“Kukuruyuk.....
kukuruyuk....!” suara ayam berkokok membangunkanku. Mereka saling
sahut-menyahut satu sama lain untuk menyambut datangnya mentari pagi, sang
penerang bumi.
Oh,
sudah pagi rupanya. “Brrrr... dingin sekali rasanya,” gumamku seorang diri dan
membuatku malas untuk beranjak dari kasur. “Ayolah De bangun sudah jam 6 ini.
Kamu harus sholat subuh dan berangkat ke sekolah,” suara ibu membangunkanku, “mba
Puput juga sudah bangun itu.”
Di
Takengon Aceh Tengah, bagian barat dari negara ini tentu saja matahari lebih
lambat terbitnya dari provinsi manapun yang ada di Indonesia. Untuk daerah
Indonesia bagian timur, jam 6 mungkin sudah sangat terang sekali, untuk Pulau
Jawa matahari tentunya sudah keluar menunjukkan kegagahannya. Di Aceh, ya jam 6
pagi masih gelap gulita, adzan subuh juga baru berkumandang. Ya ketika aku
pindah di Jawa, beberapa hari aku sempat jet
lag dengan perbedaan waktu ini.
Segera
kubangkit sambil mengucek-ucek mata yang baru terbuka separuh ini, aku tak mau
kalah dengan kakakku yang hanya 2 tahun lebih tua dariku. Rasa dingin membuatku
ingin berlama-lama di kasur, dalam bungkusan selimut tebal rasanya memang
hangat sekali. Segera kulawan rasa malas ini. Setan memang sedang menggangguku
di saat subuh seperti ini. Merayu manusia agar terus tidur dan meninggalkan
sholat subuh, apalagi dingin dipagi hari memang selalu terasa sampai ke tulang.
Tercium
aroma kopi dari dapur yang mengalir terbawa udara pagi melalui sela-sela lubang
ventilasi kamarku, sepertinya bapak sedang menyeruput kopi di bebalen. Aroma kopi memang sangat khas
sekali tercium di hidung dan menggodaku untuk keluar kamar.
Kuberjalan
menuju kamar mandi yang hanya beberapa langkah saja dari pintu kamarku. Kamar
mandi kecil yang ada di tengah-tengah rumah kami. Hanya untuk mandi dan
keperluan malam hari saja kamar mandi ini kami gunakan. Adapun untuk mencuci
dan keperluan siang hari lebih sering kami lakukan di belakang rumah.
Kekeringan berkepanjangan di komplek kami membuat air tak dapat mengalir ke
dalam rumah. Hanya sedikit air yang keluar dari keran di belakang rumah kami.
Berbeda dengan tetangga kami Bang Miga yang mempunyai sumur sebagai sumber
airnya.
Perlahan
kubasuh anggota tubuhku dengan air yang sedikit pula. Walau sedikit, diri ini
rasanya tak tahan menahan dinginnya yang seperti es. Berada di dalam kamar mandi
sama halnya berada di kulkas.
***
Dengan
tas ransel dan sekantong plastik jajan aku berangkat ke sekolah dengan Puput. Aku
sudah kelas 1 sekarang. Sudah jadi rahasia umum kalau aku ini penjual jajan di
sekolahan. Bukan karena orang tuaku tak mampu tapi aku sendiri yang
menginginkannya. Aku tak malu berjualan sambil bersekolah, justru aku malah
senang melakoninya. Di saat teman-teman lain menggunakan uang pemberian orang
tuanya untuk menabung, Alhamdulillah aku bisa menabung dengan uangku sendiri,
hasil dari jerih payahku berjualan di sekolah. Tak tanggung-tanggung, minimal
dua ribu rupiah aku memperoleh untung setiap harinya dan alhasil jumlah
tabunganku setiap tahun mencapai ratusan ribu dan cukup untuk membayar ongkos
bus patas bolak-balik ke Jawa. Tabunganku juga lumayan keren, saat kelas 1
sekolah dasar aku sudah membuka rekening di kantor pos dekat sekolahku. Hampir
setiap seminggu sekali aku rutin mengunjungi kantor pos itu dengan buku
tabungan yang berwarna kuning di tanganku, di dalamnya sudah kuselipkan
beberapa lembar uang ribuan dan lima ribuan.
