Sudah
jam 5 sore, Om Kholiq belum pulang juga. Sepertinya ibu ada perlu dengannya.
Omku yang satu ini memang seringkali keluyuran bersama temannya abang-abang
STM. Ibu pun menyuruhku untuk mencari Om Kholiq ke lapangan.
Aku
belum bisa naik sepeda jadi aku berjalan kaki saja sendirian. Padahal
lapangannya lumayan jauh. Aku pun berjalan melewati jalan kerikil. Aku berjalan
seperti biasa meski sendirian aku tak takut. Namun, saat melewati rumah Pak Is
yang berada tepat di pertigaan, bulu kudukku sedikit merinding. Bagaimana
tidak, rumah Pak Is terkenal seram, bukan karena rumahnya angker ataupun ada setan,
melainkan karena anjing milik Pak Is. Anjing itu selalu menggonggong setiap
melihat ada orang yang lewat.
Dengan
batu di tangan, pelan-pelan aku melangkah melewati rumah Pak Is. Batu ini akan
kupergunakan untuk melempar anjing jika ia mengejarku. Karena biasanya kalau di
lempar batu, anjing akan pergi ketakutan.
“Aman...aman...,”
kataku dalam hati setelah berhasil melewati rumah Pak Is dengan aman. Tampaknya
si anjing coklat itu sedang tertidur pulas.
Aku
kemudian berlari menuruni jalan kerikil. Aku ingin segera menemukan Om Kholiq
sebelum hari petang. Kucari-cari dia di lapangan bola dan lapangan basket
tempat ia biasanya bermain dengan teman-temannya, namun tak juga aku
melihatnya. Lelah aku mencarinya. Di lapangan itu juga banyak orang main bola
dan membuatku takut untuk berada lama-lama di sana. Aku pun memutuskan untuk
pulang saja.
Aku
kembali berjalan melewati jalan yang sama dengan ketika aku berangkat tadi. Mau
tidak mau aku pun harus melewati rumah Pak Is lagi. Aduh! sudah sore lagi.
Anjingnya pasti sudah bangun dan siap beraksi. Bagaimana ini? Aku mencoba untuk
tetap tenang saat melewatinya. Tak terlihat lagi anjing itu di emperan rumah
Pak Is. “Aman...aman,” kataku pelan. Namun saat ku berbelok melewati pertigaan,
terlihat anjing itu berada di sana.
“Guk...
guk...,” katanya sambil menatapku. Aku pun merasa takut. Ia mendekatiku,
mencoba untuk menggigitku. Aku berusaha menghindar tapi ia berhasil menyentuh
celana belakangku. “Waaaaaaa,” aku pun berlari sekuat tenaga sambil menangis
berteriak. Untungnya lariku lebih cepat daripada anjing itu.
Hanya
beberapa langkah ia mengejar, melihat beberapa orang berdiri di dekat rumahku,
ia pun langsung berbalik arah. Om Mus yang berada di depan rumahku berusaha
menenangkanku. Ia malah meledekku dan membuatku tertawa.
“Ngis... ngis... ngis...gula jawa, habis nangis ketawa!” katanya.
Untunglah
tak ada luka, hanya kantong celanaku saja yang sobek sedikit. Wah, celanaku
terkena najis. Ibu berarti harus mencucinya dengan tanah. Hah.. zaman itu mana
aku tahu hukum-hukum seperti itu. Hehe...
Bukan
hanya Pak Is saja yang punya anjing, beberapa warga komplek lainnya juga
memelihara hewan buas ini. Tak usah jauh-jauh, tetangga samping rumahku persis,
yaitu Bang Miga, rumahnya sudah seperti peternakan anjing. Ia punya banyak
anjing. Si induk anjing yang ia beri nama “bagong” seringkali beranak dan
membuat rumah Bang Miga pun ramai dengan anjing-anjing. Tentu saja aku yang
tetangganya seringkali merasa takut.
Di
Aceh Tengah, anjing sangat banyak sekali maka tidaklah heran kalau aku menemui anjing
dimana-mana. Anjing-anjing ini selain untuk menjaga rumah, mereka juga
berfungsi untuk menjaga kebun kopi dari pencuri ataupun gangguan babi. Selain
itu, anjing juga kerap kali digunakan untuk berburu babi oleh orang-orang
Padang.
Setiap
seminggu sekali, yaitu pada hari Selasa orang Padang yang bermukim di Kabupaten
Aceh Tengah akan melakukan buru babi secara berkelompok. Sudah menjadi tradisi
tampaknya bagi mereka. Aku sering melihat rombongan mereka. Mereka menggunakan
senjata tajam dan membawa anjing untuk berburu. Komplek kami sering kali
menjadi tempat berburu, terutama bagian komplek yang berbatasan dengan sungai
dan gunung. Mereka tak membawa pulang bangkai babi itu melainkan
meninggalkannya saja. Keesokan harinya terkadang ada orang Medan yang datang
untuk mencari bangkai itu, katanya sih untuk dijual.
Karena
banyak anjing, maka aku juga harus berhati-hati ketika melangkah. Seperti
hewan-hewan lainnya, anjing juga tak berakal sehingga ia membuang kotorannya di
sembarang tempat. Jangan sampai aku menginjak kotoran anjing yang tersebar di mana-mana,
tak terkecuali di jalan yang sering kulalui. Kotoran anjing ini sudah seperti
ranjau saja. Pernah sekali sepatuku ini menginjak kotoran hewan buas itu ketika
sedang istirahat sekolah. Tak enak sekali rasanya, aku pun berbisik pada
seorang teman yang saat itu sedang bersamaku, kubilang padanya: “Hei, aku
menginjak tahi anjing. Tolonglah nanti jangan kamu bilang teman-teman jika
nanti mereka mencium bau tak sedap di kelas. Malulah aku jika teman-teman
tahu”. Baunya yang tidak sedap pasti akan tersebar kemana-mana. Sudah pasti aku
akan dikucilkan di dalam kelas. Anak-anak pasti akan menghindariku dan tak mau
mengajakku bermain. Adalah hal yang paling malas mencuci sepatuku yang terkena
kotoran anjing ini, tapi tetap harus kulakukan karena aku tak punya sepatu
lagi.
Pernah
suatu kali aku pulang sekolah beramai-ramai bersama Puput dan teman-temannya.
Seekor anjing datang dan mengejar kami. Kami pun berlari. Secara spontan
tiba-tiba Kak Dwi melemparkan tasnya. Tas itu pun jatuh di tumpukan tahi
anjing. “Hahaha...” kami semua tertawa terbahak-bahak, “ah Kak Dwi bau tahi
anjing!” anjing juga sudah tak mengejar kami lagi. Kak Dwi pun malu bercampur
kesal. Kak Dwi tetap membawa pulang tasnya itu, tentunya sambil menahan aroma
yang sangat tidak enak. Ia pun berjalan di belakang. Esoknya ia tak membawa tas
itu lagi.
Anjing
juga kadang memakan ayam-ayamku dan milik tetangga yang lain. Aku sering
melihatnya langsung, ia berlari sambil membawa seekor ayam di mulutnya.
Ayam-ayam kami pun sering merasa resah karena kedatangan seekor anjing yang
menyelusup melalui lubang di bawah pagar. Mereka pasti akan ribut,
“petok...petok....!” begitulah suara mereka. Anjing memang hewan yang kanibal.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar