Ketika membuka FB-Q pasti teman-teman akan terheran-heran kenapa aku mencantumkan Takengon, Aceh Tengah sebagai kota asalku? Seperti yang tercantum dalam catatanku yang lalu pada point no 11, aku pernah tinggal di kota ini selama lebih dari 10 tahun, tepatnya 10 tahun 11 bulan, 15 hari, sejak aku bayi. Meski akupun pernah tinggal di sini, namun sebenarnya aku bukan berasal dari kota ini, namun aku berasal dari Pemalang, Jawa Tengah dimana dulu aku dilahirkan. Masa kecil yang bahagia di tempat ini sangat berarti sekali dalam kehidupanku dan aku pun tidak ingin melupakannya sehingga aku mencantumkannya sebagai kota asalku.
Di Takengon aku tinggal di komplek STM Pertanian 1 Pegasing, Aceh Tengah. Komplek sekolah yang kutinggali ini bukan sembarang komplek sekolah pada umumnya karena luas sekolahan ini mencapai + 36 Ha. Di dalam komplek ini terdapat bangunan-bangunan sekolah yang diperindah dengan taman-taman bunga di halamannya. Satu jurusan di sana bagaikan satu fakultas perguruan tinggi. Sebagai contoh, jurusan peternakan selain terdapat ruang kelas dan gudang penyimpanan pakan, juga dilengkapi dengan lahan untuk menanam rumput dan kandang-kandang ternak yang lengkap dengan hewan-hewannnya, seperti sapi, kerbau, ayam, burung puyuh, burung merak, dll. Bagaikan kebun binatang deh pokoknya. Beda lagi dengan perpustakaannya, konon katanya saat itu, perpustakaan di STM ini adalah perpustakaan sekolah terbesar se-Provinsi Aceh. Sekolahan ini juga mempunyai 2 lapangan sepak bola, 1 lapangan basket, 1 lapangan tenis, 1 lapangan takraw, dan beberapa lapangan voli. Di komplek ini juga terdapat perumahan guru dan asrama putra-putri. Setiap guru juga di berikan hak untuk mengelola tanah di halaman depan dan belakang rumahnya untuk berkebun. Bukan hanya itu, selain berbatasan dengan pemukiman warga, sekolahan ini juga berbatasan langsung dengan sungai dan perbukitan, dimana tempatku berpetualang bersama teman-temanku layaknya si Bolang. Sudah kebayangkan luasnya sekolahan ini???
Saat hari libur tiba, aku bersama mbaku mba Puput dan teman-temanku seperti Galih, Miga, Laras, dan Febry akan pergi bermain ke Bukit ini menuju rumah teman kami di atas sana yang bernama kak Nani. Kak Nani akan mengajak kami berkeliling kebun kopinya, memetik buah biwa, dan menebang pohon bambu untuk kami jadikan obor. Cukup lama kami bermain-main di atas sana dan pulangnya kami akan singgah di sungai untuk berenang. Setelah itu barulah kami pulang ke rumah. Sungai ini juga berperan penting bagi masyarakat komplek. Ya komplek sering kekurangan air, bahkan air ledeng yang berasal dari pegunungan sering kali tidak mengalir sehingga kami harus mandi dan mencuci di sungai ini.
Aktivitas sehari-hari kami biasanya kami habiskan untuk bersekolah di SDN Wihnareh dan mengaji di Mushola Al-Furqon. Di sekolah, teman-temanku juga tidak jauh berbeda dengan teman bermain dan mengaji di rumah. Mereka adalah Agri yang suka bawa kue bawang dan cari bibit tumbuhan, Nova yang punya banyak burung dan kadang kesiangan, Hafidz si ketua kelas, Laras yang tomboy, si kembar Nyakna-Nyakni, Bang Miga yang selalu ingin tau, dll. Hahaha… mereka unik ya… Di sekolahan aku tergolong siswa yang pinter, bukan sombong lho ya… setiap pembagian rapot nilai-nilaiku selalu jauh di atas rata-rata sehingga aku selalu meraih peringkat satu. Namun sayang, aku hanya dapat bersekolah di sana sampai pertengahan kelas lima. Adanya referendum Aceh dan GAM membuat keluargaku yang asli jawa harus kembali ke Jawa demi keamanan.
Mushola Al-Furqan yang terletak di tengah komplek ini juga memberiku banyak kenangan. Sepulang sekolah kami biasanya langsung berangkat ke Mushola untuk mengaji pada pukul 13.30 WIB. Sambil menunggu ustadz dan ustadzah datang, kami akan bermain-main di halaman mushola yang sangat luas. Kami akan bermain sepak bola, lompat tali, patok lele, atau pun hanya sekedar duduk-duduk saja di bawah pohon cemara yang rimbun. Saat ustadz dan ustadzah datang, kami pun mulai mengaji. Tidak hanya mengaji, berbagai hal juga kami pelajari di sini, seperti kaligrafi, menggambar, bahasa Arab, bahasa Inggris, terjemah lafdziah, psikotes, olah raga, dan lain sebagainya. TPA yang baru seumur jagung ini juga terbilang sukses di tingkat kabupaten Aceh Tengah dan juga pernah mengikuti festival di tingkat provinsi. Sehingga banyak TPA-TPA lain yang mengacungi jempol kepada TPA kami. Yang mendirikan TPA ini adalah kedua orang tuaku. Namun sayang, dengan hijrahnya kami ke Jawa, aktivitas di TPA ini juga ikut mati. Sedih rasanya ketika mendengar dari teman-temanku di sana ketika mereka bilang kalau Mushola yang kecil itu kini sangat sepi sekali, tak ada aktivitas apapun di sana, bangunan kelas di sampingnya juga sudah di bongkar.
Sudahlah… sejenak mari kita lupakan cerita yang memilukan di atas. Sekarang giliran aku cerita tentang keindahan Takengon, Aceh Tengah, para pembaca pasti dah nunggu dari tadi kan??? Hehe….
Takengon, adalah salah satu kota di Provinsi NAD. Nama kabupatennya adalah Aceh Tengah karena terletak di tengah provinsi Aceh. Karena letaknya yang di tengah maka tidak heran jika Takengon merupakan daerah pegunungan dengan gunung tertinggi adalah gunung Geurodong dan Burni Telong. Suhu di daerah ini sangat dingin sekali, di pagi hari kabut juga cukup tebal. Penglihatan hanya radius beberapa meter saja. Dulu aja, setiap berangkat sekolah aku selalu mengenakan jaket. Daerah ini adalah daerah pertanian dengan banyaknya perkebunan kopi dan holtikultura di sini.
Yang paling menarik dari kota ini adalah adanya sebuah danau yang luas di antara perbukitan. Danau itu adalah Danau Laut Tawar. Dinamakan laut tawar karena bentuknya yang seperti laut namun airnya tawar. Selain pemandangannya yang indah, di sekitar danau ini juga ada beberapa gua yang terkenal dengan legendanya, seperti gua “Putri Pukes” dan “Layang Koro”, selain itu juga terdapat hotel berbintang ditepi danau, yaitu hotel Renggali. Kita bisa menyewa perahu untuk berkeliling danau ini atau pun hanya bermain-main saja di tepinya. Di danau ini juga terdapat ikan endemik yang tidak terdapat di tempat lain, yaitu ikan depik. Masyarakat sekitar juga mempercayai akan adanya makhluk “gulung tikar” di dalam danau ini yang sewaktu-waktu bisa mencengkeram manusia untuk di jadikan mangsanya.
Keindahan alam danau ini tentu saja menarik minat wisatawan asing untuk datang. Sehingga tidak heran apabila melihat banyak turis di sana. Orang Aceh bilang katanya Takengon adalah Canada-nya Indonesia. Yach, katanya mirip dengan Canada di benua Amerika. Memang cukup unik ya Indonesia, selain punya Bandung sebagai Paris van Java, juga punya Canada van Sumatera. Haha…. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar