Anak-anak
perempuan dan laki-laki di kelasku saling bermusuhan beberapa hari ini. Aku
lupa apa penyebabnya, yang jelas siang ini kami berantem di lapangan sekolah,
kami saling menendang ala silat-silatan. Aku pun turut serta dalam barisan wonder woman itu. Satu lawan satu. Ups,
hanya sebentar saja dan tak sampai menumpahkan darah ataupun meneteskan air
mata. Sepertinya aku ada bakat tawuran antar pelajar juga. Haha...
Untung
saja kami tak sampai dipanggil ke ruang guru. Seringkali kulihat kakak-kakak
kelasku harus berurusan dengan guru karena ketahuan berkelahi. Bang Iwan dan
Bang Hendra, kakak adik yang sudah langganan berkelahi seringkali dipanggil ke
kantor karena ketahuan berkelahi dengan teman mereka. Kalau berkelahi mereka
tak tanggung-tanggung, seringkali membuat lawannya babak belur ataupun
menggunakan benda tajam.
Pergaulan
anak laki-laki di sana memang sangat keras sekali, acap kali kulihat anak-anak
kecil ini berkelahi dengan menggunakan benda tajam. Sering juga aku melihat
mereka pada menghisap rokok. Bahkan anak yang paling diam pun sudah dapat
dipastikan pernah melakukannya.
Anak
laki-laki ini juga sering dipanggil ke kantor karena mengusili anak perempuan.
Kakak kelasku yang cantik-cantik seringkali dikurung dalam kelas oleh mereka.
Tentu saja hal ini membuat kakak-kakak kelasku itu menangis histeris. Untung
saja, aku tak pernah diusili oleh mereka.
Anehnya,
salah satu anak laki-laki yang usil itu yang berbadan besar, justru takut
dengan suntikan. Suatu hari pihak puskesmas datang ke sekolahku untuk menyuntik
para anak-anak kelas 6. Satu demi satu temannya di suntik di dalam ruang
kelasku, eh dia malah berlari kabur ke sawah yang ada di belakang sekolahku
ini. Dia terus berlari menyusuri pematang sawah. Teman-temannya tentu saja
mengejarnya agar ia tetap disuntik. Bahkan Pak Saleh, konon kabarnya juga ikut
mengejar. Cemen sekali mentalnya,
kalah dengan anak-anak kelas 1.
Kesadaran
sekolah juga masih rendah di Takengon ini. Masih banyak anak-anak desa yang tak
sekolah. Bukan karena masalah biaya tapi karena rendahnya kesadaran akan
pentingnya pendidikan. Mereka lebih memilih untuk bekerja di kebun kopi karena
lebih menjanjikan. Setahun dua tahun berkebun kopi sudah pasti menghasilkan
katanya daripada membuang-buang waktu untuk sekolah. Sekolah di Aceh ini gratis
untuk tingkatan sekolah dasar, untuk sekolah menengah hanya cukup membayar
beberapa ribu rupiah saja.
Setelah
puas berkelahi di lapangan hijau itu kami kemudian pulang dan anehnya saat di
jalan aku hanya biasa saja dengan teman-teman yang berkelahi tadi. Seperti tak
ada masalah di antara kami.
Jalan
raya yang sepi membuat kami menyeberang sekehendak hati, bahkan salah seorang
teman kami ada yang nekat berjalan di tengahnya. Suasana jalan raya di sana
memang kontras sekali dengan jalan raya di Jawa ini yang serba macet sangking
sesaknya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar