Pagi
ini aku kembali bangun seperti biasanya. Untuk pagi ini ibu tak perlu
susah-susah membangunkanku, aku bangun sendiri. Segera kuambil wudhu untuk
menunaikan sholat subuh. Kemudian aku menuju belakang rumah, kulihat Puput
sedang membantu bapak memberi makan ayam-ayam kami. Aku pun turut membantu
mereka. Ayam yang mencapai seratus lebih itu tentu tak mudah merawatnya, tapi
orang tuaku sebisa mungkin untuk mengurusnya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Aku, Puput, Om Mus dan Om Kholiq-lah yang membantunya. Om Kholiq adalah adik
ibu dari Jawa yang ikut kami di sini sejak setahun lalu untuk melanjutkan
sekolah di STM ini.
Setelah
sarapan aku berangkat sekolah bersama Puput. Berjalan melewati pohon minyak
kayu putih seperti biasanya. Ups... saat kami hampir sampai di pagar batas
komplek, tiba-tiba seekor babi besar lewat di hadapan kami. Aku dan Puput tentu
saja terkejut. Tampak Pak Ismail dan istrinya sedang berusaha mengusir babi itu
dari kebun mereka. Hampir saja kami diseruduk babi itu, rasanya jantungan
sekali. Untunglah tidak terjadi. Segera kami melewati pagar pembatas komplek
yang ada di depan rumah Pak Ismail.
Seorang
guru tampaknya sedang memukul potongan besi besar yang tergantung di depan
ruang guru. Itulah lonceng kami. Suaranya menggelegar dan terdengar ke semua
sudut sekolah ini. Semua siswa lantas berlarian menuju lapangan sekolah. Kami
berbaris, bersiap-siap untuk senam pagi. Pak Saleh tampak menunjuk beberapa
orang siswa untuk berdiri di depan kelas. Mereka adalah siswa-siswa kelas 6
yang memang sudah lihai dalam gerakan senam, mereka pun bertindak sebagai
instruktur senam. Seorang yang berada di tengah akan berdiri dan menjadi
penghitungnya mulai dari gerakan pemanasan sampai dengan pendinginan. Dia pasti
butuh tenaga yang ekstra untuk menghitung, karena dia pasti akan merasa malu
kalau suaranya habis di tengah senam.
Sekolah
kami memang belum memiliki tape seperti
sekolah-sekolah lain. Meski begitu, senam dengan seragam merah putih ini tetap
berlangsung setiap hari setiap pagi. Selain menyehatkan, hal ini juga untuk
melatih kedisplinan kami. Aku sebagai anak kelas 1 yang berbadan kecil, tentu
sangat senang sekali berdiri di barisan paling depan. Namun mulai aku kelas 4
aku justru lebih suka baris di belakang bersama kakak-kakak kelas lainnya.
Selesai senam kami sudah pasti akan mengambil sampah sebelum masuk ke kelas.
Kegiatan
belajar mengajar pun berlangsung seperti biasa. Namun saat jam ke-2 Bu Asmiati
meninggalkan kelas, ada keperluan sebentar katanya. Ia lalu menitipkan kelas
kepadaku. Entahlah, atas dasar apa ia memilihku, kenapa dia tidak memilih
Hafidz sang ketua kelas saja, dia kan juga anaknya, pasti lebih terpercaya.
Atau karena dia tahu sifat anaknya itu dia jadi tidak percaya. Ah... aku memang
suka berandai-andai. Memang pernah suatu kali Bu Asmiati menceritakan keburukan
anaknya itu pada kami siswa-siswanya di saat pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, katanya hafidz itu malas dan seringkali tidak merapikan tempat
tidurnya ketika bangun. Pantaslah kalau badan Hafidz itu gemuk, karena ia malas
bekerja.
Kelas
pun hening untuk beberapa saat, ketika Bu Asmiati meninggalkan kami. Namun,
kelas kemudian ramai. Teman-teman mulai menunjukkan tingkahnya. Aku juga mulai
beraksi. Kuketuk meja anak yang ribut itu, ia lalu terdiam. Teman-teman yang
lain pun tak berani ribut lagi karena sudah pasti akan kulaporkan pada Bu
Asmiati nanti. Alhasil, semua siswa di kelasku, baik perempuan ataupun
laki-laki menjadi takut padaku karena setiap yang ribut pasti akan kucatat. Aku
memang suka melapor. Haha... Oh tidak, aku hanya mencoba bertanggung jawab atas
apa yang diamanahkan padaku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar