Senin, 28 Mei 2012

My Parent, You are My Inspiration


Kalau orang bilang idolanya adalah presiden atau artis ternama, namun tidak denganku. Bapak dan Ibukulah idolaku. Mereka adalah inspirasi yang nyata dalam kehidupanku.
Bapak dan Ibuku asli Pemalang. Bapak dan Ibuku berasal dari keluarga sederhana yang pas-pasan. Waktu kecil bapak adalah seorang penggembala itik. Bapak sering pergi ke berbagai tempat untuk menggembalakan itiknya, terutama saat musim panen tiba dengan tumpukan jerami sebagai alas tidurnya. Adapun ibu, sebagai anak pertama dari delapan bersaudara juga tak kalah susah dengan bapak. Ibu harus mencari kayu bakar terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah.
Ketika lulus sekolah dasar, bapak pun melanjutkan ke sekolah salafiyah. Bapak termasuk siswa yang pintar. Namun orang tuanya tidak dapat membiayai sekolah bapak lagi. Sehingga setelah menamatkan diri dari salafiyah, bapak pun tidak langsung melanjutkan ke sekolah menengah atas. Keinginan bapak untuk sekolah sangat kuat sehingga akhirnya bapak pun nekat kabur dari rumah menuju ke Bandung hanya dengan membawa uang untuk ongkos saja.
Sesampai di Bandung Bapak pun bekerja serabutan, jadi kuli bangunan dan bekerja di percetakan. Setelah dua tahun barulah bapak bisa melanjutkan sekolah ke SMA Islam Bandung. Kesibukan bapak bekerja tidak membuatnya malas dalam belajar, bapak pun termasuk peringkat 5 besar di kelas. Sambil sekolah bapak pun berjualan minyak tanah keliling di sore harinya.
Dari hasil penjualan minyak tanah keliling inilah bapak akhirnya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, yaitu di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada jurusan pertanian. Sambil kuliah bapak pun tetap bekerja, namun kali ini bapak menjadi penjual asongan. Hal itu menarik perhatian salah seorang dosen yang kemudian mengangkat bapak sebagai anaknya.
Sudah lebih dari sepuluh tahun bapak kabur dari rumah tanpa kabar berita dan membuat orang tuanya di Pemalang menganggap bapak hilang. Namun kabar itu berubah saat orang tua bapak menerima surat undangan untuk menghadiri acara wisuda bapak. Betapa bahagianya mereka menyaksikan anaknya di wisuda, apalagi bapak adalah orang pertama di desanya yang meraih gelar sarjana. Setelah wisuda bapak pun langsung diangkat menjadi PNS dan ditempatkan di STM Pertanian 1 Pegasing, Aceh Tengah.
Di STM Pertanian 1 Pegasing, Bapak adalah salah satu guru pioner di sana. Bapak pulalah yang memprakarsai pembangunan musholah di komplek sekolah yang luasya + 36 hektar itu. Bapak pulalah yang memprakarsai pembangunan masjid di Desa Wihnareh, desa dimana komplek berada. Kemampuan bapak menjadi khatib dan imam sejak kuliah membuatnya menjadi salah seorang tokoh agama di komplek dan desa Wihnareh ini. Bapak juga membuka Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di komplek, Bapak pun berhasil membawa TPA ini sampai ke tingkat Provinsi Aceh dan menjadi koordinator TPA se-Kecamatan Pegasing. Bapak begitu punya nama di sana, sehingga banyak orang yang keberatan dengan kepindahan Bapak ke Jawa di tahun 2000, bahkan mereka berani menjamin kehidupan bapak di sana.
Bapak juga merupakan orang ndeso yang bisa ke luar negeri. Bapak pernah pergi ke Taiwan selama 1 tahun pada saat ibu mengandungku di tahun 1988. Bapak berhasil lolos seleki ditingkat provinsi dan nasional sehingga bisa mengikuti penataran di sana.
Kisah ibu juga tidak kalah menarik. Setelah lulus SMP orang tuanya juga tidak sanggup membiayai sekolah ibu lagi. Ibu ingin terus sekolah agar bisa menjadi contoh buat ketujuh adiknya. Ibu pun merantau ke Jakarta ikut sanak famili di sana. Meski ikut sanak famili, ibu pun tidak enggan untuk membantu mengurusi pekerjaan sehari-hari layaknya pembantu. Namun, ibu tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Selama 4 tahun ibu di Jakarta dan setelah itu pulang ke Pemalang dan menikah dengan bapak.
Bapak dan ibuku orang yang ulet. Bapak dan ibu memiliki banyak adik, mereka pun ingin agar adik-adiknya sukses sehingga uang gaji bapak setiap bulan di kirim ke Jawa untuk membiayai sekolah adik-adik mereka. Untuk memenuhi kebutuhan kami sendiri, bapak pun membuka usaha peternakan ayam dan pembibitan kopi. Sedangkan ibu, ia berdagang sepatu dan pakaian di sekolah-sekolah. Aku dan mba puput juga sering membantu mengambil telur-telur ayam di peternakan dan mengisi polibek di pembibitan kopi, kami pun tak enggan untuk membantu bapak mencangkul di kebun, walau pun kami masih kecil. Alhamdulillah semua usaha ini berjalan lancar dan terkenal di Kecamatan Pegasing.
Kini sudah 12 tahun kami tinggal di Jawa, namun bapak sendiri tinggal di luar kota dan pulang ke Pemalang seminggu sekali. Kehidupan tanpa sosok bapak sehari-hari di rumah membuat istri dan anak-anaknya harus hidup mandiri, meski pun kami semua perempuan. Bapak dan ibu selalu mengajarkan kami untuk hidup mandiri tidak bergantung sama orang lain. Ya... aku ingin seperti mereka, aku ingin bisa ke luar negeri mengikuti jejak bapak, aku ingin selalu membuat mereka tersenyum bahagia, aku juga ingin menjadi sosok seorang ibu yang mampu mendidik anak-anaknya dengan baik.

