Mungkin tidak banyak yang tahu akan sosok seorang Bu Sri Rejeki
(Kiki), beliau adalah mantan seorang dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB)
dan pernah menjabat sebagai ketua LPM kampus tersebut. Sebelumnya saya tak
pernah mengenal Bu Kiki sama sekali, seorang kerabat jauhlah yang mengenalkan
saya pada beliau melalui komunikasi telepon. Seperti orang yang belum kenal
pada umumnya, saya juga sempat merasakan kecemasan ketika akan bertemu dengan
beliau, terutama ketika kerabat jauh saya itu meminta saya untuk datang ke
Bandung menemui Bu Kiki. Dengan modal nekat, saya pun berangkat ke Bandung
seorang diri. Saya tidak begitu mengerti kota kembang ini, saya hanya pernah ke
sini sekali dalam rangka study tour
sekolah.
Kedatangan saya di Bandung disambut baik oleh Bu Kiki. Beliau ramah
sekali, jauh dari pikiran saya yang sempat mengira akan tegang seperti bertemu
dengan seorang profesor yang killer
dan to the point. Saya pun di ajaknya
mengobrol ngalor-ngidul tentang pengalaman hidupnya. Beliau dilahirkan pada tahun 1950 di Langsa, Aceh Timur. Ayah beliau
adalah seorang dokter dan ibunya adalah seorang keturunan bangsawan Yogyakarta.
Karena profesi ayahnya ini maka beliau sering berpindah rumah sejak kecil:
Langsa, Palembang, dan terakhir Bandung. Sejak kecil beliau mengalami
keterbatasan fisik, beliau menderita penyakit polio yang menyebabkan kedua
ukuran kakinya berbeda sehingga beliau mengalami sedikit masalah ketika
berjalan. Saat kecil, beliau juga harus menggunakan sepatu besi yang membantu
dan melindunginya saat berjalan. Keterbatasan fisik tidak lantas membuat beliau
dimanjakan oleh keluarganya yang masih keturunan Hamengkubowono VI ini. Beliau
tidak pernah menganggap dirinya pintar tapi orang-oranglah yang menganggap
beliau pintar. Nilai rapot beliau selalu 9 dan 10. Selepas menamatkan sekolah
dasar beliau lantas masuk sekolah berasrama sampai SMA. Kemudian beliau
melanjutkan studi dengan kuliah di Jurusan Elektro ITB, kemudian beliau pindah
jurusan ke astronomi. Beliaulah satu-satunya mahasiswa jurusan astronomi
angkatan 1973 ITB. Beliau selalu lulus dalam setiap testing yang beliau ikuti,
teman-teman beliau menjulukinya dengan “ahli testing”. Selain selalu
berprestasi, keterbatasan fisik juga tidak menjadi penghalang bagi beliau untuk
keliling dunia. Saat tengah menyelesaikan skripsi, dosen pembimbing mengirim
beliau seorang diri pergi ke Bangkok untuk mencari referensi karena kata-kata
yang tidak sengaja beliau ucapkan saat bimbingan dengan sang dosen, “Kalau ada
referensi dari Bangkok, saya pasti selesai dalam dua bulan”. Setelah lulus
sarjana kemudian beliau melanjutkan studi pascasarjana di Amerika dengan
beasiswa dari pemerintah. Saat bekerja beliau juga sering keliling Eropa.
Selain menguasai beberapa bidang ilmu
seperti elektro, astronomi, statistik, matematika, dan komputer, beliau juga
orang yang serba bisa. Beliau bisa memasak, menjahit, dan menyanyi. Saat
menjadi dosen di kampus, beliau sempat bergabung menjadi anggota tim paduan
suara kampus.
Bersama Bu Kiki dan Putrinya (Andam, 2014) |
Sekarang beliau telah pensiun dari menjadi Dosen ITB sejak 10 tahun lalu. Hari-hari tuanya beliau habiskan untuk silaturahmi
dengan kerabat-kerabatnya dan menemani putri semata wayangnya. Beliau juga suka
membantu orang lain, dua orang pembantunya beliau sekolahkan sampai SMA dan
keduanya kini telah menjadi orang yang sukses. Begitulah kiranya pengalaman
hidup beliau yang dapat saya sampaikan di sini. Tentunya, banyak pelajaran yang
dapat di petik dari kisah ini.