Kalau orang bilang idolanya adalah presiden atau artis ternama, namun
tidak denganku. Bapak dan Ibukulah idolaku. Mereka adalah inspirasi yang nyata
dalam kehidupanku.
Bapak dan Ibuku asli Pemalang. Bapak dan Ibuku berasal dari keluarga
sederhana yang pas-pasan. Waktu kecil bapak adalah seorang penggembala itik.
Bapak sering pergi ke berbagai tempat untuk menggembalakan itiknya, terutama
saat musim panen tiba dengan tumpukan jerami sebagai alas tidurnya. Adapun ibu,
sebagai anak pertama dari delapan bersaudara juga tak kalah susah dengan bapak.
Ibu harus mencari kayu bakar terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah.
Ketika lulus sekolah dasar, bapak pun melanjutkan ke sekolah
salafiyah. Bapak termasuk siswa yang pintar. Namun orang tuanya tidak dapat
membiayai sekolah bapak lagi. Sehingga setelah menamatkan diri dari salafiyah,
bapak pun tidak langsung melanjutkan ke sekolah menengah atas. Keinginan bapak
untuk sekolah sangat kuat sehingga akhirnya bapak pun nekat kabur dari rumah menuju
ke Bandung hanya dengan membawa uang untuk ongkos saja.
Sesampai di Bandung Bapak pun bekerja serabutan, jadi kuli bangunan
dan bekerja di percetakan. Setelah dua tahun barulah bapak bisa melanjutkan
sekolah ke SMA Islam Bandung. Kesibukan bapak bekerja tidak membuatnya malas
dalam belajar, bapak pun termasuk peringkat 5 besar di kelas. Sambil sekolah
bapak pun berjualan minyak tanah keliling di sore harinya.
Dari hasil penjualan minyak tanah keliling inilah bapak akhirnya bisa
melanjutkan ke perguruan tinggi, yaitu di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada
jurusan pertanian. Sambil kuliah bapak pun tetap bekerja, namun kali ini bapak
menjadi penjual asongan. Hal itu menarik perhatian salah seorang dosen yang
kemudian mengangkat bapak sebagai anaknya.
Sudah lebih dari sepuluh tahun bapak kabur dari rumah tanpa kabar
berita dan membuat orang tuanya di Pemalang menganggap bapak hilang. Namun
kabar itu berubah saat orang tua bapak menerima surat undangan untuk menghadiri
acara wisuda bapak. Betapa bahagianya mereka menyaksikan anaknya di wisuda,
apalagi bapak adalah orang pertama di desanya yang meraih gelar sarjana.
Setelah wisuda bapak pun langsung diangkat menjadi PNS dan ditempatkan di STM
Pertanian 1 Pegasing, Aceh Tengah.
Di STM Pertanian 1 Pegasing, Bapak adalah salah satu guru pioner di
sana. Bapak pulalah yang memprakarsai pembangunan musholah di komplek sekolah
yang luasya + 36 hektar itu. Bapak pulalah yang memprakarsai pembangunan
masjid di Desa Wihnareh, desa dimana komplek berada. Kemampuan bapak menjadi
khatib dan imam sejak kuliah membuatnya menjadi salah seorang tokoh agama di
komplek dan desa Wihnareh ini. Bapak juga membuka Taman Pendidikan Al-Qur’an
(TPA) di komplek, Bapak pun berhasil membawa TPA ini sampai ke tingkat Provinsi
Aceh dan menjadi koordinator TPA se-Kecamatan Pegasing. Bapak begitu punya nama
di sana, sehingga banyak orang yang keberatan dengan kepindahan Bapak ke Jawa di
tahun 2000, bahkan mereka berani menjamin kehidupan bapak di sana.
Bapak juga merupakan orang ndeso
yang bisa ke luar negeri. Bapak pernah pergi ke Taiwan selama 1 tahun pada saat
ibu mengandungku di tahun 1988. Bapak berhasil lolos seleki ditingkat provinsi
dan nasional sehingga bisa mengikuti penataran di sana.
Kisah ibu juga tidak kalah menarik. Setelah lulus SMP orang tuanya
juga tidak sanggup membiayai sekolah ibu lagi. Ibu ingin terus sekolah agar
bisa menjadi contoh buat ketujuh adiknya. Ibu pun merantau ke Jakarta ikut
sanak famili di sana. Meski ikut sanak famili, ibu pun tidak enggan untuk
membantu mengurusi pekerjaan sehari-hari layaknya pembantu. Namun, ibu tetap
diizinkan untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Selama 4
tahun ibu di Jakarta dan setelah itu pulang ke Pemalang dan menikah dengan
bapak.
Bapak dan ibuku orang yang ulet. Bapak dan ibu memiliki banyak adik,
mereka pun ingin agar adik-adiknya sukses sehingga uang gaji bapak setiap bulan
di kirim ke Jawa untuk membiayai sekolah adik-adik mereka. Untuk memenuhi
kebutuhan kami sendiri, bapak pun membuka usaha peternakan ayam dan pembibitan
kopi. Sedangkan ibu, ia berdagang sepatu dan pakaian di sekolah-sekolah. Aku
dan mba puput juga sering membantu mengambil telur-telur ayam di peternakan dan
mengisi polibek di pembibitan kopi, kami pun tak enggan untuk membantu bapak
mencangkul di kebun, walau pun kami masih kecil. Alhamdulillah semua usaha ini
berjalan lancar dan terkenal di Kecamatan Pegasing.
Kini sudah 12 tahun kami tinggal di Jawa, namun bapak sendiri tinggal
di luar kota dan pulang ke Pemalang seminggu sekali. Kehidupan tanpa sosok
bapak sehari-hari di rumah membuat istri dan anak-anaknya harus hidup mandiri,
meski pun kami semua perempuan. Bapak dan ibu selalu mengajarkan kami untuk
hidup mandiri tidak bergantung sama orang lain. Ya... aku ingin seperti mereka,
aku ingin bisa ke luar negeri mengikuti jejak bapak, aku ingin selalu membuat
mereka tersenyum bahagia, aku juga ingin menjadi sosok seorang ibu yang mampu
mendidik anak-anaknya dengan baik.