Pulang
sekolah ini aku kembali melewati jalan depan. Namun saat melewati gerbang
komplek siang ini terlihat ada pemandangan yang berbeda. Umbul-umbul
berwarna-warni telah dipasang sepanjang gerbang komplek. Pintu gerbang juga
lebih indah dari biasanya. Ada sebuah gapura besar di sana. Gapura warna merah
putih yang dipenuhi dengan hiasan warna merah putih pula. Aku baca tulisan yang
terpampang di sana: “HUT RI ke-50,” ada apa sih ini, pikirku dalam hati.
“Oh
iya mau Agustus-an,” kata Febry. “Nanti aku mau pake baju adat,” katanya lagi.
Aku pun tak sabar untuk segera sampai ke rumah dan menanyakan ini pada ibu.
Pemandangan
yang berbeda juga kutemui sepanjang perjalanan pulang. Bangunan-bangunan STM
juga ramai dihiasi bendera merah putih, umbul-umbul, dan lampu warna-warni. Rumah
Pak Sutar dan Pak Is yang berdiri sendiri juga tak kalah ramai dengan atribut
khas Agustusan. Blok rumahku juga tak kalah ramai. Setiap rumah juga sudah
memasang umbul-umbul dan lampu berwarna-warni, termasuk rumahku. Bu Aswin telah
menjahitkan umbul-umbul itu beberapa waktu lalu. Padahal, rumah kami jauh
sekali dari jalan raya, siapa juga yang mau melihat, tak akan ada bupati
ataupun pak camat yang akan memeriksa lingkungan rumah kami ini. Tapi aku suka
karena lingkungan rumah yang hanya 10 ini pun jadi terlihat lebih hidup.
“Ma,
di gerbang kok ada gapura warna-warni? Terus tulisannya HUT RI ke-50,” tanyaku
pada mama.
“Oh
iya, tanggal 17 Agustus kan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-50
sehingga disingkat HUT RI. Nanti hari kamis kan upacara di lapangan STM.”
“Oh,
berarti Indonesia itu merdeka tanggal 17 Agustus ya Ma?” tanyaku lagi.
“Iya,
benar,” jawab ibuku lagi.
“Ma,
kata Febry dia nanti mau pakai baju adat pas upacara. Terus ade gimana?”
tanyaku lagi, aku kan juga ingin seperti Febry.
“Iya
nanti,” ibuku sepertinya kesal karena aku bertanya terus padanya. Padahal aku
tahu, ibuku itu belum menyiapkan baju adat apapun untukku, meski upacara
Agustus tinggal 4 hari lagi.
***
Kamis
pagi tanggal 17 Agustus 1995, aku dan Puput sudah berdiri di lapangan. Lapangan
STM hari ini ramai sekali, berbagai siswa-siswi dari SD hingga SMA se-Kecamatan
Pegasing datang ke komplek kami untuk mengikuti upacara bendera memperingati
hari Kemerdekaan RI Tanggal 17 Agustus. Tampak juga para ibu-ibu dan
bapak-bapak berpakaian coklat-coklat dan hijau belang-belang, mereka adalah
para polisi dan tentara. Pasukan 08 juga sudah siap berdiri dengan pakaian yang
serba putih dengan sebuah bendera di tangan salah seorang anggotanya.
Sudah
tradisi dari tahun ke tahun kalau lapangan komplek STM ini digunakan untuk
upacara 17 Agustus. Lapangan STM merupakan lapangan terbesar se-Kecamatan
Pegasing. Bagaimana tidak, lapangannya saja ada dua yang bersebelahan dan hanya
dipisahkan oleh parit kecil.
Aku
dan Puput bergabung dengan barisan anak-anak yang mengenakan baju adat. Kami
adalah anak-anak guru SMK N 1 Pegasing. Pagi ini aku mengenakan pakaian adat
Aceh. Cukup sederhana baju Aceh ini: celana panjang hitam, baju lengan panjang
warna putih, songket warna merah setengah lutut yang dipasang di pinggang,
serta kain songket merah juga yang dipasang menyilang di dada. Aku jadi
terlihat seperti anak Aceh. Padahal aku kan orang Jawa. Hehe.... Temanku yang
lain ada yang memakai karawang Gayo dan baju ala melayu, seperti Bang Miga,
bahkan lengkap dengan pedang kayunya.
***
Agustus-an
pasti identik dengan lomba-lomba, di bagian manapun negara Indonesia ini pasti
juga sama. Begitu juga dengan komplek tempat tinggalku. Siang ini aku kembali
ke lapangan STM, tentunya aku sudah tidak mengenakan pakaian adat lagi,
melainkan kaos dan celana pendek. Aku sudah siap untuk mengikuti berbagai
perlombaan untuk memeriahkan peringatan hari kemerdekaan RI yang jatuh pada
hari ini.
Ibu
mendaftarkanku dan Puput untuk mengikuti beberapa perlombaan, seperti lomba
kelereng, makan kerupuk, balap karung, giring balon, dan ambil batu.
Sekarang
aku telah berbaris di garis strart.
Lomba pertama yang kuikuti adalah lomba ambil batu. Dalam lomba ini aku harus
mengambil batu yang ada di sisi lain untuk di pindah ke garis start. Untuk dapat memenangkan lomba ini
aku harus mempunyai tenaga esktra yaitu berlari secepat mungkin kalau perlu
secepat kilat.
“Prittt........!”
peluit dibunyikan.
Aku
pun berlari meninggalkan garis start
dengan mengerahkan segala daya dan tenaga yang kupunya. Kuambil satu per satu
batu di seberang sana. Dengan cepat aku berlari bolak-balik tapi tetap saja aku
kalah karena beberapa anak larinya lebih cepat dariku. Wajar saja mereka
menang, mereka kan lebih besar, pasti langkah kakinya juga lebih lebar dan
cepat. Ah.... aku kalah. Ibu berusaha menghiburku dan memberiku semangat untuk
mengikuti lomba selanjutnya yaitu lomba bawa kelereng. Kelereng yang biasanya
aku mainkan untuk main cuk-cuk garis
ataupun pangkah bisa juga ya buat lomba Agustus-an.
Setelah
beristirahat beberapa saat, aku kembali berdiri di garis start. Sebuah sendok aluminium yang berisi kelereng telah kugigit
dengan gigi-gigiku yang kuat.
“Prittt........!”
peluit kembali dibunyikan.
Aku
segera berjalan dengan perlahan membawa kelereng itu. Aku terus berjalan dengan
pelan meskipun beberapa anak telah mendahuluiku. Mereka berjalan lebih cepat,
tapi tak lama kemudian kelereng mereka terjatuh dan mereka pun berhenti dari
lomba. Hanya tinggal dua anak saja yang bertahan. Aku terus membawanya dengan
pelan dan berhasil sampai ke garis finish.
“Aha... aku menang”. Meski menang ataupun kalah dalam perlombaan yang kuikuti,
aku tetap berteman dengan lawan-lawanku tadi. Bagiku menang atau kalah itu tak
masalah. Aku harus bisa sportif dalam perlombaan yang kuikuti. Satu hal lagi,
jangan tergesa-gesa dalam perlombaan, tenang adalah salah satu kunci suksesnya,
seperti salah satu semboyan orang Jawa “Alon-alon asal klakon”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar