Rabu, 23 September 2020

Kisah 12: Senin Pagi dan Jualan Jajan

 

“Kukuruyuk..... kukuruyuk....!” suara ayam berkokok membangunkanku. Mereka saling sahut-menyahut satu sama lain untuk menyambut datangnya mentari pagi, sang penerang bumi.

Oh, sudah pagi rupanya. “Brrrr... dingin sekali rasanya,” gumamku seorang diri dan membuatku malas untuk beranjak dari kasur. “Ayolah De bangun sudah jam 6 ini. Kamu harus sholat subuh dan berangkat ke sekolah,” suara ibu membangunkanku, “mba Puput juga sudah bangun itu.”

Di Takengon Aceh Tengah, bagian barat dari negara ini tentu saja matahari lebih lambat terbitnya dari provinsi manapun yang ada di Indonesia. Untuk daerah Indonesia bagian timur, jam 6 mungkin sudah sangat terang sekali, untuk Pulau Jawa matahari tentunya sudah keluar menunjukkan kegagahannya. Di Aceh, ya jam 6 pagi masih gelap gulita, adzan subuh juga baru berkumandang. Ya ketika aku pindah di Jawa, beberapa hari aku sempat jet lag dengan perbedaan waktu ini.

Segera kubangkit sambil mengucek-ucek mata yang baru terbuka separuh ini, aku tak mau kalah dengan kakakku yang hanya 2 tahun lebih tua dariku. Rasa dingin membuatku ingin berlama-lama di kasur, dalam bungkusan selimut tebal rasanya memang hangat sekali. Segera kulawan rasa malas ini. Setan memang sedang menggangguku di saat subuh seperti ini. Merayu manusia agar terus tidur dan meninggalkan sholat subuh, apalagi dingin dipagi hari memang selalu terasa sampai ke tulang.

Tercium aroma kopi dari dapur yang mengalir terbawa udara pagi melalui sela-sela lubang ventilasi kamarku, sepertinya bapak sedang menyeruput kopi di bebalen. Aroma kopi memang sangat khas sekali tercium di hidung dan menggodaku untuk keluar kamar.

Kuberjalan menuju kamar mandi yang hanya beberapa langkah saja dari pintu kamarku. Kamar mandi kecil yang ada di tengah-tengah rumah kami. Hanya untuk mandi dan keperluan malam hari saja kamar mandi ini kami gunakan. Adapun untuk mencuci dan keperluan siang hari lebih sering kami lakukan di belakang rumah. Kekeringan berkepanjangan di komplek kami membuat air tak dapat mengalir ke dalam rumah. Hanya sedikit air yang keluar dari keran di belakang rumah kami. Berbeda dengan tetangga kami Bang Miga yang mempunyai sumur sebagai sumber airnya.

Perlahan kubasuh anggota tubuhku dengan air yang sedikit pula. Walau sedikit, diri ini rasanya tak tahan menahan dinginnya yang seperti es. Berada di dalam kamar mandi sama halnya berada di kulkas.

***

Dengan tas ransel dan sekantong plastik jajan aku berangkat ke sekolah dengan Puput. Aku sudah kelas 1 sekarang. Sudah jadi rahasia umum kalau aku ini penjual jajan di sekolahan. Bukan karena orang tuaku tak mampu tapi aku sendiri yang menginginkannya. Aku tak malu berjualan sambil bersekolah, justru aku malah senang melakoninya. Di saat teman-teman lain menggunakan uang pemberian orang tuanya untuk menabung, Alhamdulillah aku bisa menabung dengan uangku sendiri, hasil dari jerih payahku berjualan di sekolah. Tak tanggung-tanggung, minimal dua ribu rupiah aku memperoleh untung setiap harinya dan alhasil jumlah tabunganku setiap tahun mencapai ratusan ribu dan cukup untuk membayar ongkos bus patas bolak-balik ke Jawa. Tabunganku juga lumayan keren, saat kelas 1 sekolah dasar aku sudah membuka rekening di kantor pos dekat sekolahku. Hampir setiap seminggu sekali aku rutin mengunjungi kantor pos itu dengan buku tabungan yang berwarna kuning di tanganku, di dalamnya sudah kuselipkan beberapa lembar uang ribuan dan lima ribuan.

