran antar pelajar juga. Haha...

Untung saja kami tak sampai dipanggil ke ruang guru. Seringkali kulihat kakak-kakak kelasku harus berurusan dengan guru karena ketahuan berkelahi. Bang Iwan dan Bang Hendra, kakak adik yang sudah langganan berkelahi seringkali dipanggil ke kantor karena ketahuan berkelahi dengan teman mereka. Kalau berkelahi mereka tak tanggung-tanggung, seringkali membuat lawannya babak belur ataupun menggunakan benda tajam.

Pergaulan anak laki-laki di sana memang sangat keras sekali, acap kali kulihat anak-anak kecil ini berkelahi dengan menggunakan benda tajam. Sering juga aku melihat mereka pada menghisap rokok. Bahkan anak yang paling diam pun sudah dapat dipastikan pernah melakukannya.

Anak laki-laki ini juga sering dipanggil ke kantor karena mengusili anak perempuan. Kakak kelasku yang cantik-cantik seringkali dikurung dalam kelas oleh mereka. Tentu saja hal ini membuat kakak-kakak kelasku itu menangis histeris. Untung saja, aku tak pernah diusili oleh mereka.

Anehnya, salah satu anak laki-laki yang usil itu yang berbadan besar, justru takut dengan suntikan. Suatu hari pihak puskesmas datang ke sekolahku untuk menyuntik para anak-anak kelas 6. Satu demi satu temannya di suntik di dalam ruang kelasku, eh dia malah berlari kabur ke sawah yang ada di belakang sekolahku ini. Dia terus berlari menyusuri pematang sawah. Teman-temannya tentu saja mengejarnya agar ia tetap disuntik. Bahkan Pak Saleh, konon kabarnya juga ikut mengejar. Cemen sekali mentalnya, kalah dengan anak-anak kelas 1.

Kesadaran sekolah juga masih rendah di Takengon ini. Masih banyak anak-anak desa yang tak sekolah. Bukan karena masalah biaya tapi karena rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Mereka lebih memilih untuk bekerja di kebun kopi karena lebih menjanjikan. Setahun dua tahun berkebun kopi sudah pasti menghasilkan katanya daripada membuang-buang waktu untuk sekolah. Sekolah di Aceh ini gratis untuk tingkatan sekolah dasar, untuk sekolah menengah hanya cukup membayar beberapa ribu rupiah saja.

Setelah puas berkelahi di lapangan hijau itu kami kemudian pulang dan anehnya saat di jalan aku hanya biasa saja dengan teman-teman yang berkelahi tadi. Seperti tak ada masalah di antara kami.

Jalan raya yang sepi membuat kami menyeberang sekehendak hati, bahkan salah seorang teman kami ada yang nekat berjalan di tengahnya. Suasana jalan raya di sana memang kontras sekali dengan jalan raya di Jawa ini yang serba macet sangking sesaknya.

***

Kisah 18: Senam Pagi, Kegiatan Rutin di Sekolahku

 

Pagi ini aku kembali bangun seperti biasanya. Untuk pagi ini ibu tak perlu susah-susah membangunkanku, aku bangun sendiri. Segera kuambil wudhu untuk menunaikan sholat subuh. Kemudian aku menuju belakang rumah, kulihat Puput sedang membantu bapak memberi makan ayam-ayam kami. Aku pun turut membantu mereka. Ayam yang mencapai seratus lebih itu tentu tak mudah merawatnya, tapi orang tuaku sebisa mungkin untuk mengurusnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku, Puput, Om Mus dan Om Kholiq-lah yang membantunya. Om Kholiq adalah adik ibu dari Jawa yang ikut kami di sini sejak setahun lalu untuk melanjutkan sekolah di STM ini.

Setelah sarapan aku berangkat sekolah bersama Puput. Berjalan melewati pohon minyak kayu putih seperti biasanya. Ups... saat kami hampir sampai di pagar batas komplek, tiba-tiba seekor babi besar lewat di hadapan kami. Aku dan Puput tentu saja terkejut. Tampak Pak Ismail dan istrinya sedang berusaha mengusir babi itu dari kebun mereka. Hampir saja kami diseruduk babi itu, rasanya jantungan sekali. Untunglah tidak terjadi. Segera kami melewati pagar pembatas komplek yang ada di depan rumah Pak Ismail.

Seorang guru tampaknya sedang memukul potongan besi besar yang tergantung di depan ruang guru. Itulah lonceng kami. Suaranya menggelegar dan terdengar ke semua sudut sekolah ini. Semua siswa lantas berlarian menuju lapangan sekolah. Kami berbaris, bersiap-siap untuk senam pagi. Pak Saleh tampak menunjuk beberapa orang siswa untuk berdiri di depan kelas. Mereka adalah siswa-siswa kelas 6 yang memang sudah lihai dalam gerakan senam, mereka pun bertindak sebagai instruktur senam. Seorang yang berada di tengah akan berdiri dan menjadi penghitungnya mulai dari gerakan pemanasan sampai dengan pendinginan. Dia pasti butuh tenaga yang ekstra untuk menghitung, karena dia pasti akan merasa malu kalau suaranya habis di tengah senam.

Sekolah kami memang belum memiliki tape seperti sekolah-sekolah lain. Meski begitu, senam dengan seragam merah putih ini tetap berlangsung setiap hari setiap pagi. Selain menyehatkan, hal ini juga untuk melatih kedisplinan kami. Aku sebagai anak kelas 1 yang berbadan kecil, tentu sangat senang sekali berdiri di barisan paling depan. Namun mulai aku kelas 4 aku justru lebih suka baris di belakang bersama kakak-kakak kelas lainnya. Selesai senam kami sudah pasti akan mengambil sampah sebelum masuk ke kelas.

Kegiatan belajar mengajar pun berlangsung seperti biasa. Namun saat jam ke-2 Bu Asmiati meninggalkan kelas, ada keperluan sebentar katanya. Ia lalu menitipkan kelas kepadaku. Entahlah, atas dasar apa ia memilihku, kenapa dia tidak memilih Hafidz sang ketua kelas saja, dia kan juga anaknya, pasti lebih terpercaya. Atau karena dia tahu sifat anaknya itu dia jadi tidak percaya. Ah... aku memang suka berandai-andai. Memang pernah suatu kali Bu Asmiati menceritakan keburukan anaknya itu pada kami siswa-siswanya di saat pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, katanya hafidz itu malas dan seringkali tidak merapikan tempat tidurnya ketika bangun. Pantaslah kalau badan Hafidz itu gemuk, karena ia malas bekerja.

Kelas pun hening untuk beberapa saat, ketika Bu Asmiati meninggalkan kami. Namun, kelas kemudian ramai. Teman-teman mulai menunjukkan tingkahnya. Aku juga mulai beraksi. Kuketuk meja anak yang ribut itu, ia lalu terdiam. Teman-teman yang lain pun tak berani ribut lagi karena sudah pasti akan kulaporkan pada Bu Asmiati nanti. Alhasil, semua siswa di kelasku, baik perempuan ataupun laki-laki menjadi takut padaku karena setiap yang ribut pasti akan kucatat. Aku memang suka melapor. Haha... Oh tidak, aku hanya mencoba bertanggung jawab atas apa yang diamanahkan padaku.

***

Kisah 17: Pacuan Kuda

 

Aku dan Puput pulang sekolah lebih cepat dari biasanya karena sekolah kami dibubarkan. Kami juga tak berangkat mengaji karena libur. Kami langsung berganti pakaian karena kami hendak ke lapangan Musara Alun untuk melihat pacuan kuda. Di daerah Gayo, pacuan kuda sudah menjadi tradisi turun-temurun yang diadakan setiap bulan Agustus.

Kami pergi bersama Kak Lucky dan ayahnya. Sementara ibu dan bapak telah berada di sana bersama Bu Endang, ibu Kak Lucky. Orang tua kami berjualan bakso dan miso bersama di acara pacuan kuda itu selama berlangsungnya acara yaitu selama 1 minggu lamanya. Jadi setiap hari selama seminggu ini aku selalu ke sana setiap habis sekolah.

Perpaduan masakan Jawa dan Medan, begitulah bakso dan miso yang orang tua kami jual. Ibuku berasal dari Jawa dan ibu Kak Lucky berasal dari Medan.  Sepertinya asal daerah tidak mempengaruhi cita rasa makanan itu yang dapat ditemui dimana-mana di seluruh daerah yang ada di Indonesia, toh rasanya di semua tempat sama saja.

Kami baru melewati Uning dan tiba-tiba turun hujan. Ayah Kak Lucky lalu menepi dan menghentikan sepeda motornya pada sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan, rumah papan yang kecil dan sangat sederhana. Kami tak bawa jas hujan sehingga kami harus berteduh di rumah yang tak kami kenal pemiliknya itu, Kami berdiri di depan rumah itu, aku terus mengamati tetes-tetes air yang turun lalu membasahi tanah dan tanaman, dingin pun terasa, apalagi aku juga tak bawa jaket. Untunglah tak lama hujan ini turun dan kami melanjutkan perjalanan kembali.

Musara Alun berada di Desa Blang Kolak di daerah kota, berjarak sekitar 7 km dari komplek kami. Musara alun adalah lapangan yang sangat luas. Lintasan sepanjang kurang lebih 1,5 km di pinggirnya digunakan untuk pacuan kuda, sementara lapangan tengahnya dimanfaatkan untuk berjualan makanan, baling-baling, dan para penonton pacu kuda. Ramainya melebihi pasar malam yang sering kutemui di Jawa. Para penonton dapat melihat pacuan kuda ini dari dalam lapangan ataupun dari luarnya. Meski sudah ramai, di tengah musara ini juga masih ada tempat untuk pertandingan sepak bola. Pacuan kuda ini benar-benar pesta rakyatnya orang Gayo. Semua orang Gayo dari berbagai daerah datang kemari. Bahkan turis asing juga tak mau ketinggalan.

Sementara orang tua kami berjualan bakso dan miso, kami akan bermain di lapangan ini. Kami bisa menonton pacuan kuda sepuasnya, naik baling-baling, ataupun menonton pertandingan bola yang kerap kali diadakan di tengah lapangan ini.

Menonton pacuan kuda adalah hal yang menyenangkan. Rasanya tegang sekali. Kami memilih nonton di dekat garis start. Sebuah pagar kayu membatasi kami dengan lintasan pacu kuda. Hal ini dilakukan agar kuda tetap berlari di jalur lintasan. Kulihat para joki telah berbaris di garis start. Mereka masih terlihat muda-muda, bahkan ada beberapa orang dari mereka yang masih anak-anak.  Mereka juga tak mengenakan pengaman seperti joki-joki profesional yang sering kulihat di TV.

Tidak ada aturan pasti dalam perlombaan pacu kuda, baik tentang  atribut maupun usian seorang joki. Para joki umumnya berkaki telanjang dan berpakaian bebas. Begitu juga dari segi keamanan dan keselamatan para joki, mereka tidak menggunakan alat pengaman tubuh, pagar, dan tali yang benar-benar memenuhi standar keamanan. Seringkali terjadi kecelakaan dalam ajang ini. Tak jarang ada joki yang jatuh dan terinjak-injak kuda. Tidak menutup kemungkinan mereka pun akan meninggal. Sedikit ngeri memang.

Kulihat juga seseorang berdiri di garis start. Ia adalah seorang juri pembantu. Mula-mula ia memberi aba-aba dengan mengangkat "bendera start" warna putih sebagai isyarat pertarungan segera berlangsung. Kuda-kuda pun tampak mencuri start. Saat bendera putih kembali dikibarkan, para joki segera menarik tari kekang kudanya agar berlari dengan cepat. Para joki akan terus memecut kudanya dengan cambuk yang mereka bawa agar kuda-kuda itu terus berlari dengan cepat.

Seru sekali saat kuda-kuda sudah mulai berlari. Mereka terlihat sangat lincah sekali meskipun mereka bukan kuda balap sungguhan. Umumnya kuda-kuda ini adalah kuda yang digunakan untuk membajak sawah sehari-harinya. Saat mereka bertanding, tiga orang juri akan duduk di atas sebuah menara bertingkat yang jaraknya kira-kira 100-200 m dari garis start.

Aku berharap jagoanku akan menang. Aku terus mengamatinya sampai kuda-kuda itu tiba digaris finish. Yach.. kalah, saat kuda favoritku tiba belakangan.

Tak enak rasanya berdiri di pinggir lintasan pacu kuda. Berdebu dan panas, itulah yang aku rasakan.

“Balik yuk ke warung,” ajak Puput kepadaku dan Kak Lucky.

“Iya betul, panas rasanya,” kataku menambahkan.

“Kita naik baling-baling aja yuk,” ajak Kak Lucky. Sepertinya ajakannya cukup menarik. Kami pun lantas berjalan menuju baling-baling langganan kami. Kami lalu melewati tanah lapang yang luas dan menyelusup di tengah ramainya pengunjung.

“Eh.. eh... ada Utih Geter,” kata Puput dengan pelan saat kami sedang melangkah.

“Mana-mana?” tanyaku dan Kak Lucky penasaran.

“Itu!” tunjuk Puput pada salah seorang yang berdiri sekitar 10 meter dari kami. Utih Geter tampak berdiri sendirian sambil bicara sendiri pula, entah apa yang dia maki-maki.

“Lariiii.....!” ajak Kak Lucky. Kami pun kembali menyelusup di tengah ramainya pengunjung pacuan kuda.

Utih Geter adalah orang gila yang terkenal di Takengon. Rambutnya pendek seperti cowok dan sudah berumur. Kami seringkali menjumpainya di daerah kota. Utih Geter seringkali menakut-nakuti orang-orang yang dijumpainya dengan mengejar ataupun mengucapkan kata-kata yang kasar. Sebaliknya, banyak orang juga yang mengolok-oloknya untuk memancing tingkahnya. Paling lucu adalah ketika ia berjalan di dekat lapangan Musara Alun ini dengan mengenakan gaun pesta berwarna putih ala baju ulang tahun anak-anak sambil berpayungan. Lucu sekali kelihatannya, dia seperti bidadari yang turun dari negeri acak kadut antah berantah di siang bolong. Aku jadi teringat akan atraksi topeng monyet yang pernah kutonton, “Si Minah mau ke pasar, teng... teng... teng... teng... si Minah pun jalan berlenggok-lenggok sambil membawa payung,” hahaha....

Kami terus mengikuti Kak Lucky sampai kami tiba di baling-baling dengan sedikit ngos-ngosan. Baling-baling di depan warung bakso dan miso orang tua kami memang sudah menjadi langganan kami sejak acara pacuan kuda ini dibuka beberapa hari lalu. Kami tak perlu membayar seperti orang-orang lainnya, tetapi kami dapat naik sepuas kami setiap saat. Sang pemilk yang berwajah seperti orang India itu telah menjadi teman kami selama pacuan kuda ini berlangsung. Bahkan, kami saling memberi kenang-kenangan di hari terakhir pacuan kuda.

***

Kisah 16: Agustusan

 

Pulang sekolah ini aku kembali melewati jalan depan. Namun saat melewati gerbang komplek siang ini terlihat ada pemandangan yang berbeda. Umbul-umbul berwarna-warni telah dipasang sepanjang gerbang komplek. Pintu gerbang juga lebih indah dari biasanya. Ada sebuah gapura besar di sana. Gapura warna merah putih yang dipenuhi dengan hiasan warna merah putih pula. Aku baca tulisan yang terpampang di sana: “HUT RI ke-50,” ada apa sih ini, pikirku dalam hati.

“Oh iya mau Agustus-an,” kata Febry. “Nanti aku mau pake baju adat,” katanya lagi. Aku pun tak sabar untuk segera sampai ke rumah dan menanyakan ini pada ibu.

Pemandangan yang berbeda juga kutemui sepanjang perjalanan pulang. Bangunan-bangunan STM juga ramai dihiasi bendera merah putih, umbul-umbul, dan lampu warna-warni. Rumah Pak Sutar dan Pak Is yang berdiri sendiri juga tak kalah ramai dengan atribut khas Agustusan. Blok rumahku juga tak kalah ramai. Setiap rumah juga sudah memasang umbul-umbul dan lampu berwarna-warni, termasuk rumahku. Bu Aswin telah menjahitkan umbul-umbul itu beberapa waktu lalu. Padahal, rumah kami jauh sekali dari jalan raya, siapa juga yang mau melihat, tak akan ada bupati ataupun pak camat yang akan memeriksa lingkungan rumah kami ini. Tapi aku suka karena lingkungan rumah yang hanya 10 ini pun jadi terlihat lebih hidup.

“Ma, di gerbang kok ada gapura warna-warni? Terus tulisannya HUT RI ke-50,” tanyaku pada mama.

“Oh iya, tanggal 17 Agustus kan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-50 sehingga disingkat HUT RI. Nanti hari kamis kan upacara di lapangan STM.”

“Oh, berarti Indonesia itu merdeka tanggal 17 Agustus ya Ma?” tanyaku lagi.

“Iya, benar,” jawab ibuku lagi.

“Ma, kata Febry dia nanti mau pakai baju adat pas upacara. Terus ade gimana?” tanyaku lagi, aku kan juga ingin seperti Febry.

“Iya nanti,” ibuku sepertinya kesal karena aku bertanya terus padanya. Padahal aku tahu, ibuku itu belum menyiapkan baju adat apapun untukku, meski upacara Agustus tinggal 4 hari lagi.

***

Kamis pagi tanggal 17 Agustus 1995, aku dan Puput sudah berdiri di lapangan. Lapangan STM hari ini ramai sekali, berbagai siswa-siswi dari SD hingga SMA se-Kecamatan Pegasing datang ke komplek kami untuk mengikuti upacara bendera memperingati hari Kemerdekaan RI Tanggal 17 Agustus. Tampak juga para ibu-ibu dan bapak-bapak berpakaian coklat-coklat dan hijau belang-belang, mereka adalah para polisi dan tentara. Pasukan 08 juga sudah siap berdiri dengan pakaian yang serba putih dengan sebuah bendera di tangan salah seorang anggotanya.

Sudah tradisi dari tahun ke tahun kalau lapangan komplek STM ini digunakan untuk upacara 17 Agustus. Lapangan STM merupakan lapangan terbesar se-Kecamatan Pegasing. Bagaimana tidak, lapangannya saja ada dua yang bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh parit kecil.

Aku dan Puput bergabung dengan barisan anak-anak yang mengenakan baju adat. Kami adalah anak-anak guru SMK N 1 Pegasing. Pagi ini aku mengenakan pakaian adat Aceh. Cukup sederhana baju Aceh ini: celana panjang hitam, baju lengan panjang warna putih, songket warna merah setengah lutut yang dipasang di pinggang, serta kain songket merah juga yang dipasang menyilang di dada. Aku jadi terlihat seperti anak Aceh. Padahal aku kan orang Jawa. Hehe.... Temanku yang lain ada yang memakai karawang Gayo dan baju ala melayu, seperti Bang Miga, bahkan lengkap dengan pedang kayunya.

***

Agustus-an pasti identik dengan lomba-lomba, di bagian manapun negara Indonesia ini pasti juga sama. Begitu juga dengan komplek tempat tinggalku. Siang ini aku kembali ke lapangan STM, tentunya aku sudah tidak mengenakan pakaian adat lagi, melainkan kaos dan celana pendek. Aku sudah siap untuk mengikuti berbagai perlombaan untuk memeriahkan peringatan hari kemerdekaan RI yang jatuh pada hari ini.

Ibu mendaftarkanku dan Puput untuk mengikuti beberapa perlombaan, seperti lomba kelereng, makan kerupuk, balap karung, giring balon, dan ambil batu.

Sekarang aku telah berbaris di garis strart. Lomba pertama yang kuikuti adalah lomba ambil batu. Dalam lomba ini aku harus mengambil batu yang ada di sisi lain untuk di pindah ke garis start. Untuk dapat memenangkan lomba ini aku harus mempunyai tenaga esktra yaitu berlari secepat mungkin kalau perlu secepat kilat.

“Prittt........!” peluit dibunyikan.

Aku pun berlari meninggalkan garis start dengan mengerahkan segala daya dan tenaga yang kupunya. Kuambil satu per satu batu di seberang sana. Dengan cepat aku berlari bolak-balik tapi tetap saja aku kalah karena beberapa anak larinya lebih cepat dariku. Wajar saja mereka menang, mereka kan lebih besar, pasti langkah kakinya juga lebih lebar dan cepat. Ah.... aku kalah. Ibu berusaha menghiburku dan memberiku semangat untuk mengikuti lomba selanjutnya yaitu lomba bawa kelereng. Kelereng yang biasanya aku mainkan untuk main  cuk-cuk garis ataupun pangkah bisa juga ya buat lomba Agustus-an.

Setelah beristirahat beberapa saat, aku kembali berdiri di garis start. Sebuah sendok aluminium yang berisi kelereng telah kugigit dengan gigi-gigiku yang kuat.

“Prittt........!” peluit kembali dibunyikan.

Aku segera berjalan dengan perlahan membawa kelereng itu. Aku terus berjalan dengan pelan meskipun beberapa anak telah mendahuluiku. Mereka berjalan lebih cepat, tapi tak lama kemudian kelereng mereka terjatuh dan mereka pun berhenti dari lomba. Hanya tinggal dua anak saja yang bertahan. Aku terus membawanya dengan pelan dan berhasil sampai ke garis finish. “Aha... aku menang”. Meski menang ataupun kalah dalam perlombaan yang kuikuti, aku tetap berteman dengan lawan-lawanku tadi. Bagiku menang atau kalah itu tak masalah. Aku harus bisa sportif dalam perlombaan yang kuikuti. Satu hal lagi, jangan tergesa-gesa dalam perlombaan, tenang adalah salah satu kunci suksesnya, seperti salah satu semboyan orang Jawa “Alon-alon asal klakon”.

***

Kisah 15: Cerdas Cermat di Malam Hari

 

Sekitar pukul 18.45 WIB terdengar adzan maghrib berkumandang dari Mushallah Al-Furqaan, suara Om Kholiq tampaknya. Segera aku bergegas ke mushallah bersama Puput dan Miga. Bapak juga mengikuti kami dari belakang. Kami telah berwudhu dari rumah agar tak perlu repot-repot pergi ke kamar mandi yang menyeramkan itu. Sesampai di mushallah kami pun langsung berbaris, siap-siap untuk menunaikan sholat berjamaah. Hanya segelintir orang saja yang ikut sholah berjamaah, bahkan kalau dihitung dengan jari tentu saja masih ada jari yang sisa. Jamaah putra biasanya hanya 4 orang saja: Bang Miga, Om Mus, Om Kholiq, dan abang-abang STM, sedangkan jamaah putri hanya aku dan Puput saja. Ibuku sholat di rumah saja, karena ia tak ingin rumah kami sepi di waktu maghrib. Belakangan aku pun tahu kalau seorang istri itu lebih memang lebih baik sholat di rumah.

Selepas menunaikan sholat maghrib kami lalu pulang ke rumah, bersama bapak tentunya karena kami tak berani melewati jalan berumput yang gelap itu sendirian. Sangat gelap memang dan kami juga takut ada babi yang lewat. Saat malam mulai tiba, babi pun mulai bereaksi turun ke pemukiman. Sudah pasti ia akan meninggalkan jejaknya di pagi hari, yaitu perkebunan warga yang rusak, apalagi yang sudah siap panen. Orang tua Bang Miga dan Kak Lucky bahkan memasang kabel listrik di malam hari yang dapat menyetrum babi-babi yang mencoba menembus batas kebun mereka.

Sesampai di rumah, aku dan Puput lantas membuka Al-Qur’an untuk mengaji barang beberapa ayat saja, bapak langsung yang akan menyimak kami. Kemudian kami pun makan bersama di bebalen yang terletak di dekat dapur itu. Menu makan kami pun sangat sederhana, tapi cukup mengenyangkan perut. Makan bersama memang terasa nikmat.

Selepas menunaikan sholat isya, kami pun akan berkumpul di ruang keluarga yang juga ruang tamu dan ruang nonton TV kami. Bahkan ibuku juga menyetrika di ruangan ini. Seperti malam-malam biasanya, malam ini bapak juga memberi kami permainan cerdas cermat. Bapak akan melombakan aku dan Puput untuk menjawab berbagai pertanyaan seputar pengetahuan umum. Aku dan Puput sudah pasti berlomba-lomba untuk menjadi juaranya.

Jika tidak cerdas cermat, bapak pun akan memberikan kami tebak-tebakan atau teka-teki, aku juga suka bermain teka-teki ini bersama teman-temanku. Teka-teki andalan kami adalah “Ular mati bisa merokok, apakah itu?” sudah pasti jawabannya: “obat nyamuk,” atau “bapaknya merokok, ibunya menjahit, dan anaknya menangis, apakah itu?” jawabannya adalah: “kereta api,” haha... permainan yang sudah tak pernah kudengar lagi di kalangan anak-anak zaman sekarang.

Sekitar pukul 9 malam, kami pun mulai meninggalkan ruang serba guna itu. Tak lupa sebelum tidur aku mencuci kedua kaki dan tanganku, serta pipis dulu biar tidak mengompol. Haha... padahal sejak umur 3 tahun aku sudah tak pernah ngompol lagi. Haha...

Aku tak tidur bersama orang tuaku lagi, melainkan dikamar sebelah bersama Puput. Ranjang kami merupakan tempat tidur tingkat. Kali ini aku tidur di atas dan Puput di bawah. Lampu kamar sengaja dinyalakan karena kami tak berani tidur dalam gelap-gelapan. Terkadang aku merasa sesak nafas ketika mati lampu terjadi. Tak lupa sebelum memejamkan mata aku berdo’a terlebih dahulu.

***