Tak
selalu aku ini beruntung dalam berjualan, aku pernah juga mengalami kemalangan.
Beberapa kali duitku hilang beberapa ribu dan tak pernah ketahuan siapa
pencurinya. Aku biarkan saja, tak baik juga aku menuduh, tapi aku tak kapok berjualan. Meski aku berjualan,
aku tetap berhubungan baik dengan para penjual jajan lainnya yang umumnya
adalah ibu-ibu. Kadang kala aku juga membeli jajan mereka, tentunya yang tak
ada dalam daftar jajan yang kujual.
Barang
daganganku ini kuperoleh dari ibuku. Kami juga membuka warung di rumah, warung
kelontong kecil-kecilan. Seminggu sekali dia akan ke kota untuk berbelanja
memenuhi kebutuhan warung kami dan barang daganganku. Biasanya dia selalu
berangkat dengan membawa dua tumpuk telur di tangan kanan dan kirinya kemudian
dia pulang dengan membawa barang dagangan. Jika dia lelah dari kota, dia akan
menitipkan barang dagangannya itu di Kedai
Aceh yang ada di depan komplek. Maklumlah, jarak rumah kami dari jalan raya
cukup jauh, sekitar 400 meter. Kasihan ibu kalau harus menenteng barang dengan
tangannya di saat capek dan harus berjalan kaki pula. Malamnya bapak dan aku
akan mengambilnya dengan menggunakan grek
(gerobak kecil) agar lebih ringan membawanya melewati bangunan dan jalanan
komplek yang sepi.
Berjualan
tentu saja tak mengganggu aktivitasku di sekolah. Buktinya, aku selalu bisa
menjadi nomor satu di kelas. Nilai raporku selalu di atas rata-rata kelas,
bahkan dengan yang rangking 2 nilaiku jauh sekali di atasnya. Kata orang-orang
kemampuanku ini setara dengan anak satu tingkat di atasku.
Orang
komplek sudah seperti orang kota saja di lingkungan tempat tinggalku karena
gaya hidup kami memang agak sedikit berbeda dengan masyarakat sekitar. Bahasa
yang kami gunakan sehari-hari pun adalah bahasa Indonesia, berbeda dengan
masyarakat sekitar yang umumnya menggunakan bahasa Gayo sebagai bahasa ibu
mereka. Kami menyebut orang-orang di luar komplek kami sebagai orang kampung. Itu
hanya sebutan saja, namun orang-orang komplekku ini tetap bergaul dengan
masyarakat sekitar. Meski aku orang komplek, tapi aku tak malu berjualan di
sekolah.
Sudah
biasa aku dan kakakku berangkat pukul 06.30 pagi. Kicauan burung mengiringi
langkah kami pagi ini. Kabut tebal juga masih menyelimuti komplek kami, jarak
pandang kami tak lebih dari 20 meter saja. Dengan menggunakan baju seragam
putih lengan panjang berlapis jaket tebal kami meninggalkan rumah. Berjalan
kaki di pagi hari sudah jadi kebiasaan kami ketika berangkat sekolah. Jalan
yang kami lalui cukup jauh. Kami harus melalui bangunan-bangunan Jurusan Pertanian
yang dikelilingi oleh pohon kayu putih. Di ujung jalan jurusan ini kami pun
akan berhenti sejenak di bawah pohon kemiri untuk mencari buah yang jatuh
disekitarnya. Tak sungkan kami mengorek-ngorek di tengah rerumputan yang masih
basah oleh uap air dan embun pagi demi menemukan buah kemiri. Buah berwarna
coklat itu tak lantas kami bawa ke sekolah melainkan kami sembunyikan di tempat
yang sekiranya tak diketahui orang lain. Cukup lumayan pagi ini, kami berhasil
menemukan lebih dari lima butir buah kemiri. Dalam bungkusan plastik kecil kami
pun menyembunyikannya di balik rerumputan hijau. Mencari buah kemiri sudah
menjadi kebiasaan bagi kami anak-anak komplek, siapa yang cepat dia pula yang
dapat. Pulang sekolah kami pun akan kembali ke pohon itu dan berebutan mencari
bersama teman-teman kami yang lain. Aku tentu saja akan menambahkan buah yang
baru kudapat dengan buah yang kukumpulkan pagi tadi.
Buah
kemiri memang bermanfaat bagi kami sebagai pelengkap bumbu masakan. Jarang sekali
kami membeli buah kemiri, kami cukup mencarinya di pohon kemiri yang ada di
komplek ini. Buah itu kemudian kami hilangkan daging buahnya hingga tersisa
bijinya saja yang berwarna hitam. Biji-biji itu lalu kami jemur sampai
benar-benar kering. Setelah itu barulah kami pecahkan pelan-pelan dengan cara
membungkusnya dalam sapu tangan. Hal ini kami lakukan agar biji putih yang
dihasilkannya itu tak lari kemana-mana. Beginilah cara kami memperoleh kemiri.
Kami jarang sekali membeli rempah-rempah. Kayu manis bisa kami peroleh dengan
mengambil sedikit kulit kayu dari pohon kayu manis yang ada di dekat
laboratorium komplek kami. Lengkuas, sereh, kunyit, dan jahe kami peroleh dari
kebun kami sendiri ataupun minta ke tetangga.
Di
Jurusan Pertanian ini juga ada pohon coklat. Seringkali ketika berbuah kami
mengambil buah coklat ini secara beramai-ramai. Kemudian kami membelahnya
dengan cara memukulkannya pada tembok beton. Kami lalu memakannya beramai-ramai
pula. Kadang kala kami juga mengambil buah markisah yang tumbuh menaungi
pembibitan kopi di sini. Kami hanya berani melakukan aksi kami ini di saat
Jurusan Pertanian ini dalam kondisi sunyi senyap karena jika ketahuan kami
pasti akan dimarahi.
Tak
jarang perjalanan kami ke sekolah sedikit terganggu, makhluk berbadan coklat
besar dengan moncong merah sesekali lewat dihadapan kami. Besarnya bisa sampai
sebesar drum kecil. Babi memang sering kali turun ke pemukiman warga dan merusak
pertanian warga, tak terkecuali di komplek kami. Seringkali aku merasa takut
kalau babi itu akan mengejar kami. “Berlarilah secara zig-zag jika kamu di
kejar babi,” begitulah bapak sering mengajarkan kami untuk waspada ketika babi
mengejar. Tetapi untung saja, sampai aku pindah aku belum pernah di kejar hewan
buas itu meskipun aku sering melihatnya.
Perjalanan
kami terhenti sejenak tatkala sampai di perbatasan komplek. Pagar tembok
permanen setinggi 1,5 meter dengan kawat besi di atasnya setinggi 1 meter telah
menghadang kami. Lompat pagar, itulah kebiasaan kami setiap pagi saat berangkat
sekolah demi memotong jalan. Tembok yang tinggi itu tentu cukup susah untuk
dilalui. Untunglah dua buah batu besar sudah ditata disana dan beberapa kawat
besi juga sudah dihilangkan sehingga kami pun bisa melaluinya tanpa mengalami
kesulitan yang berarti. Kalau kami lewat jalan depan tentunya kami harus
memutar dan akan membutuhkan waktu yang lebih lama.
Masih
cukup pagi memang ketika kami berangkat sekolah, matahari saja baru terbit,
jadi wajar kalau terkadang masih ada babi yang lewat. Tak jarang ketika kami
sampai di sekolah pintu pun masih tertutup rapat dan kami harus rela duduk di
depan kelas menunggu sang juru kunci datang. Entahlah, berangkat siang sedikit
saja rasanya tak enak. Kebiasaan berangkat cepat pun jadi kebiasaanku sampai
aku besar. Aku pasti menjadi yang nomor 1 sampai di kelas. Rieke yang rumahnya
di dalam komplek sekolah bahkan juga kalah denganku. Ia malah lebih sering
berangkat agak siang.
Sekitar
pukul 7 pagi kelas mulai ramai, satu demi satu teman-temanku mulai berdatangan.
Teman sebangku ku pun telah datang, Ranti namanya, lengkapnya Ranti Mauliya,
anak Kampung Bongkol, keturunan asli suku Gayo. Kami memang memiliki nama
panggilan yang sama, sama-sama Ranti. Sehingga tidak jarang kami sering keliru
ketika orang memanggil kami.
Lonceng
berbunyi sekitar pukul setengah delapan pagi, semua siswa berlarian ke lapangan
sekolah. Para siswa SDN Wih Nareh pun berbaris dengan rapi untuk upacara
bendera senin ini. Aku sangat suka sekali berdiri di barisan paling depan
karena aku bisa melihat dengan jelas pelaksanaan upacara bendera ini. Semua siswa
tampak berdiri dengan tegap mengenakan seragam putih-merah mereka.
Diam-diam
aku menaruh perhatian pada kakak-kakak kelas 5 dan 6 yang berdiri menjadi
petugas upacara bendera. “Aku ingin seperti mereka,” gumamku dalam hati. “Aku
ingin bisa menjadi pembawa acara, pembaca undang-undang, pembaca do’a, pembawa
bendera, pemimpin lagu, pemimpin barisan, ajudan pembina upacara, dan pemimpin
upacara,” aku berandai-andai dalam hati dan semua terbukti bisa kucapai saat
aku besar, termasuk menjadi pemimpin upacara dan berdiri di barisan
guru-gurunya.
Upacara
berjalan dengan hikmat. Setiap senin memang selalu diadakan upacara bendera di
sekolahku. Berbeda dengan sekolah dasarku di Jawa, tempat aku pindah sekolah,
bisa dihitung dengan jari berapa kali aku upacara selama 1,5 tahun aku
bersekolah di sana.
“Upacara
selesai pasukan dibubarkan,” sang pembina upacara memberi mandat kepada
pemimpin upacara. Itu berarti upacara telah selesai.
Kami
tak lantas menuju ruang kelas kami, melainkan mengambili sampah yang berserakan
di halaman sekolah. Setiap siswa wajib mengambil sebuah sampah plastik ataupun
bekas bungkus makanan dengan tangannya lalu membawanya menuju lubang sampah
yang ada dipinggir lapangan. Kami akan berlomba-lomba untuk sampai ke lubang
sampah secepatnya karena setelah itu kami bisa berdiri di barisan paling depan
sebelum masuk ke kelas.
Sudah
jadi kebiasaan kami untuk berdiri rapi di depan kelas membentuk dua barisan
membujur ke belakang. Sang ketua kelas Hafidz namanya akan memilih barisan yang
rapi untuk masuk ke dalam kelas lebih dahulu. Suatu kebanggaan bagi kami yang
barisannya rapi untuk dapat masuk ke kelas lebih dahulu.
Saat
Bu Asmiati sang wali kelas kami datang, sang ketua kelas yang kebetulan juga
adalah anaknya akan menyiapkan kami semua. “Berdiri,” kami semua pun akan
segera berdiri. “Beri hormat!” dengan serentak kami pun mengucapkan salam
sembari hormat, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,” dengan suara
yang cukup keras, menggemparkan seisi kelas. Setelah beliau sang guru menjawab
barulah kami duduk kembali.
Hari
ini pelajaran Bahasa Indonesia. Masing-masing dari kami diajar menulis dan
membaca olehnya. Dengan sangat rapi beliau menuliskan beberapa kata di papan
tulis bercat hitam itu dengan menggunakan kapur. Kemudian beliau membacanya
dengan cukup nyaring sambil menunjuk tulisan itu dengan penggaris kayu yang
panjang, kami para siswa pun menirukannya. Selanjutnya kami akan menulis sampai
halaman buku kami penuh dengan tulisan yang isinya sama itu dari baris pertama
sampai baris yang paling bawah. Setelah selesai kami akan menumpuknya. Setelah
itu Bu Asmiati akan berkeliling kelas, membimbing kami satu-satu untuk belajar
membaca. Beruntung aku sudah lancar membaca sehingga hari ini bu guru tak perlu
repot-repot mengajariku lagi. Tulisanku juga cukup rapi dibandingkan
teman-temanku yang lain.
“Teng...
teng...,” terdengar suara lonceng yang berasal dari kantor yang persis berada
di samping kelasku.
“Horeee.....!”
teriak kami.
Waktu
istirahat tiba. Saatnya aku beraksi. Dalam sekejap, sejumlah anak telah
mendatangiku untuk membeli jajan kesukaan mereka, ada jajan medan jaya yang
berwarna-warni, ole-ole, kerupuk pinokio, bombon
(permen), gulali, dan lain-lain. Tak perlu repot-repot aku berteriak “Jajan..
jajan...,” seperti suara seorang penjual makanan keliling. Toh mereka akan
mendatangiku dengan sendirinya. Entahlah, punya daya pikat apa aku ini.
Haha.... Tak hanya teman-teman anak kelas satu saja yang membeli daganganku,
kakak kelas dan guru-guru juga ada yang membelinya untuk anak kecil mereka yang
kerap kali dibawa serta dalam mengajar. Sudah biasa, waktu istirahatku ini
adalah waktu untuk berjualan. Sementara anak-anak yang lain bermain di lapangan
hijau sekolah kami, bersenda-gurau dengan teman-temannya, aku malah asyik
melayani pembeli. Aku tak pernah malu melakoninya, justru aku menikmatinya.
Sekali langkah, satu dua pulau terlampaui. Sembari aku sekolah aku juga
berjualan. Hehe....
“Teng...
teng...,” lonceng di pukul kembali. Semua anak bergegas masuk ke kelas karena
kami tak ingin di dahului sang guru kami. Bu Asmiati kembali masuk. Mengajarkan
kami berhitung. Aku pun mengeluarkan seikat batang sange yang kupunya. Aku memang belum secanggih beberapa temanku
yang lain, bukan batang sange yang
mereka keluarkan, tetapi mesin penghitung sempoa. Meski begitu, kemampuan
berhitungku tak kalah dengan mereka. Aku hanya punya potongan-potongan batang sange. Batang sange ini berwarna kuning
dan ringan seperti gabus, diambil dari suatu tumbuhan beruas-ruas dari kelompok
ilalang. Hidup di semak-semak kebun depan rumahku, diameternya sekitar 1 cm
atau sebesar jari. Sampai saat ini aku tak tahu apa nama Indonesia ataupun nama
ilmiah tumbuhan itu. Sebatang tangkai panjang itu lalu dipotong-potong
sepanjang 10 cm. Aku memiliki sekitar 20 potongan batang sange di dalam tasku setiap hari yang dapat membantuku untuk
berhitung dengan cepat. Saat aku kelas 2 aku tak membutuhkannya lagi karena aku
sudah dapat berhitung dengan cepat, sementara teman-temanku masih ada yang
menggunakannya ataupun menggunakan sempoa. Sange juga dapat digunakan untuk
membuat sangkar burung, seperti yang dilakukan oleh temanku Nova untuk sangkar
burung-burungnya.
Sekitar
pukul 10.30 WIB, kami pulang sekolah. Kami memang pulang lebih awal dibanding
kakak kelas kami yang lain. Aku tak menunggu Puput karena dia akan pulang jam
12 siang nanti, aku juga tak menunggu Miga, tetangga rumahku karena anak kelas
2 itu akan pulang setengah jam lagi. Aku pulang bersama sahabat-sahabatku Febry
dan Ana yang juga anak komplek. Saat pulang, aku memilih jalan yang berbeda.
Jika tadi aku berangkat aku harus melompat melewati pagar belakang komplek maka
ketika pulang aku melewati pintu gerbangnya. Selain Febry dan Ana, aku juga
biasa pulang dengan Agri dan Nova. Teman kami yang lain yang juga anak komplek.
Melewati
gerbang komplek berarti aku berputar menuju rumahku dan akan lebih jauh, tapi
aku senang karena aku bisa melalui taman komplek yang indah, melewati pepohonan
pinus yang rindang, berlarian di tengah lapangan hijau, dan melihat bunga-bunga
yang indah. Melihat anak-anak STM dengan seragam putih abu-abu mereka membuatku
juga ingin seperti mereka nanti.
Di persimpangan
koperasi kami pun berpisah, menuju arah rumah kami maisng-masing. Agri, Nova,
dan Febry menuju arah selatan, Ana menuju arah barat, sedangkan aku sendiri
menuju arah utara. Aku pun meneruskan langkahku melalui jalan kerikil sekitar
200 meter, hanya dua rumah saja yang kulalui, selebihnya adalah kebun-kebun
komplek.