Tak selalu aku ini beruntung dalam berjualan, aku pernah juga mengalami kemalangan. Beberapa kali duitku hilang beberapa ribu dan tak pernah ketahuan siapa pencurinya. Aku biarkan saja, tak baik juga aku menuduh, tapi aku tak kapok berjualan. Meski aku berjualan, aku tetap berhubungan baik dengan para penjual jajan lainnya yang umumnya adalah ibu-ibu. Kadang kala aku juga membeli jajan mereka, tentunya yang tak ada dalam daftar jajan yang kujual.

Barang daganganku ini kuperoleh dari ibuku. Kami juga membuka warung di rumah, warung kelontong kecil-kecilan. Seminggu sekali dia akan ke kota untuk berbelanja memenuhi kebutuhan warung kami dan barang daganganku. Biasanya dia selalu berangkat dengan membawa dua tumpuk telur di tangan kanan dan kirinya kemudian dia pulang dengan membawa barang dagangan. Jika dia lelah dari kota, dia akan menitipkan barang dagangannya itu di Kedai Aceh yang ada di depan komplek. Maklumlah, jarak rumah kami dari jalan raya cukup jauh, sekitar 400 meter. Kasihan ibu kalau harus menenteng barang dengan tangannya di saat capek dan harus berjalan kaki pula. Malamnya bapak dan aku akan mengambilnya dengan menggunakan grek (gerobak kecil) agar lebih ringan membawanya melewati bangunan dan jalanan komplek yang sepi.

Berjualan tentu saja tak mengganggu aktivitasku di sekolah. Buktinya, aku selalu bisa menjadi nomor satu di kelas. Nilai raporku selalu di atas rata-rata kelas, bahkan dengan yang rangking 2 nilaiku jauh sekali di atasnya. Kata orang-orang kemampuanku ini setara dengan anak satu tingkat di atasku.

Orang komplek sudah seperti orang kota saja di lingkungan tempat tinggalku karena gaya hidup kami memang agak sedikit berbeda dengan masyarakat sekitar. Bahasa yang kami gunakan sehari-hari pun adalah bahasa Indonesia, berbeda dengan masyarakat sekitar yang umumnya menggunakan bahasa Gayo sebagai bahasa ibu mereka. Kami menyebut orang-orang di luar komplek kami sebagai orang kampung. Itu hanya sebutan saja, namun orang-orang komplekku ini tetap bergaul dengan masyarakat sekitar. Meski aku orang komplek, tapi aku tak malu berjualan di sekolah.

Sudah biasa aku dan kakakku berangkat pukul 06.30 pagi. Kicauan burung mengiringi langkah kami pagi ini. Kabut tebal juga masih menyelimuti komplek kami, jarak pandang kami tak lebih dari 20 meter saja. Dengan menggunakan baju seragam putih lengan panjang berlapis jaket tebal kami meninggalkan rumah. Berjalan kaki di pagi hari sudah jadi kebiasaan kami ketika berangkat sekolah. Jalan yang kami lalui cukup jauh. Kami harus melalui bangunan-bangunan Jurusan Pertanian yang dikelilingi oleh pohon kayu putih. Di ujung jalan jurusan ini kami pun akan berhenti sejenak di bawah pohon kemiri untuk mencari buah yang jatuh disekitarnya. Tak sungkan kami mengorek-ngorek di tengah rerumputan yang masih basah oleh uap air dan embun pagi demi menemukan buah kemiri. Buah berwarna coklat itu tak lantas kami bawa ke sekolah melainkan kami sembunyikan di tempat yang sekiranya tak diketahui orang lain. Cukup lumayan pagi ini, kami berhasil menemukan lebih dari lima butir buah kemiri. Dalam bungkusan plastik kecil kami pun menyembunyikannya di balik rerumputan hijau. Mencari buah kemiri sudah menjadi kebiasaan bagi kami anak-anak komplek, siapa yang cepat dia pula yang dapat. Pulang sekolah kami pun akan kembali ke pohon itu dan berebutan mencari bersama teman-teman kami yang lain. Aku tentu saja akan menambahkan buah yang baru kudapat dengan buah yang kukumpulkan pagi tadi.

Buah kemiri memang bermanfaat bagi kami sebagai pelengkap bumbu masakan. Jarang sekali kami membeli buah kemiri, kami cukup mencarinya di pohon kemiri yang ada di komplek ini. Buah itu kemudian kami hilangkan daging buahnya hingga tersisa bijinya saja yang berwarna hitam. Biji-biji itu lalu kami jemur sampai benar-benar kering. Setelah itu barulah kami pecahkan pelan-pelan dengan cara membungkusnya dalam sapu tangan. Hal ini kami lakukan agar biji putih yang dihasilkannya itu tak lari kemana-mana. Beginilah cara kami memperoleh kemiri. Kami jarang sekali membeli rempah-rempah. Kayu manis bisa kami peroleh dengan mengambil sedikit kulit kayu dari pohon kayu manis yang ada di dekat laboratorium komplek kami. Lengkuas, sereh, kunyit, dan jahe kami peroleh dari kebun kami sendiri ataupun minta ke tetangga.

Di Jurusan Pertanian ini juga ada pohon coklat. Seringkali ketika berbuah kami mengambil buah coklat ini secara beramai-ramai. Kemudian kami membelahnya dengan cara memukulkannya pada tembok beton. Kami lalu memakannya beramai-ramai pula. Kadang kala kami juga mengambil buah markisah yang tumbuh menaungi pembibitan kopi di sini. Kami hanya berani melakukan aksi kami ini di saat Jurusan Pertanian ini dalam kondisi sunyi senyap karena jika ketahuan kami pasti akan dimarahi.

Tak jarang perjalanan kami ke sekolah sedikit terganggu, makhluk berbadan coklat besar dengan moncong merah sesekali lewat dihadapan kami. Besarnya bisa sampai sebesar drum kecil. Babi memang sering kali turun ke pemukiman warga dan merusak pertanian warga, tak terkecuali di komplek kami. Seringkali aku merasa takut kalau babi itu akan mengejar kami. “Berlarilah secara zig-zag jika kamu di kejar babi,” begitulah bapak sering mengajarkan kami untuk waspada ketika babi mengejar. Tetapi untung saja, sampai aku pindah aku belum pernah di kejar hewan buas itu meskipun aku sering melihatnya.

Perjalanan kami terhenti sejenak tatkala sampai di perbatasan komplek. Pagar tembok permanen setinggi 1,5 meter dengan kawat besi di atasnya setinggi 1 meter telah menghadang kami. Lompat pagar, itulah kebiasaan kami setiap pagi saat berangkat sekolah demi memotong jalan. Tembok yang tinggi itu tentu cukup susah untuk dilalui. Untunglah dua buah batu besar sudah ditata disana dan beberapa kawat besi juga sudah dihilangkan sehingga kami pun bisa melaluinya tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Kalau kami lewat jalan depan tentunya kami harus memutar dan akan membutuhkan waktu yang lebih lama.

Masih cukup pagi memang ketika kami berangkat sekolah, matahari saja baru terbit, jadi wajar kalau terkadang masih ada babi yang lewat. Tak jarang ketika kami sampai di sekolah pintu pun masih tertutup rapat dan kami harus rela duduk di depan kelas menunggu sang juru kunci datang. Entahlah, berangkat siang sedikit saja rasanya tak enak. Kebiasaan berangkat cepat pun jadi kebiasaanku sampai aku besar. Aku pasti menjadi yang nomor 1 sampai di kelas. Rieke yang rumahnya di dalam komplek sekolah bahkan juga kalah denganku. Ia malah lebih sering berangkat agak siang.

Sekitar pukul 7 pagi kelas mulai ramai, satu demi satu teman-temanku mulai berdatangan. Teman sebangku ku pun telah datang, Ranti namanya, lengkapnya Ranti Mauliya, anak Kampung Bongkol, keturunan asli suku Gayo. Kami memang memiliki nama panggilan yang sama, sama-sama Ranti. Sehingga tidak jarang kami sering keliru ketika orang memanggil kami.

Lonceng berbunyi sekitar pukul setengah delapan pagi, semua siswa berlarian ke lapangan sekolah. Para siswa SDN Wih Nareh pun berbaris dengan rapi untuk upacara bendera senin ini. Aku sangat suka sekali berdiri di barisan paling depan karena aku bisa melihat dengan jelas pelaksanaan upacara bendera ini. Semua siswa tampak berdiri dengan tegap mengenakan seragam putih-merah mereka.

Diam-diam aku menaruh perhatian pada kakak-kakak kelas 5 dan 6 yang berdiri menjadi petugas upacara bendera. “Aku ingin seperti mereka,” gumamku dalam hati. “Aku ingin bisa menjadi pembawa acara, pembaca undang-undang, pembaca do’a, pembawa bendera, pemimpin lagu, pemimpin barisan, ajudan pembina upacara, dan pemimpin upacara,” aku berandai-andai dalam hati dan semua terbukti bisa kucapai saat aku besar, termasuk menjadi pemimpin upacara dan berdiri di barisan guru-gurunya.

Upacara berjalan dengan hikmat. Setiap senin memang selalu diadakan upacara bendera di sekolahku. Berbeda dengan sekolah dasarku di Jawa, tempat aku pindah sekolah, bisa dihitung dengan jari berapa kali aku upacara selama 1,5 tahun aku bersekolah di sana.

“Upacara selesai pasukan dibubarkan,” sang pembina upacara memberi mandat kepada pemimpin upacara. Itu berarti upacara telah selesai.

Kami tak lantas menuju ruang kelas kami, melainkan mengambili sampah yang berserakan di halaman sekolah. Setiap siswa wajib mengambil sebuah sampah plastik ataupun bekas bungkus makanan dengan tangannya lalu membawanya menuju lubang sampah yang ada dipinggir lapangan. Kami akan berlomba-lomba untuk sampai ke lubang sampah secepatnya karena setelah itu kami bisa berdiri di barisan paling depan sebelum masuk ke kelas.

Sudah jadi kebiasaan kami untuk berdiri rapi di depan kelas membentuk dua barisan membujur ke belakang. Sang ketua kelas Hafidz namanya akan memilih barisan yang rapi untuk masuk ke dalam kelas lebih dahulu. Suatu kebanggaan bagi kami yang barisannya rapi untuk dapat masuk ke kelas lebih dahulu.

Saat Bu Asmiati sang wali kelas kami datang, sang ketua kelas yang kebetulan juga adalah anaknya akan menyiapkan kami semua. “Berdiri,” kami semua pun akan segera berdiri. “Beri hormat!” dengan serentak kami pun mengucapkan salam sembari hormat, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,” dengan suara yang cukup keras, menggemparkan seisi kelas. Setelah beliau sang guru menjawab barulah kami duduk kembali.

Hari ini pelajaran Bahasa Indonesia. Masing-masing dari kami diajar menulis dan membaca olehnya. Dengan sangat rapi beliau menuliskan beberapa kata di papan tulis bercat hitam itu dengan menggunakan kapur. Kemudian beliau membacanya dengan cukup nyaring sambil menunjuk tulisan itu dengan penggaris kayu yang panjang, kami para siswa pun menirukannya. Selanjutnya kami akan menulis sampai halaman buku kami penuh dengan tulisan yang isinya sama itu dari baris pertama sampai baris yang paling bawah. Setelah selesai kami akan menumpuknya. Setelah itu Bu Asmiati akan berkeliling kelas, membimbing kami satu-satu untuk belajar membaca. Beruntung aku sudah lancar membaca sehingga hari ini bu guru tak perlu repot-repot mengajariku lagi. Tulisanku juga cukup rapi dibandingkan teman-temanku yang lain.

“Teng... teng...,” terdengar suara lonceng yang berasal dari kantor yang persis berada di samping kelasku.

“Horeee.....!” teriak kami.

Waktu istirahat tiba. Saatnya aku beraksi. Dalam sekejap, sejumlah anak telah mendatangiku untuk membeli jajan kesukaan mereka, ada jajan medan jaya yang berwarna-warni, ole-ole, kerupuk pinokio, bombon (permen), gulali, dan lain-lain. Tak perlu repot-repot aku berteriak “Jajan.. jajan...,” seperti suara seorang penjual makanan keliling. Toh mereka akan mendatangiku dengan sendirinya. Entahlah, punya daya pikat apa aku ini. Haha.... Tak hanya teman-teman anak kelas satu saja yang membeli daganganku, kakak kelas dan guru-guru juga ada yang membelinya untuk anak kecil mereka yang kerap kali dibawa serta dalam mengajar. Sudah biasa, waktu istirahatku ini adalah waktu untuk berjualan. Sementara anak-anak yang lain bermain di lapangan hijau sekolah kami, bersenda-gurau dengan teman-temannya, aku malah asyik melayani pembeli. Aku tak pernah malu melakoninya, justru aku menikmatinya. Sekali langkah, satu dua pulau terlampaui. Sembari aku sekolah aku juga berjualan. Hehe....

“Teng... teng...,” lonceng di pukul kembali. Semua anak bergegas masuk ke kelas karena kami tak ingin di dahului sang guru kami. Bu Asmiati kembali masuk. Mengajarkan kami berhitung. Aku pun mengeluarkan seikat batang sange yang kupunya. Aku memang belum secanggih beberapa temanku yang lain, bukan batang sange yang mereka keluarkan, tetapi mesin penghitung sempoa. Meski begitu, kemampuan berhitungku tak kalah dengan mereka. Aku hanya punya potongan-potongan batang sange. Batang sange ini berwarna kuning dan ringan seperti gabus, diambil dari suatu tumbuhan beruas-ruas dari kelompok ilalang. Hidup di semak-semak kebun depan rumahku, diameternya sekitar 1 cm atau sebesar jari. Sampai saat ini aku tak tahu apa nama Indonesia ataupun nama ilmiah tumbuhan itu. Sebatang tangkai panjang itu lalu dipotong-potong sepanjang 10 cm. Aku memiliki sekitar 20 potongan batang sange di dalam tasku setiap hari yang dapat membantuku untuk berhitung dengan cepat. Saat aku kelas 2 aku tak membutuhkannya lagi karena aku sudah dapat berhitung dengan cepat, sementara teman-temanku masih ada yang menggunakannya ataupun menggunakan sempoa. Sange juga dapat digunakan untuk membuat sangkar burung, seperti yang dilakukan oleh temanku Nova untuk sangkar burung-burungnya.

Sekitar pukul 10.30 WIB, kami pulang sekolah. Kami memang pulang lebih awal dibanding kakak kelas kami yang lain. Aku tak menunggu Puput karena dia akan pulang jam 12 siang nanti, aku juga tak menunggu Miga, tetangga rumahku karena anak kelas 2 itu akan pulang setengah jam lagi. Aku pulang bersama sahabat-sahabatku Febry dan Ana yang juga anak komplek. Saat pulang, aku memilih jalan yang berbeda. Jika tadi aku berangkat aku harus melompat melewati pagar belakang komplek maka ketika pulang aku melewati pintu gerbangnya. Selain Febry dan Ana, aku juga biasa pulang dengan Agri dan Nova. Teman kami yang lain yang juga anak komplek.

Melewati gerbang komplek berarti aku berputar menuju rumahku dan akan lebih jauh, tapi aku senang karena aku bisa melalui taman komplek yang indah, melewati pepohonan pinus yang rindang, berlarian di tengah lapangan hijau, dan melihat bunga-bunga yang indah. Melihat anak-anak STM dengan seragam putih abu-abu mereka membuatku juga ingin seperti mereka nanti.

Di persimpangan koperasi kami pun berpisah, menuju arah rumah kami maisng-masing. Agri, Nova, dan Febry menuju arah selatan, Ana menuju arah barat, sedangkan aku sendiri menuju arah utara. Aku pun meneruskan langkahku melalui jalan kerikil sekitar 200 meter, hanya dua rumah saja yang kulalui, selebihnya adalah kebun-kebun komplek.

Komplek tempatku tinggal ini merupakan komplek sekolah SMKN 1 Pegasing (sekarang SMKN 2 Takengon). Tetapi aku lebih suka menyebutnya dengan nama Komplek STM, sebagaimana orang-orang juga menyebutnya. Hal ini karena pada awal berdirinya sekolah ini bernama STM Pertanian Pegasing. Komplek sekolah ini luasnya mencapai lebih dari 30 ha. Sebelah utara dan timur komplek ini dibatasi oleh jalan raya. Sebelah selatannya terdapat pemukiman masyarakat Desa Wih Nareh, kami menyebutnya daerah Kampung Bongkol. Adapun sebelah barat komplek berbatasan langsung dengan sawah, sungai, dan perbukitan. Meski luas, tak begitu banyak orang yang tinggal di komplek kami. Saat ku tinggal di sana penghuninya tak lebih dari 30 kepala keluarga yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Medan, Padang, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Aceh Tengah dan daerah Aceh lainnya sehingga kami pun berasal dari berbagai suku yang berbeda pula.

Perumahannya sendiri terbagi dalam 3 blok, blok utara, selatan, dan barat mushallah. Mushallah Al-Furqaan berdiri tepat di tengah-tengah komplek ini. Kira-kira begitulah gambaran komplek tempat aku tinggal.

***

Saat kutiba di rumah, ups... pintu terkunci. Ibu sedang pergi rupanya. Aku tak perlu khawatir tak bisa masuk. Segera kucari pintu rumah yang terselip di bawah salah satu pot bunga ibu. Aku pun mendapatkannya, tanpa pikir panjang kubuka pintu merah yang terkunci itu. Kucopot sepatu hitam dan kaus kaki putihku, segera ku ke dapur untuk menemukan benda besar berwarna abu-abu yang berisi air. Kuambil benda kaca yang ada di rak piring dan kutuangkan air dari dalam teko itu. “Glegek... glegek...,” segarrr, terasa nikmat sekali air tak berwarna ini. Tak perlu repot-repot keluargaku memiliki kulkas, airnya sudah pasti terasa segar seperti air es, peninggalan dingin pagi tadi. Cuaca siang hari memang sangat panas, kontras sekali dengan cuaca pagi tadi yang dipenuhi kabut. Mungkin juga karena daerah kami adalah dataran tinggi yang berarti lebih dekat ke matahari.

Tak jarang karena cuaca yang kontras ini membuat hidungku harus mengeluarkan darah. “Mimisan” begitu orang menyebutnya. Pernah sekali aku mengalami mimisan saat masih berada di sekolahan. Aku tak perlu panik dan menangis karena ibu telah mengajarkannya padaku bagaimana cara menanganinya. Aku pun mengelapnya dengan sapu tangan yang kubawa, kemudian berbaring di kursi untuk beberapa saat agar darahnya tak keluar lagi. Jika di rumah, ibu pasti sudah menyumbatnya dengan daun sirih yang dipetik dari belakang rumah kami.

Ibu tak ada di rumah, sebelum aku berangkat sekolah tadi ia memang berpesan bahwa ia akan ke Simpang Kelaping untuk berjualan pakaian. Puput masih sekolah dan bapak juga masih mengajar, Om Mus masih di Proyek, Om Kholiq adik ibuku juga masih di sekolah, jadilah di rumah aku sendirian. Tak perlu takut, aku sudah biasa seperti ini sejak aku masih di taman kanak-kanak.

Setelah berganti pakaian, aku segera menuju ke peternakan ayam yang ada di belakang rumah. Dengan baskom ditangan, aku lalu mengambil telur-telur ayam kampung itu, telur berwarna putih dan berbentuk lonjong. Wadah minum beberapa ayam juga tampak kosong, air yang tadi pagi diisi bapak tampaknya sudah habis. Kasihan, mereka pasti ingin minum kembali sepertiku. Segera kuletakkan telur-telur itu di dalam rumah dan menatanya di dalam karton. Lalu aku kembali ke kandang dengan setengah ember air ditanganku. Kuisikan kembali wadah minum yang telah kosong itu agar ayam-ayamku juga tenang, aku tak ingin mereka berkokok dengan keras karena pasti akan menganggu para tetangga rumahku.

Sekitar pukul 12 siang Puput pun pulang. Tak lama kemudian ibu juga pulang. Ibu kemudian memasak untuk makan siang kami.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar