Jumat, 20 Juli 2012

Fasting Month


“Ramadhan tiba... Ramadhan tiba...
Marhaban ya Ramadhan...
Marhaban ya Ramadhan...
Marhaban ya Ramadhan...”
by Opick

Kala Ramadhan tiba aku selalu ingat tradisi Ramadhan masa kecilku. Sehari sebelum puasa biasanya ada tradisi ‘megang’, sampai sekarang aku juga belum begitu paham apa itu megang.  Setahuku megang adalah makan besar sebelum puasa datang. Biasanya warga komplek akan menyembelih sapi ataupun kerbau bersama-sama. Kota juga ramai karena banyak ibu-ibu yang berbelanja untuk persiapan puasa. Biasanya sehari sebelum puasa kami akan kumpul bersama keluarga, menyantap semua masakan yang dibuat ibu. Hmmm... tradisi yang tak pernah kutemui lagi di Jawa, jangankan makan besar, bisa kumpul keluarga saja sudah untung. Maklumlah, semenjak di Jawa, anggota keluarga kami tinggal di kota yang berbeda-beda.
Kembali lagi ke cerita masa kecilku. Sementara para orang tua sibuk mempersiapkan megang, kami selaku anak-anak juga punya kesibukan tersendiri. Biasanya kami akan pergi ke gunung di belakang komplek untuk mencari batang bambu. Bambu ini akan kami jadikan obor. Setelah dari gunung kami akan mampir ke sungai untuk mandi sambil mainan kapal-kapalan menggunakan gedebong pisang. Pulang dari sungai kami akan mempersiapkan obor kami masing-masing. Obor ini akan kami gunakan sebagai penerangan selama perjalanan menuju musholah. Musholah Al-Furqan tempat kami tarawih terletak di tengah komplek. Berjarak kurang lebih 300 meter dari rumah. Jalan menuju ke sana sangat gelap, tak ada rumah di kanan-kirinya. Lampu penerangan juga tidak ada. Yang ada hanyalah semak-semak dan perkebunan kopi milik guru-guru STM. Obor atau lampu senterlah penerangnya.
Musholah Al-Furqan, tempat warga komplek sholat. Terlihat tak ada rumah di sekitarnya. (Foto: by Tea, 2010)


Papan nama Musholah Al-Furqan yang telah berusia lebih dari 20 tahun. (Foto: by Tea, 2010)
Saat Tarawih, Bapaklah imamnya. Selain memimpin sholat, bapak juga selalu memberikan ceramah setelah selesai sholat tarawih setiap malam, kecuali malam 17 Ramadhan karena malam itu diisi oleh Pak ‘Teuku’ (sebutan untuk kyai di Aceh) dari luar. Bacaan bapak sangat bagus sehingga sholat pun terasa khusyuk meski hanya sebelas rakaat.
Malam 17 Ramadhan adalah malam yang kutunggu-tunggu. Malam itu, selain ada Pak Teuku juga ada acara makan-makan nasi bungkus. Untuk mendapatkan nasi dengan lauk yang istimewa aku dan teman-teman suka usil. Musholah Al-Furqan ini berbentuk rumah panggung sehingga membuat kami mudah dalam beraksi. Biasanya salah seorang dari kami akan menusuk nasi bungkus dengan lidi dari bawah musholah. Teman yang lain akan menandai (orang Jawa bilang ‘niteni’) dari atas musholah. Setelah ditusuk kemudian lidinya kami cium, sehingga kami akan tau itu lauknya apa. Kami melakukan hal yang sama untuk beberapa bungkus nasi yang berbeda. Nah, pada saat pembagian nasi kami pasti akan memilih nasi bungkus yang kami inginkan. Hahahaha..... nakal banget ya.... yee.. itu waktu aku masih kecil, masih jadi anak bawang, jadi cuma ikut-ikutan aja. Wkwkwkwkwk.....
Lain malam, lain juga siangnya. Kala Ramadhan tiba, pasti deh rame dengan petasan atau mercon. Eits.... itu di Jawa. Kalau di Aceh, ramenya meriam bambu. Tetanggaku, Bang Miga adalah orang paling pinter se-komplek dalam hal main meriam bambu, sampai-sampai beberapa orang jadi korbannya. Ya beberapa dari mereka ada yang harus digunduli karena sebagian rambutnya terbakar, ada juga yang kehilangan alisnya kaya tuyul. Hehehe.......
Untuk mengisi waktu luang kami selama Ramadhan biasanya kami habiskan dengan bersepeda mengitari komplek, bermain di taman komplek, atau pun ke gunung. Ya, saat-saat yang menyenangkan....
Menjelang lebaran, pasti deh tercium aroma kue dari setiap rumah di komplek. Tetanggaku adalah jagonya bikin kue. Setiap tahun biasanya mereka akan membuat kue dalam partai besar untuk keluarga besar mereka. Ya, mereka asli Gayo. Tidak seperti keluargaku yang jauh dari keluarga besar kami. Hmmm... aku sangat senang melihat orang membuat kue. Tak jarang aku main ke tetangga dan ikut membantu mereka membuat kue.
Lain tetangga, lain pula kesibukan di rumahku. Menjelang lebaran, ibu dan bapak akan disibukkan oleh banyaknya tamu yang datang untuk membeli ayam. Ya, Bapak dan ibu mempunyai usaha ternak ayam sebagai usaha sampingan. Aku juga sering membantu mereka di peternakan, seperti memberi minum dan mengambil telur-telur ayam  setiap hari. Kesibukan itu bukan lantas membuat ibu tidak bikin kue. Ibu tetap buat kue lebaran, namun biasanya sudah mepet lebaran karena buatnya juga cuma sedikit.
Malam takbiran tiba. Biasanya aku cuma takbiran saja di Musholah bersama teman-teman. Tak ada acara pukul bedug karena musholah kami tak punya bedug. Kami hanya memainkan alat seadanya, seperti gelas, piring, sendok, dan rebana sebagai musik pengiring takbiran, ya semacam ensemble. Tak jarang malam takbiran diikuti dengan mati lampu. Takbiran pun makin asyik, kami akan menyalakan lilin atau pun obor yang kami punya sambil main kembang api.
Hari nan fitri pun tiba. Beramai-ramai orang menuju lapangan komplek untuk menunaikan sholat ied. Bukan hanya warga komplek, namun juga semua masyarakat Desa Wihnareh. Tak terkecuali wanita yang sedang haid. Tak ada orang yang membawa kendaraan, semuanya berjalan kaki, jauh atau pun dekat rumah mereka. Selesai sholat ied, kami tidak langsung pulang. Kami langsung keliling komplek ke rumah guru-guru untuk bersalaman. Aku paling senang ke rumah Pak Sutar karena biasanya aku akan dikasih balon. Hehehe...... 
Lapangan Komplek, tempat biasa kami menunaikan sholat Ied. Terlihat bukit di belakang komplek. (Foto: by Tea, 2010)