Senin, 28 Mei 2012

Belajar Kebudayaan, Seni, dan Toleransi


Kehidupan yang telah kujalani selama lebih dari 23 tahun ini telah memberikan pengalaman dan pelajaran yang penting tentang nilai-nilai kebudayaan, seni, dan toleransi.
Waktu kecil kutinggal di komplek perumahan dengan mayoritas penduduknya adalah pendatang. Kami berasal dari berbagai daerah, seperti Medan, Padang, Jakarta, dan Jawa. Belum lagi waktu itu aku tinggal di Takengon, Aceh Tengah. Hal itu membuatku sedikit tahu tentang kebudayaan mereka.  Meski kami berasal dari daerah yang berbeda namun kami tak enggan untuk saling bergotong royong, misalnya saat pembangunan mushollah dan hajatan. Budaya gotong royong ini benar-benar kurasakan di sana. Ada cerita menarik disini yang terus kuingat adalah ketika ibuku mengalami pendarahan selama 2 bulan dan tidak bisa bangun dari tempat tidurnya, para tetanggalah yang mengurusi aku yang baru 4 tahun dan kakakku yang baru masuk sekolah dasar. Kemudiaan saat kelahiran adikku, para tetangga pulalah yang menyiapkan acara syukurannya. Maklumlah, kami tak punya sanak saudara di sana.
Karena aku tinggal di Aceh, Aku pun jadi tahu sedikit tentang kesenian di sana yang kunikmati secara langsung, seperti Kesenian Didong, Tari Saman, serta Lagu Bungong Jeumpa dan Bungong Selanga. Bahkan sampai sekarang aku masih hafal lirik lagu Bungong Jempa karena dulu sering menyanyikannya bersama teman-teman.
Seiring kepindahanku ke Jawa, aku pun mulai belajar budaya dan kesenian Jawa. Susah memang tapi aku terus berusaha keras meski sampai sekarang masih banyak budaya dan kesenian Jawa yang belum kuketahui, padahal sudah 12 tahun aku di Jawa. Dari belajar itu aku jadi tahu, kalau bahasa Jawa lebih kaya dari pada bahasa Indonesia, bahkan Indonesia sendiri juga tidak punya huruf khas Indonesia sedangkan Jawa punya aksara Jawa. Belum lagi keseniannya yang seabrek, ada wayang, sintren, karawitan, dan tembang macapat, tarian Jawa, dan lain-lain. Untuk wayang aku belum pernah nonton secara langsung sama sekali, keinginan sih sudah dari dulu tapi belum kesampaian. Kalau sintren juga baru nonton beberapa hari yang lalu di desa tetangga. Karawitan sih lumayan sudah sering liat. Untuk tembang macapat juga sudah pernah dengar, tapi sampai sekarang belum bisa menyanyikan 1 pun tembang macapat, bahkan membedakan jenis-jenisnya saja belum bisa. Sedangkan tarian Jawa, aku dulu pernah belajar waktu SMA, yaitu tari Gambyong, namun pas penilaian tetap saja remidi, padahal sudah latihan berkali-kali. Hehe.... malu ya...
Saat duduk di SMA aku pun mulai belajar untuk bertenggang rasa dengan umat agama lain. Aku yang berasal dari Madrasah Tsanawiyah pun tidak mengalami kesulitan ketika berteman dengan teman yang Katholik dan etnis China yang Kristen. Bahkan kami sering pulang bersama karena rumah kami satu tujuan. Di kelas pun aku tak enggan berdiskusi seputar agama mereka untuk menambah pengetahuan dengan menjaga batas-batas tertentu tentunya.
Saat masuk kuliah pun aku juga harus berteman dengan teman yang Katholik. bahkan saat Praktik Pengalaman Lapangan aku pun harus satu kos dengannya selama 3 bulan. Tak ada masalah bagiku. Aku pun jadi lebih tahu kehidupan mereka. Dan kini aku juga memiliki teman yang beragama Hindu yang berasal dari Lombok, bahkan kami juga tinggal satu kos. Ini juga membuatku belajar banyak tentang budayanya dan sikap toleransi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar