Aku
dan Puput pulang sekolah lebih cepat dari biasanya karena sekolah kami
dibubarkan. Kami juga tak berangkat mengaji karena libur. Kami langsung
berganti pakaian karena kami hendak ke lapangan Musara Alun untuk melihat
pacuan kuda. Di daerah Gayo, pacuan kuda sudah menjadi tradisi turun-temurun
yang diadakan setiap bulan Agustus.
Kami
pergi bersama Kak Lucky dan ayahnya. Sementara ibu dan bapak telah berada di
sana bersama Bu Endang, ibu Kak Lucky. Orang tua kami berjualan bakso dan miso
bersama di acara pacuan kuda itu selama berlangsungnya acara yaitu selama 1
minggu lamanya. Jadi setiap hari selama seminggu ini aku selalu ke sana setiap
habis sekolah.
Perpaduan
masakan Jawa dan Medan, begitulah bakso dan miso yang orang tua kami jual.
Ibuku berasal dari Jawa dan ibu Kak Lucky berasal dari Medan. Sepertinya asal daerah tidak mempengaruhi
cita rasa makanan itu yang dapat ditemui dimana-mana di seluruh daerah yang ada
di Indonesia, toh rasanya di semua tempat sama saja.
Kami
baru melewati Uning dan tiba-tiba turun hujan. Ayah Kak Lucky lalu menepi dan
menghentikan sepeda motornya pada sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan, rumah
papan yang kecil dan sangat sederhana. Kami tak bawa jas hujan sehingga kami
harus berteduh di rumah yang tak kami kenal pemiliknya itu, Kami berdiri di
depan rumah itu, aku terus mengamati tetes-tetes air yang turun lalu membasahi tanah
dan tanaman, dingin pun terasa, apalagi aku juga tak bawa jaket. Untunglah tak
lama hujan ini turun dan kami melanjutkan perjalanan kembali.
Musara
Alun berada di Desa Blang Kolak di daerah kota, berjarak sekitar 7 km dari
komplek kami. Musara alun adalah lapangan yang sangat luas. Lintasan sepanjang
kurang lebih 1,5 km di pinggirnya digunakan untuk pacuan kuda, sementara
lapangan tengahnya dimanfaatkan untuk berjualan makanan, baling-baling, dan
para penonton pacu kuda. Ramainya melebihi pasar malam yang sering kutemui di
Jawa. Para penonton dapat melihat pacuan kuda ini dari dalam lapangan ataupun
dari luarnya. Meski sudah ramai, di tengah musara ini juga masih ada tempat
untuk pertandingan sepak bola. Pacuan kuda ini benar-benar pesta rakyatnya
orang Gayo. Semua orang Gayo dari berbagai daerah datang kemari. Bahkan turis
asing juga tak mau ketinggalan.
Sementara
orang tua kami berjualan bakso dan miso, kami akan bermain di lapangan ini.
Kami bisa menonton pacuan kuda sepuasnya, naik baling-baling, ataupun menonton
pertandingan bola yang kerap kali diadakan di tengah lapangan ini.
Menonton
pacuan kuda adalah hal yang menyenangkan. Rasanya tegang sekali. Kami memilih nonton
di dekat garis start. Sebuah pagar
kayu membatasi kami dengan lintasan pacu kuda. Hal ini dilakukan agar kuda
tetap berlari di jalur lintasan. Kulihat para joki telah berbaris di garis start. Mereka masih terlihat muda-muda,
bahkan ada beberapa orang dari mereka yang masih anak-anak. Mereka juga tak mengenakan pengaman seperti
joki-joki profesional yang sering kulihat di TV.
Tidak
ada aturan pasti dalam perlombaan pacu kuda, baik tentang atribut maupun usian seorang joki. Para joki
umumnya berkaki telanjang dan berpakaian bebas. Begitu juga dari segi keamanan
dan keselamatan para joki, mereka tidak menggunakan alat pengaman tubuh, pagar,
dan tali yang benar-benar memenuhi standar keamanan. Seringkali terjadi
kecelakaan dalam ajang ini. Tak jarang ada joki yang jatuh dan terinjak-injak
kuda. Tidak menutup kemungkinan mereka pun akan meninggal. Sedikit ngeri
memang.
Kulihat
juga seseorang berdiri di garis start.
Ia adalah seorang juri pembantu. Mula-mula ia memberi aba-aba dengan mengangkat
"bendera start" warna putih
sebagai isyarat pertarungan segera berlangsung. Kuda-kuda pun tampak mencuri start. Saat bendera putih kembali
dikibarkan, para joki segera menarik tari kekang kudanya agar berlari dengan
cepat. Para joki akan terus memecut kudanya dengan cambuk yang mereka bawa agar
kuda-kuda itu terus berlari dengan cepat.
Seru
sekali saat kuda-kuda sudah mulai berlari. Mereka terlihat sangat lincah sekali
meskipun mereka bukan kuda balap sungguhan. Umumnya kuda-kuda ini adalah kuda
yang digunakan untuk membajak sawah sehari-harinya. Saat mereka bertanding,
tiga orang juri akan duduk di atas sebuah menara bertingkat yang jaraknya
kira-kira 100-200 m dari garis start.
Aku
berharap jagoanku akan menang. Aku terus mengamatinya sampai kuda-kuda itu tiba
digaris finish. Yach.. kalah, saat
kuda favoritku tiba belakangan.
Tak
enak rasanya berdiri di pinggir lintasan pacu kuda. Berdebu dan panas, itulah
yang aku rasakan.
“Balik
yuk ke warung,” ajak Puput kepadaku dan Kak Lucky.
“Iya
betul, panas rasanya,” kataku menambahkan.
“Kita
naik baling-baling aja yuk,” ajak Kak Lucky. Sepertinya ajakannya cukup
menarik. Kami pun lantas berjalan menuju baling-baling langganan kami. Kami
lalu melewati tanah lapang yang luas dan menyelusup di tengah ramainya
pengunjung.
“Eh..
eh... ada Utih Geter,” kata Puput dengan pelan saat kami sedang melangkah.
“Mana-mana?”
tanyaku dan Kak Lucky penasaran.
“Itu!”
tunjuk Puput pada salah seorang yang berdiri sekitar 10 meter dari kami. Utih
Geter tampak berdiri sendirian sambil bicara sendiri pula, entah apa yang dia
maki-maki.
“Lariiii.....!”
ajak Kak Lucky. Kami pun kembali menyelusup di tengah ramainya pengunjung
pacuan kuda.
Utih
Geter adalah orang gila yang terkenal di Takengon. Rambutnya pendek seperti
cowok dan sudah berumur. Kami seringkali menjumpainya di daerah kota. Utih
Geter seringkali menakut-nakuti orang-orang yang dijumpainya dengan mengejar
ataupun mengucapkan kata-kata yang kasar. Sebaliknya, banyak orang juga yang
mengolok-oloknya untuk memancing tingkahnya. Paling lucu adalah ketika ia
berjalan di dekat lapangan Musara Alun ini dengan mengenakan gaun pesta berwarna
putih ala baju ulang tahun anak-anak sambil berpayungan. Lucu sekali kelihatannya,
dia seperti bidadari yang turun dari negeri acak kadut antah berantah di siang
bolong. Aku jadi teringat akan atraksi topeng monyet yang pernah kutonton, “Si
Minah mau ke pasar, teng... teng... teng... teng... si Minah pun jalan
berlenggok-lenggok sambil membawa payung,” hahaha....
Kami
terus mengikuti Kak Lucky sampai kami tiba di baling-baling dengan sedikit
ngos-ngosan. Baling-baling di depan warung bakso dan miso orang tua kami memang
sudah menjadi langganan kami sejak acara pacuan kuda ini dibuka beberapa hari
lalu. Kami tak perlu membayar seperti orang-orang lainnya, tetapi kami dapat
naik sepuas kami setiap saat. Sang pemilk yang berwajah seperti orang India itu
telah menjadi teman kami selama pacuan kuda ini berlangsung. Bahkan, kami
saling memberi kenang-kenangan di hari terakhir pacuan kuda.
***