Belajar Kebudayaan, Seni, dan Toleransi


Kehidupan yang telah kujalani selama lebih dari 23 tahun ini telah memberikan pengalaman dan pelajaran yang penting tentang nilai-nilai kebudayaan, seni, dan toleransi.
Waktu kecil kutinggal di komplek perumahan dengan mayoritas penduduknya adalah pendatang. Kami berasal dari berbagai daerah, seperti Medan, Padang, Jakarta, dan Jawa. Belum lagi waktu itu aku tinggal di Takengon, Aceh Tengah. Hal itu membuatku sedikit tahu tentang kebudayaan mereka.  Meski kami berasal dari daerah yang berbeda namun kami tak enggan untuk saling bergotong royong, misalnya saat pembangunan mushollah dan hajatan. Budaya gotong royong ini benar-benar kurasakan di sana. Ada cerita menarik disini yang terus kuingat adalah ketika ibuku mengalami pendarahan selama 2 bulan dan tidak bisa bangun dari tempat tidurnya, para tetanggalah yang mengurusi aku yang baru 4 tahun dan kakakku yang baru masuk sekolah dasar. Kemudiaan saat kelahiran adikku, para tetangga pulalah yang menyiapkan acara syukurannya. Maklumlah, kami tak punya sanak saudara di sana.
Karena aku tinggal di Aceh, Aku pun jadi tahu sedikit tentang kesenian di sana yang kunikmati secara langsung, seperti Kesenian Didong, Tari Saman, serta Lagu Bungong Jeumpa dan Bungong Selanga. Bahkan sampai sekarang aku masih hafal lirik lagu Bungong Jempa karena dulu sering menyanyikannya bersama teman-teman.
Seiring kepindahanku ke Jawa, aku pun mulai belajar budaya dan kesenian Jawa. Susah memang tapi aku terus berusaha keras meski sampai sekarang masih banyak budaya dan kesenian Jawa yang belum kuketahui, padahal sudah 12 tahun aku di Jawa. Dari belajar itu aku jadi tahu, kalau bahasa Jawa lebih kaya dari pada bahasa Indonesia, bahkan Indonesia sendiri juga tidak punya huruf khas Indonesia sedangkan Jawa punya aksara Jawa. Belum lagi keseniannya yang seabrek, ada wayang, sintren, karawitan, dan tembang macapat, tarian Jawa, dan lain-lain. Untuk wayang aku belum pernah nonton secara langsung sama sekali, keinginan sih sudah dari dulu tapi belum kesampaian. Kalau sintren juga baru nonton beberapa hari yang lalu di desa tetangga. Karawitan sih lumayan sudah sering liat. Untuk tembang macapat juga sudah pernah dengar, tapi sampai sekarang belum bisa menyanyikan 1 pun tembang macapat, bahkan membedakan jenis-jenisnya saja belum bisa. Sedangkan tarian Jawa, aku dulu pernah belajar waktu SMA, yaitu tari Gambyong, namun pas penilaian tetap saja remidi, padahal sudah latihan berkali-kali. Hehe.... malu ya...
Saat duduk di SMA aku pun mulai belajar untuk bertenggang rasa dengan umat agama lain. Aku yang berasal dari Madrasah Tsanawiyah pun tidak mengalami kesulitan ketika berteman dengan teman yang Katholik dan etnis China yang Kristen. Bahkan kami sering pulang bersama karena rumah kami satu tujuan. Di kelas pun aku tak enggan berdiskusi seputar agama mereka untuk menambah pengetahuan dengan menjaga batas-batas tertentu tentunya.
Saat masuk kuliah pun aku juga harus berteman dengan teman yang Katholik. bahkan saat Praktik Pengalaman Lapangan aku pun harus satu kos dengannya selama 3 bulan. Tak ada masalah bagiku. Aku pun jadi lebih tahu kehidupan mereka. Dan kini aku juga memiliki teman yang beragama Hindu yang berasal dari Lombok, bahkan kami juga tinggal satu kos. Ini juga membuatku belajar banyak tentang budayanya dan sikap toleransi.

Selasa, 01 Mei 2012

"EMBER Class"


Berbicara “Ember Class” otomatis berbicara I-MHERE Class  Biologi UNNES angkatan 2007. Kelas ini dibiayai oleh I-MHERE sehingga disebut I-MHERE Class. I-MHERE Class adalah kelas unggulannya program studi Pendidikan Biologi UNNES. Katanya sih kelas internasional gitu. Tapi anak-anak di kelas ini lebih sering menyebut dengan “Ember Class”. Disebut demikian karena anak-anak dikelas ini cerewet, kritis, dan rame layaknya ember. Mereka juga berani memprotes dosen secara terang-terangan, berani ngomongin dosen juga. Nonton video pake LCD proyektor, ada Prince dan Princess. Ada aja deh tingkahnya….
Meski katanya kelas internasional, tapi prasarananya sama aja dengan kelas reguler lainnya. Ketika lulus pun izajah kami tak ada bedanya. Tapi, mereka dapat kemampuan yang lebih dalam banyak hal. Hmmm... sok tau banget ya.
Kelas ini berdiri sejak aku semester 5, tepatnya pada tahun 2009. Aku adalah salah satu dari personil “Ember Class”. Pembelajaran di kelas ini berbeda dengan kelas regular biasa, terutama dalam pembelajarannya yang bilingual, Inggris-Indonesia. Hmmm…. Ga semua anak yang masuk kelas ini bisa bahasa Inggris lho. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang confident, meski bahasa Inggrisnya pas-pasan. Saat presentasi ataupun mengerjakan tugas seringnya in English. Seringnya sih kami ga mudeng juga. Hehe….. kebanyakan dari kami berpikir kelas ini adalah kelas motivasi untuk meningkatkan kemampuan English kami.
Sesuai dengan kelasnya, saat PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) pun, kami diterjunkan di sekolah RSBI. Kebayang donk, pembelajaran di RSBI kaya apa. Pake bahasa Indonesia aja ga mudeng, apalagi bahasa Inggris, otomatis harus mengulang berkali-kali biar para siswa paham.
Para Personil "Ember Class"

Kelas ku adalah angkatan yang pertama ada I-MHERE Class. Jumlah semua mahasiswa di kelas ini ada 33 orang. Uniknya lagi, dari 33 orang mahasiswa cowoknya hanya 2 orang, udah itu, nama mereka juga mirip cewek, Dasa Novi dan Upik Dwi. Hahaha…. Sampai bulan April 2012 masih ada beberapa dari mereka yang masih setia dengan dosen-dosennya, sehingga masih setia juga nungguin kampus UNNES tercinta. Mereka yang udah lulus kini beragam profesinya, seperti Nurin dan Ayu yang sedang hunting beasiswa S2 ke Australia dan juga mengajar di Neutron, Upik yang melanjutkan S2 UGM, Ova yang melanjutkan S2 UNS dan mengajar di SD Islam di Solo, Marta yang melanjutkan beasiswa S2 UNDIP, Fista yang udah ngajar di MTsN Jepara dan menikah dengan pengusaha ukiran Jepara, Azijah yang mengajar di SMA Semesta Semarang, Putri yang menjadi guru SMP Semarang, Anis yang mengajar di Primagama Pemalang, Tina yang mengajar di Primagama Wonogiri, Zubed dan Novi yang mengajar di Aceh ikut program 3T Pemerintah, Fitri yang ikut KKT, Lutfi yang jadi guru privat, serta aku sendiri yang melanjutkan S2 di UNSOED sambil mengajar di Ganesha Operation.
Demikian sekilas tentang “Ember Class”. Buat teman-teman yang lain aku tunggu kabarnya. Buat yang belum lulus ayo terus semangat. Aku yakin kalian pasti bisa. Boleh tuh, 10 atau 15 tahun lagi kita reunian, pasti seru deh, apalagi kalo ngajak keluarga kita. Mohon maaf  ya bila ada kesalahan penulisan nama dan profesi. Hahaha….. kayak kartu undangan aja. Sukses buat kalian  ^_^