Kebun Anggrek Mijen (Andam, 2009) |
Rabu, 30 April 2014
Jumat, 18 April 2014
Kirim Surat: Kebiasaan Lama yang Mulai Tersingkirkan
“Ndam di TU kulihat ada surat buat kamu,” kata
seorang teman. Kalimat yang tak pernah kudengar lagi sekarang. Betapa
bahagianya aku ketika itu mendengar mendapat surat. Tak sabar rasanya menunggu
waktu istirahat tiba untuk segera menyambangi ruang tata usaha sekolah guna
mengambil surat yang ditujukan untukku. Tak hanya di sekolah, surat untukku
juga kerap kali kuterima di rumah. Entah berapa surat yang telah kuterima.
Bahkan pernah suatu kali dalam seminggu aku menerima 3 surat.
Koleksi surat dan benda-benda pos milikku (Andam, 2014) |
Hobi mengirim surat bermula saat aku bisa
menulis. Saat itu umurku baru enam tahun dan aku sering ikut-ikutan kedua orang
tuaku mengirim surat untuk saudara mereka yang ada di Jawa. Aku seringkali
meminta mereka menyisipkan suratku diantara lembaran surat yang mereka kirim.
Zaman itu, telepon dan internet belum merakyat seperti sekarang. Aku juga
sering ikut mereka ke kantor pos yang juga tak jauh dari sekolahku. Kebiasaan it
uterus berlanjut sampai aku memberanikan diri mengirimkannya sendiri melalui
kantor pos.
Mengirim surat pun menjadi kebiasaan intensifku
tatkala aku pindah ke Jawa dan jauh dari teman-teman kecilku yang berada di Aceh
(Takengon) sana. Ya aku ingin terus menyambung silaturahmi dengan mereka.
Banyak hal yang bisa kutulis dalam suratku seperti keadaan kesehatanku, keadaan
sekolahku dan teman-temanku di sekolah, hal yang kadang membuatku gembira atau
sedih, serta tempat-tempat yang pernah kukunjungi. Bisa sampai berlembar-lembar
aku menuliskannya.
Bisa berbulan-bulan aku mendapat balasannya dan
betapa bahagianya aku ketika mendapat balasannya. Yang mereka tuliskan juga tak
kalah menarik dengan tulisanku. Bahkan aku pernah menangis dibuatnya. Surat itu
dari Febry yang ada di Aceh. Surat itu kuterima waktu aku SMA. Isinya dia
pernah mengirim surat untukku tapi tak juga mendapat balasan. Ya saat itu
sedang ramai-ramainya GAM, banyak mobil yang distop dan dibakar di tengah jalan,
bisa jadi surat itu juga turut bersamanya. Kebetulan juga aku baru masuk SMA,
selama ini Febry mengirimkan surat ke SMPku di MTsN Model Pemalang. Dalam surat
itu bahkan Febry menuliskan bahwa selama
ini dia mencari-cari alamat SMA ku. Sambil menangis ia menuliskan surat itu dan
sangat berharap surat itu sampai ditanganku. Jika surat itu tidak sampai kepada
yang dituju mohon kiranya dikembalikan lagi kepada pengirimnya.
Selain mengumpulkan surat, perangko yang tertera
di amplop juga menyita perhatianku. Aku suka sekali mengumpulkan benda pos yang
gambarnya berwarna-warni dalam bentuk yang menarik. Aku pun menggunting dan
membersihkanya. Lalu kumasukkan dalam buku Stamp
Album-ku.
Hari ini iseng-iseng aku membuka laci lemari
yang sudah lama tak kusentuh. Kutemukan kembali surat-surat yang pernah
kuterima dan benda-benda pos lainnya. Sungguh luar biasa rasanya saat
kumembacanya kembali. Mulai tersadarkan bahwa kebiasaan itu sudah mulai
tersingkirkan sejak aku mengenal handphone
dan internet sekitar 7 tahun lalu. Rasanya aku ingin menulis surat lagi.
Rabu, 02 April 2014
Kilas Balik Pemilu 1999 di Aceh Tengah
Sungguh rugi jika orang pada zaman sekarang memilih GOLPUT dari pada
menggunakan hak pilihnya. Kita warga negara Indonesia jadi kita harus memilih
pemimpin kita. Sungguh munafik jika anda tetap mengaku warga negara Indonesia,
tinggal di Indonesia, makan dari hasil bumi Indonesia, kerja di lembaga
pemerintah Indonesia dan menikmati gajinya, namun anda memilih GOLPUT. Setiap
orang tak ada yang sempurna begitu juga pemimpin kita, dia manusia yang sama
dengan kita tapi dia berani menjadi pemimpin negara ini yang sudah jelas-jelas itu tidak mudah. Dan atas
keberaniannya itu dia tidak hanya diminta pertanggungjawabannya di dunia, tapi
juga di akhirat.
Pemilu 1999 di Aceh masih membekas dalam pikiran saya. Saat itu
umur saya masih 10 tahun. Saya memang belum mempunyai hak pilih tapi saya belajar
dari pengalaman. Karena adanya reformasi, pemilu yang sejatinya akan
diselenggarakan lagi pada tahun 2002 (5 tahun setelah 1997) maka diadakan di
tahun 1999. Saat itu Provinsi Aceh sedang ramai-ramainya GAM (Gerakan Aceh
Merdeka). Kehidupan politik sangat labil di sana, tidak terkecuali di Kabupaten
Aceh Tengah tempat dimana saya dulu tinggal. Dari sekian banyak kabupaten dan
kota di Provinsi Serambi Mekah itu, Aceh Tengah memang kabupaten yang paling
aman dari kekerasan, namun tidak dengan politik. Tahun 1999 itu nyaris tidak
ada pemilu di sana. Kekhawatiran akan bahaya GAM dihari pemilu terus menghantui
masyarakat. Sehari sebelum pemilu tidak ada bilik-bilik tempat pemungutan
suara, bahkan malamnya para tokoh masyarakat masih mengadakan rapat untuk memutuskan
apakah akan ada pemilu atau tidak. Dari musyawarah itu memutuskan pemilu tetap
berlangsung namun tidak di desa kami, Desa Wihnareh. Pemilu dilaksanakan di
Desa Simpang Kelaping selaku ibukota Kecamatan Pegasing.
Keesokan harinya, berduyun-duyun masyarakat Kecamatan Pegasing
menuju ke Desa Simpang Kelaping. Jarak Desa Wihnareh dengan Desa Simpang
Kelaping cukup jauh, sekitar 3 Km namun mereka tetap menggunakan hak pilihnya
meski beberapa dari mereka harus berjalan kaki. Kami para pendatang dari luar
daerah, orang yang keamanannya terganggu tetap saja memperjuangkan hak pilih
kami.
Berhubung lokasinya yang jauh dan faktor keamanan, kami selaku
anak-anak juga turut serta ke Desa Simpang Kelaping. Untung saja, tetangga saya
ada yang punya mobil sehingga kami bisa ikut menumpang. Sesampainya di Desa
Simpang Kelaping, kami para anak-anak tinggal di dalam mobil dalam kondisi
tertutup rawat, tak seorang pun dari kami boleh keluar. Rasa dag-dig-dug terus
menghantui kami. Tempat parkir mobil ini berjarak sekitar 200 meter dari TPS. Mobil itu
berisi lebih dari 6 orang anak kecil: saya, kakak saya, adik saya yang masih
bayi, dan 3 orang anak kecil lainnya.
Area persawahan bekas panen di Desa Simpang Kelaping pun di sulap
menjadi area TPS massal. Ada beberapa TPS di sana. Masing-masing desa membangun
satu TPS mereka. Suasana tegang menyelimuti masyarakat saat berlangsungnya
pemungutan suara. Berbeda jauh dengan pemilu tahun 1997 dan pemilu tahun 1999 di daerah lain dimana TPS masih berada
di desa masing-masing.
Semoga cerita ini bermanfaat dan membuat Anda yang berencana GOLPUT untuk berpikir kemba
Langganan:
Postingan (Atom)