“Ramadhan tiba...
Ramadhan tiba...
Marhaban ya
Ramadhan...
Marhaban ya
Ramadhan...
Marhaban ya Ramadhan...”
by Opick
Kala Ramadhan
tiba aku selalu ingat tradisi Ramadhan masa kecilku. Sehari sebelum puasa
biasanya ada tradisi ‘megang’, sampai sekarang aku juga belum begitu paham apa
itu megang. Setahuku megang adalah makan
besar sebelum puasa datang. Biasanya warga komplek akan menyembelih sapi
ataupun kerbau bersama-sama. Kota juga ramai karena banyak ibu-ibu yang
berbelanja untuk persiapan puasa. Biasanya sehari sebelum puasa kami akan
kumpul bersama keluarga, menyantap semua masakan yang dibuat ibu. Hmmm...
tradisi yang tak pernah kutemui lagi di Jawa, jangankan makan besar, bisa
kumpul keluarga saja sudah untung. Maklumlah, semenjak di Jawa, anggota
keluarga kami tinggal di kota yang berbeda-beda.
Kembali lagi
ke cerita masa kecilku. Sementara para orang tua sibuk mempersiapkan megang,
kami selaku anak-anak juga punya kesibukan tersendiri. Biasanya kami akan pergi
ke gunung di belakang komplek untuk mencari batang bambu. Bambu ini akan kami
jadikan obor. Setelah dari gunung kami akan mampir ke sungai untuk mandi sambil
mainan kapal-kapalan menggunakan gedebong pisang. Pulang dari sungai kami akan mempersiapkan
obor kami masing-masing. Obor ini akan kami gunakan sebagai penerangan selama
perjalanan menuju musholah. Musholah Al-Furqan tempat kami tarawih terletak di
tengah komplek. Berjarak kurang lebih 300 meter dari rumah. Jalan menuju ke
sana sangat gelap, tak ada rumah di kanan-kirinya. Lampu penerangan juga tidak
ada. Yang ada hanyalah semak-semak dan perkebunan kopi milik guru-guru STM.
Obor atau lampu senterlah penerangnya.
Musholah Al-Furqan, tempat warga komplek sholat. Terlihat tak ada rumah di sekitarnya. (Foto: by Tea, 2010) |
Papan nama Musholah Al-Furqan yang telah berusia lebih dari 20 tahun. (Foto: by Tea, 2010) |
Saat Tarawih,
Bapaklah imamnya. Selain memimpin sholat, bapak juga selalu memberikan ceramah
setelah selesai sholat tarawih setiap malam, kecuali malam 17 Ramadhan karena
malam itu diisi oleh Pak ‘Teuku’ (sebutan untuk kyai di Aceh) dari luar. Bacaan
bapak sangat bagus sehingga sholat pun terasa khusyuk meski hanya sebelas
rakaat.
Malam 17
Ramadhan adalah malam yang kutunggu-tunggu. Malam itu, selain ada Pak Teuku
juga ada acara makan-makan nasi bungkus. Untuk mendapatkan nasi dengan lauk
yang istimewa aku dan teman-teman suka usil. Musholah Al-Furqan ini berbentuk
rumah panggung sehingga membuat kami mudah dalam beraksi. Biasanya salah
seorang dari kami akan menusuk nasi bungkus dengan lidi dari bawah musholah.
Teman yang lain akan menandai (orang Jawa bilang ‘niteni’) dari atas musholah.
Setelah ditusuk kemudian lidinya kami cium, sehingga kami akan tau itu lauknya
apa. Kami melakukan hal yang sama untuk beberapa bungkus nasi yang berbeda.
Nah, pada saat pembagian nasi kami pasti akan memilih nasi bungkus yang kami
inginkan. Hahahaha..... nakal banget ya.... yee.. itu waktu aku masih kecil,
masih jadi anak bawang, jadi cuma ikut-ikutan aja. Wkwkwkwkwk.....
Lain malam,
lain juga siangnya. Kala Ramadhan tiba, pasti deh rame dengan petasan atau
mercon. Eits.... itu di Jawa. Kalau di Aceh, ramenya meriam bambu. Tetanggaku,
Bang Miga adalah orang paling pinter se-komplek dalam hal main meriam bambu,
sampai-sampai beberapa orang jadi korbannya. Ya beberapa dari mereka ada yang
harus digunduli karena sebagian rambutnya terbakar, ada juga yang kehilangan
alisnya kaya tuyul. Hehehe.......
Untuk mengisi
waktu luang kami selama Ramadhan biasanya kami habiskan dengan bersepeda
mengitari komplek, bermain di taman komplek, atau pun ke gunung. Ya, saat-saat
yang menyenangkan....
Menjelang
lebaran, pasti deh tercium aroma kue dari setiap rumah di komplek. Tetanggaku
adalah jagonya bikin kue. Setiap tahun biasanya mereka akan membuat kue dalam
partai besar untuk keluarga besar mereka. Ya, mereka asli Gayo. Tidak seperti
keluargaku yang jauh dari keluarga besar kami. Hmmm... aku sangat senang
melihat orang membuat kue. Tak jarang aku main ke tetangga dan ikut membantu
mereka membuat kue.
Lain tetangga,
lain pula kesibukan di rumahku. Menjelang lebaran, ibu dan bapak akan
disibukkan oleh banyaknya tamu yang datang untuk membeli ayam. Ya, Bapak dan
ibu mempunyai usaha ternak ayam sebagai usaha sampingan. Aku juga sering
membantu mereka di peternakan, seperti memberi minum dan mengambil telur-telur
ayam setiap hari. Kesibukan itu bukan
lantas membuat ibu tidak bikin kue. Ibu tetap buat kue lebaran, namun biasanya
sudah mepet lebaran karena buatnya juga cuma sedikit.
Malam takbiran
tiba. Biasanya aku cuma takbiran saja di Musholah bersama teman-teman. Tak ada
acara pukul bedug karena musholah kami tak punya bedug. Kami hanya memainkan
alat seadanya, seperti gelas, piring, sendok, dan rebana sebagai musik
pengiring takbiran, ya semacam ensemble. Tak jarang malam takbiran diikuti
dengan mati lampu. Takbiran pun makin asyik, kami akan menyalakan lilin atau
pun obor yang kami punya sambil main kembang api.
Hari nan fitri
pun tiba. Beramai-ramai orang menuju lapangan komplek untuk menunaikan sholat
ied. Bukan hanya warga komplek, namun juga semua masyarakat Desa Wihnareh. Tak
terkecuali wanita yang sedang haid. Tak ada orang yang membawa kendaraan,
semuanya berjalan kaki, jauh atau pun dekat rumah mereka. Selesai sholat ied,
kami tidak langsung pulang. Kami langsung keliling komplek ke rumah guru-guru
untuk bersalaman. Aku paling senang ke rumah Pak Sutar karena biasanya aku akan
dikasih balon. Hehehe......
Lapangan Komplek, tempat biasa kami menunaikan sholat Ied. Terlihat bukit di belakang komplek. (Foto: by Tea, 2010) |