Jumat, 18 April 2014

Kirim Surat: Kebiasaan Lama yang Mulai Tersingkirkan


“Ndam di TU kulihat ada surat buat kamu,” kata seorang teman. Kalimat yang tak pernah kudengar lagi sekarang. Betapa bahagianya aku ketika itu mendengar mendapat surat. Tak sabar rasanya menunggu waktu istirahat tiba untuk segera menyambangi ruang tata usaha sekolah guna mengambil surat yang ditujukan untukku. Tak hanya di sekolah, surat untukku juga kerap kali kuterima di rumah. Entah berapa surat yang telah kuterima. Bahkan pernah suatu kali dalam seminggu aku menerima 3 surat.
Koleksi surat dan benda-benda pos milikku (Andam, 2014)
Hobi mengirim surat bermula saat aku bisa menulis. Saat itu umurku baru enam tahun dan aku sering ikut-ikutan kedua orang tuaku mengirim surat untuk saudara mereka yang ada di Jawa. Aku seringkali meminta mereka menyisipkan suratku diantara lembaran surat yang mereka kirim. Zaman itu, telepon dan internet belum merakyat seperti sekarang. Aku juga sering ikut mereka ke kantor pos yang juga tak jauh dari sekolahku. Kebiasaan it uterus berlanjut sampai aku memberanikan diri mengirimkannya sendiri melalui kantor pos.
Mengirim surat pun menjadi kebiasaan intensifku tatkala aku pindah ke Jawa dan jauh dari teman-teman kecilku yang berada di Aceh (Takengon) sana. Ya aku ingin terus menyambung silaturahmi dengan mereka. Banyak hal yang bisa kutulis dalam suratku seperti keadaan kesehatanku, keadaan sekolahku dan teman-temanku di sekolah, hal yang kadang membuatku gembira atau sedih, serta tempat-tempat yang pernah kukunjungi. Bisa sampai berlembar-lembar aku menuliskannya.
Bisa berbulan-bulan aku mendapat balasannya dan betapa bahagianya aku ketika mendapat balasannya. Yang mereka tuliskan juga tak kalah menarik dengan tulisanku. Bahkan aku pernah menangis dibuatnya. Surat itu dari Febry yang ada di Aceh. Surat itu kuterima waktu aku SMA. Isinya dia pernah mengirim surat untukku tapi tak juga mendapat balasan. Ya saat itu sedang ramai-ramainya GAM, banyak mobil yang distop dan dibakar di tengah jalan, bisa jadi surat itu juga turut bersamanya. Kebetulan juga aku baru masuk SMA, selama ini Febry mengirimkan surat ke SMPku di MTsN Model Pemalang. Dalam surat itu bahkan Febry menuliskan bahwa selama ini dia mencari-cari alamat SMA ku. Sambil menangis ia menuliskan surat itu dan sangat berharap surat itu sampai ditanganku. Jika surat itu tidak sampai kepada yang dituju mohon kiranya dikembalikan lagi kepada pengirimnya.
Selain mengumpulkan surat, perangko yang tertera di amplop juga menyita perhatianku. Aku suka sekali mengumpulkan benda pos yang gambarnya berwarna-warni dalam bentuk yang menarik. Aku pun menggunting dan membersihkanya. Lalu kumasukkan dalam buku Stamp Album-ku.
Hari ini iseng-iseng aku membuka laci lemari yang sudah lama tak kusentuh. Kutemukan kembali surat-surat yang pernah kuterima dan benda-benda pos lainnya. Sungguh luar biasa rasanya saat kumembacanya kembali. Mulai tersadarkan bahwa kebiasaan itu sudah mulai tersingkirkan sejak aku mengenal handphone dan internet sekitar 7 tahun lalu. Rasanya aku ingin menulis surat lagi.

Rabu, 02 April 2014

Kilas Balik Pemilu 1999 di Aceh Tengah

Sungguh rugi jika orang pada zaman sekarang memilih GOLPUT dari pada menggunakan hak pilihnya. Kita warga negara Indonesia jadi kita harus memilih pemimpin kita. Sungguh munafik jika anda tetap mengaku warga negara Indonesia, tinggal di Indonesia, makan dari hasil bumi Indonesia, kerja di lembaga pemerintah Indonesia dan menikmati gajinya, namun anda memilih GOLPUT. Setiap orang tak ada yang sempurna begitu juga pemimpin kita, dia manusia yang sama dengan kita tapi dia berani menjadi pemimpin negara ini yang sudah jelas-jelas itu tidak mudah. Dan atas keberaniannya itu dia tidak hanya diminta pertanggungjawabannya di dunia, tapi juga di akhirat.
Pemilu 1999 di Aceh masih membekas dalam pikiran saya. Saat itu umur saya masih 10 tahun. Saya memang belum mempunyai hak pilih tapi saya belajar dari pengalaman. Karena adanya reformasi, pemilu yang sejatinya akan diselenggarakan lagi pada tahun 2002 (5 tahun setelah 1997) maka diadakan di tahun 1999. Saat itu Provinsi Aceh sedang ramai-ramainya GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Kehidupan politik sangat labil di sana, tidak terkecuali di Kabupaten Aceh Tengah tempat dimana saya dulu tinggal. Dari sekian banyak kabupaten dan kota di Provinsi Serambi Mekah itu, Aceh Tengah memang kabupaten yang paling aman dari kekerasan, namun tidak dengan politik. Tahun 1999 itu nyaris tidak ada pemilu di sana. Kekhawatiran akan bahaya GAM dihari pemilu terus menghantui masyarakat. Sehari sebelum pemilu tidak ada bilik-bilik tempat pemungutan suara, bahkan malamnya para tokoh masyarakat masih mengadakan rapat untuk memutuskan apakah akan ada pemilu atau tidak. Dari musyawarah itu memutuskan pemilu tetap berlangsung namun tidak di desa kami, Desa Wihnareh. Pemilu dilaksanakan di Desa Simpang Kelaping selaku ibukota Kecamatan Pegasing.
Keesokan harinya, berduyun-duyun masyarakat Kecamatan Pegasing menuju ke Desa Simpang Kelaping. Jarak Desa Wihnareh dengan Desa Simpang Kelaping cukup jauh, sekitar 3 Km namun mereka tetap menggunakan hak pilihnya meski beberapa dari mereka harus berjalan kaki. Kami para pendatang dari luar daerah, orang yang keamanannya terganggu tetap saja memperjuangkan hak pilih kami.
Berhubung lokasinya yang jauh dan faktor keamanan, kami selaku anak-anak juga turut serta ke Desa Simpang Kelaping. Untung saja, tetangga saya ada yang punya mobil sehingga kami bisa ikut menumpang. Sesampainya di Desa Simpang Kelaping, kami para anak-anak tinggal di dalam mobil dalam kondisi tertutup rawat, tak seorang pun dari kami boleh keluar. Rasa dag-dig-dug terus menghantui kami. Tempat parkir mobil ini  berjarak sekitar 200 meter dari TPS. Mobil itu berisi lebih dari 6 orang anak kecil: saya, kakak saya, adik saya yang masih bayi, dan 3 orang anak kecil lainnya.
Area persawahan bekas panen di Desa Simpang Kelaping pun di sulap menjadi area TPS massal. Ada beberapa TPS di sana. Masing-masing desa membangun satu TPS mereka. Suasana tegang menyelimuti masyarakat saat berlangsungnya pemungutan suara. Berbeda jauh dengan pemilu tahun 1997 dan pemilu tahun 1999 di daerah lain dimana TPS masih berada di desa masing-masing.

Semoga cerita ini bermanfaat dan membuat Anda yang berencana GOLPUT untuk berpikir kemba