Komplek tempatku
tinggal ini merupakan komplek sekolah SMKN 1 Pegasing (sekarang SMKN 2
Takengon). Tetapi aku lebih suka menyebutnya dengan nama Komplek STM,
sebagaimana orang-orang juga menyebutnya. Hal ini karena pada awal berdirinya
sekolah ini bernama STM Pertanian Pegasing. Komplek sekolah ini luasnya
mencapai lebih dari 30 ha. Sebelah utara dan timur komplek ini dibatasi oleh
jalan raya. Sebelah selatannya terdapat pemukiman masyarakat Desa Wih Nareh,
kami menyebutnya daerah Kampung Bongkol. Adapun sebelah barat komplek
berbatasan langsung dengan sawah, sungai, dan perbukitan. Meski luas, tak
begitu banyak orang yang tinggal di komplek kami. Saat ku tinggal di sana
penghuninya tak lebih dari 30 kepala keluarga yang berasal dari berbagai daerah
di Indonesia, seperti Medan, Padang, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, serta Aceh Tengah dan daerah Aceh lainnya sehingga kami pun berasal dari
berbagai suku yang berbeda pula.
Perumahannya
sendiri terbagi dalam 3 blok, blok utara, selatan, dan barat mushallah.
Mushallah Al-Furqaan berdiri tepat di tengah-tengah komplek ini. Kira-kira
begitulah gambaran komplek tempat aku tinggal.
***
Saat
kutiba di rumah, ups... pintu terkunci. Ibu sedang pergi rupanya. Aku tak perlu
khawatir tak bisa masuk. Segera kucari pintu rumah yang terselip di bawah salah
satu pot bunga ibu. Aku pun mendapatkannya, tanpa pikir panjang kubuka pintu
merah yang terkunci itu. Kucopot sepatu hitam dan kaus kaki putihku, segera ku
ke dapur untuk menemukan benda besar berwarna abu-abu yang berisi air. Kuambil
benda kaca yang ada di rak piring dan kutuangkan air dari dalam teko itu.
“Glegek... glegek...,” segarrr, terasa nikmat sekali air tak berwarna ini. Tak
perlu repot-repot keluargaku memiliki kulkas, airnya sudah pasti terasa segar
seperti air es, peninggalan dingin pagi tadi. Cuaca siang hari memang sangat
panas, kontras sekali dengan cuaca pagi tadi yang dipenuhi kabut. Mungkin juga
karena daerah kami adalah dataran tinggi yang berarti lebih dekat ke matahari.
Tak
jarang karena cuaca yang kontras ini membuat hidungku harus mengeluarkan darah.
“Mimisan” begitu orang menyebutnya. Pernah sekali aku mengalami mimisan saat
masih berada di sekolahan. Aku tak perlu panik dan menangis karena ibu telah
mengajarkannya padaku bagaimana cara menanganinya. Aku pun mengelapnya dengan
sapu tangan yang kubawa, kemudian berbaring di kursi untuk beberapa saat agar
darahnya tak keluar lagi. Jika di rumah, ibu pasti sudah menyumbatnya dengan
daun sirih yang dipetik dari belakang rumah kami.
Ibu
tak ada di rumah, sebelum aku berangkat sekolah tadi ia memang berpesan bahwa
ia akan ke Simpang Kelaping untuk berjualan pakaian. Puput masih sekolah dan
bapak juga masih mengajar, Om Mus masih di Proyek, Om Kholiq adik ibuku juga
masih di sekolah, jadilah di rumah aku sendirian. Tak perlu takut, aku sudah
biasa seperti ini sejak aku masih di taman kanak-kanak.
Setelah
berganti pakaian, aku segera menuju ke peternakan ayam yang ada di belakang
rumah. Dengan baskom ditangan, aku lalu mengambil telur-telur ayam kampung itu,
telur berwarna putih dan berbentuk lonjong. Wadah minum beberapa ayam juga tampak
kosong, air yang tadi pagi diisi bapak tampaknya sudah habis. Kasihan, mereka
pasti ingin minum kembali sepertiku. Segera kuletakkan telur-telur itu di dalam
rumah dan menatanya di dalam karton. Lalu aku kembali ke kandang dengan setengah
ember air ditanganku. Kuisikan kembali wadah minum yang telah kosong itu agar
ayam-ayamku juga tenang, aku tak ingin mereka berkokok dengan keras karena
pasti akan menganggu para tetangga rumahku.
Sekitar
pukul 12 siang Puput pun pulang. Tak lama kemudian ibu juga pulang. Ibu
kemudian memasak untuk makan siang kami.
***